Terjebak dalam keingintahuan yang besar benar-benar menyiksa, menaruhnya pada orang yang tidak tepat sumber masalah nya. Ia tak memiliki hubungan yang cukup baik untuk sekedar bertanya 'kenapa?' 'apa masalah nya?' namun tak juga bisa mengabaikannya, hal itu benar-benar mengganggu. Jimin kesal setengah mati.
"Kenapa juga mataku terus-menerus mencarinya. Sial!" Jimin merutuki dirinya sendiri ketika lagi-lagi mata nya berkeliling liar mencari satu orang yang sama, orang yang beberapa hari lalu bermain basket bersama nya, yang tanpa sadar berbincang sepanjang malam dengannya hingga Seokjin perlu turun tangan untuk menghukumnya.
Tiga hari berlalu, dan Jimin sama sekali tak menemukan presensi Taehyung, bahkan sekelas Namjoon saja yang memiliki jabatan wali Taehyung sama sekali tak mendapat kabar dari nya, membuat khawatir saja. Setiap jam pelajaran kosong, Jimin tak berhenti melewati koridor IPS-2, menyusuri kantin bahkan taman belakang sekolah. Anggap saja Jimin melakukan itu tanpa sadar, demi Tuhan Jimin akan malu jika tertangkap basah menaruh kekhawatiran yang besar pada sosok itu.
Percakapan malam itu berjalan sangat lancar, Jimin terpaksa pulang lebih awal, pada pukul dua belas lebih empat puluh menit karena Seokjin mengancam tak mau bersengkongkol lagi bersama nya jika ia tak segera pulang. Sedang Taehyung seperti nya bermalam disana, di lapang basket tanpa sedikitpun alas, membuat pikiran nya meliar dengan ketidakhadiran Taehyung tiga hari ini. Apa Taehyung sakit? Atau sesuatu terjadi padanya? Tak mungkin dia melakukan hal-hal gila kan? Atau dia hanya malu padaku? Karena kekalahannya, dan tiba-tiba berbicara padaku seperti seorang teman? Ah, mungkinkah? Dia pasti merasa gila telah menghabiskan malam dengan pria luar biasa seperti ku kan?
Pada akhirnya, kekhawatirannya tak semudah itu menguap meski seribu pikiran positif ia tanamkan dalam otak. Taehyung memang kurang ajar, menghilang setelah membuat Jimin penasaran setengah mati karena tingkah nya.
Jimin melihat Namjoon yang sedang berjalan menuju ruangannya, secepat kilat Jimin berlari. "Kim seongsangnim!" teriak nya.
Namjoon menoleh. "Jimin? Ada apa?"
Jimin tersenyum cengengesan. "Aku tidak membuat ulah kali ini tahu, kenapa wajah mu masam begitu?" rengek Jimin tak suka.
Namjoon membuka pintu lalu membawa diri nya kebalik meja. "Lalu ada apa, Jimin?"
Jimin mengambil tempat di seberang Namjoon, memainkan kalender yang tergeletak di atas meja lalu merapikan beberapa pulpen yang tercecer. "Ya tidak apa-apa, memang nya aku boleh kesini jika membuat ulah saja ya? Kalau begitu aku akan pergi membuat ulah dulu," delik nya yang di jawab kekehan oleh Namjoon.
"Pekerjaan ku banyak, Park Jimin. Kau hanya menganggu."
Jimin mencibir kesal. "Mengganggu apanya, aku kan hanya duduk disini, malah aku merapikan meja mu!" protes Jimin. Namjoon mengerling jelak, ia yakin Jimin menemuinya bukan tanpa sebab. Akhirnya Namjoon membuka laptop nya dan memutaskan untuk mengabaikan Jimin di hadapannya.
"Kim-seongsangnim," panggil nya lagi.
"Hm?" Namjoon bahkan tak memberikan lirikan mata pada Jimin.
"Kau sudah lihat si bocah pembuat ulah?" Tanya nya seolah tak peduli, mata nya masih berkeliran di meja Namjoon tangannya sibuk memainkan pulpen merah, namun telinga nya terpasang begitu apik, tak ingin melewati informasi yang akan di berikan oleh di wali Taehyung di sekolah.
"Bocah yang mana maksudmu? Si pembuat ulah itu bukannya kau?" sarkas Namjoon sambil terkikik geli, sedikit bermain.
Jimin mendengus kesal. "Bukan aku, itu si Kim."
"Aku juga Kim, jadi Kim mana yang kau maksud?" goda Namjoon.
"Kau pasti sudah tahu, masih juga harus ku perjelas," rutuk nya kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mikrokosmos
Fanfiction[BROTHERSHIP] Mereka memiliki luka, meski dalam artian berbeda. Luka itu, mempertemukan mereka. Jika ada tempat yang patut di syukuri keberadaannya oleh dua bocah itu, tempat itu adalah Ruang Konseling. Tak begitu istimewa, namun justru disanalah m...