delapan.

1.6K 236 17
                                    

Jimin merutuk kesal, mengacak rambut nya berulang kali sejak kaki nya menyentuh satu toko obat di ujung jalan. Tanpa ada yang menyadari, telah terjadi peperangan hebat dalam dirinya, antara logika yang meminta untuk abai dan hati yang menuntun langkah nya, menghasilkan ia yang kini menunggu obat dengan kaki yang bergerak tak sabaran.

"Siapa yang terluka, nak?" Bibi itu bertanya seraya memasukkan salep, beberapa kassa dan juga micropore ke dalam kantung kresek.

Jimin segera mendekat, menyentuh belakang leher nya gusar, sedikit tertawa kaku. "Ah—itu, mm hanya seseorang yang ku temukan di lapangan basket, Bi."

Bibi itu tersenyum lembut, menyodorkan kantung kresek pada Jimin. "Anak yang baik, kau terlihat sangat khawatir. Semoga cepat sembuh."

Jimin menundukkan tubuh nya seraya mengucap terimakasih sebelum berlari menuju keberadaan Taehyung, setengah hati berharap semoga ia masih disana, jangan sampai aku tak menemukan ia setelah berlari seperti orang bodoh begini.

Harga diri Jimin itu tinggi, tak ada tandingan. Karenanya, seratus meter diantara jarak nya dengan Taehyung ia memperlambat langkah, tak ingin Taehyung sampai tahu bahwa ia berlari kesetanan hanya untuk memberikan obat tak berguna itu. Jimin beberapa kali mengambil napas dan mengeluarkannya dengan teratur, pokoknya ia sama sekali tak bisa menoleransi apabila tingkah gila nya ini disadari oleh Taehyung—musuh bebuyutan nya.

Kim Taehyung masih disana, menelentangkan tubuh menatap indahnya langit bertabur bintang. Dari jarak sedekat ini, Jimin bisa melihat wajah lelah nya, goresan tipis pada sisi mata nya dan lebam yang kini terlihat samar. Tak ada lagi air mata, hanya ada hembusan napas kasar yang beberapa kali terdengar jelas.

"Jangan menatapku seperti itu, brengsek." Suara baritone nya mengejutkan Jimin, terlalu dalam mengamati hingga tak sedikitpun menyadari tingkah konyol nya.

Jimin dengan cepat menguasai suasana, melempar kantung kresek tepat di sebelah tubuh Taehyung. "Jangan salah paham, aku hanya tak ingin orang berpikiran buruk karena tangan mu yang tiba-tiba seperti itu setelah bertanding basket dengan ku," ujar nya terlampau datar.

Taehyung melirik sebentar, lalu tertawa meremehkan. "Benarkah? Senang sekali ada yang peduli pada ku," ejek nya.

"Najis, siapa bilang peduli."

Jimin hampir saja berlalu, jika bukan suara Taehyung yang membuatnya kembali berdiri tegap. "Terimakasih."

Apakah ini mimpi? Seumur hidup tak pernah sedikitpun membayangkan Taehyung akan mengatakan kalimat seromantis itu untuk nya. "Kau bilang apa?" Jimin memutar tubuh nya, ingin mendengar lebih jelas sekaligus menatap ekspresi nya.

Taehyung terduduk lalu membuka kantung kresek pemberian Jimin. "Aku tak mengulang ucapanku dua kali."

"Heol, daebak!" Jimin menjatuhkan tubuh nya di samping Taehyung, menyodorkan sekaleng soda dingin. "Aku tak suka berhutang, terima ini." Taehyung menerima nya tanpa mendebat.

Taehyung menyesap minumannya. "Kenapa kau kembali?" tanya Taehyung.

"Tak ada alasan khusus, ingin saja."

Taehyung mendengus, mengambil kassa untuk menutup pergelangan tangannya yang semakin memerah. "Kau menang, jadi apa yang akan kau lakukan?"

Jimin menyampirkan kedua lengannya di atas lutut, memutar kaleng soda nya beberapa kali lalu melirik Taehyung sebentar. "Aku tak merasa menang dan aku tak merasa begitu senang untuk merayakannya, menyebalkan. Kau menghancurkan selebrasi yang sudah ku rancang begitu saja."

Taehyung tertawa terbahak, lucu saja mendengar ocehan Jimin. "Kenapa begitu? Selebrasi berupa hinaan kan yang kau maksud? Lakukan saja, lagi pula aku tak begitu keberatan," ujar nya santai.

MikrokosmosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang