Silakan baca dulu chapter sebelumnya, aku tambahin satu scene baru disana. Selamat membaca, semoga suka!
***
Usai percakapannya dengan Jimin di bis, Taehyung banyak merenung. Haruskah?
Taehyung tak tahu apapun tentang pertemanan, namun satu hal yang ia rasakan saat bersama Jimin. Nyaman.
Taehyung tak ingin banyak mengelak, ia mengakui kehadiran Jimin membuat luka nya tersamar, meski tak sepenuhnya hilang. Hanya saja, ia merasa sedikit ragu dan takut. Bukankah hidup nya terlalu kelam untuk anak periang seperti—
"PARK JIMIN!!" Teriakan seseorang di depan gerbang membuat lamunan Taehyung buyar. Jimin sudah merutuk kesal di samping nya, umpatan kasar itu terlalu jelas di tangkap indera pendengar nya.
Sampai di hadapan Seokjin, Jimin meninju kesal abdomen Seokjin keras. "Aiiish.. Hya! Kenapa memanggilku sekencang itu!"
Seokjin mengolah napas nya beberapa saat, mengendalikan emosi nya agar tak meletup di hadapan anak majikannya itu. Jika di ilustrasikan, mungkin Seokjin hampir berubah menjadi hulk yang siap melindas apapun di hadapannya.
"Kau pikir itu kata yang pantas kau ucapkan setelah merepotkan ku, anak nakal?!" amuk Seokjin dengan tangan yang berkacak pinggang.
"Apa kau hidup di jaman purba? Bahkan kau memiliki ponsel untuk menghubungi ku. Kau tak bisa tenang barang sehari Jimin? Bisa-bisa aku mati berdiri jika kau terus menerus membuat ku khawatir! Aku bahkan sudah berpikir yang tidak-tidak, dan kau disana malah asik bermain."
Jimin menggaruk kepala nya saat Seokjin terus bicara tanpa jeda. "Kau bisa bayangkan bagaimana sulit nya aku mencari alasan logis untuk Ayah mu? Kau tidak berpikir seberapa banyak Ayahmu mempunyai anak buah? Ya Tuhan Jimin! Bagaimana jika Ayah mu tahu aku bersekongkol dengan mu untuk menipu nya. APA KAU GILA?!" Napas Seokjin menderu kasar, wajah hingga telinga nya memerah dengan mata yang terbuka lebar.
Jimin mendekat lalu mengusap dada Seokjin searah. "Sabar.. sabar. Tenangkan dulu dirimu, tarik napas lalu hembuskan perlahan. Pikirkan umur mu, jangan sampai kau mati sebelum menikah," ucap Jimin sama sekali tak mengenal rasa malu pun bersalah.
Seokjin menjitak kepala Jimin cukup keras. "Hya! Aku seperti ini karena mu!" Jimin hanya tertawa menanggapi nya, Seokjin yang meledak memang sudah biasa dan Jimin tahu permasalahannya bukan terletak pada pekerjaannya yang terancam, namun amarah nya meluap karena kekhawatiran yang mendalam padanya. Jimin tahu betul, dan Jimin malah senang mendapatkannya. Jadi membuat Seokjin marah adalah salah satu kesenangan baginya.
Taehyung menyaksikan perdebatan kecil itu, bibir nya sedikit terangkat merasa lucu saja dengan dua orang dewasa yang sama-sama terlihat seperti bayi di mata nya. Ckck ternyata Jimin memang terlahir menyebalkan. Merasa cukup menonton, Taehyung berniat pergi karena tak merasa memiliki urusan dengan dua orang itu.
"Sudah kubilang kan aku menginap di rumah nya, hyung," jelas Jimin sambil menarik kerah seragam Taehyung yang hampir saja kabur meninggalkan Jimin. Bahu Taehyung merosot, tatapan mata nya menajam. "Kenapa kau menahan ku?"
Jimin semakin menarik Taehyung dan kembali merangkul nya. "Karena kemarin aku bersamamu, dan kau yang harus menjelaskan semua nya pada pria tua itu." Jimin mendekatkan bibir nya pada telinga Taehyung dan setengah berbisik, "Kau tahu, tempramen nya sedang tidak stabil dan aku khawatir aku tak bisa pulang dengan selamat."
Taehyung dan Seokjin sama-sama mengerlingkan mata nya jengah. Merasa dirinya ikut terlibat, meski malas Taehyung memutuskan untuk menjelaskan serangkaian kejadian langka yang menimpa hidup nya.
Taehyung sedikit menunduk. "Aku Kim Taehyung. Benar, kemarin dia menginap di rumah ku. Hujan sangat deras dan ia jatuh pingsan, aku tak tahu alamat nya dan berakhir membawa nya ke rumah ku. Semua baik-baik saja, dan tolong berikan baju seragam Jimin padanya." Taehyung melirik malas Jimin. "Dia seperti itik yang menggunakan seragam ayam jago, aku tak tahan melihat nya," ledek nya dengan tampang serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mikrokosmos
Fanfiction[BROTHERSHIP] Mereka memiliki luka, meski dalam artian berbeda. Luka itu, mempertemukan mereka. Jika ada tempat yang patut di syukuri keberadaannya oleh dua bocah itu, tempat itu adalah Ruang Konseling. Tak begitu istimewa, namun justru disanalah m...