"Kenapa melamun?" Jimin mendaratkan bokong nya tepat di sebelah Taehyung yang sedang menatap langit dengan pandangan kosong, entah kabut apa yang menaunginya, aura Taehyung terlalu suram.
Taehyung menoleh karena pergerakan hammock di samping nya. "Ah, kau disini?"
"Ada apa? Ada masalah?" Tanya nya lagi menegaskan pertanyaannya di awal tadi. Jimin membuka tutup kaleng soda lalu menyodorkannya kehadapan Taehyung.
Taehyung menerima dan mengambil beberapa tegukan saja. Desahannya membawa atensi Jimin sepenuhnya. "Hanya hal yang tak begitu penting," jawabnya malas.
Jimin mendengus. "Tapi mampu membuat dahi mu berkerut seperti itu?"
Perlahan, Taehyung bangkit dari posisi teryamannya, lalu mengusap wajah nya kasar. Jimin kira, Taehyung akan melontarkan jawaban atas pertanyaannya tepat setelah ia bangkit, setelah beberapa detik, hanya desahan-desahan lelah yang terdengar.
"Kau tahu, aku siap jika harus mendengar apapun masalah mu. Kenapa kau masih ragu untuk menceritakannya padaku?" Tanya Jimin santai dengan tatapan yang menuntut penjelasan, berharap bukan jawaban mengecewakan yang akan ia terima.
"Karena ini masalahku, dan ini bukan hal yang bisa orang lain mengerti," jawab Taehyung lelah.
Jimin ikut bangkit dari posisi nya, menatap Taehyung tak percaya. "Orang lain? Kau masih menganggapku orang lain?" Jantung nya tiba-tiba berdebar dengan cepat, satu sudut hati nya berdenyut perih, bagaimana bisa? Bukankah mereka sudah melewati banyak hari bersama? Bahkan ia telah membiarkan Taehyung ikut campur untuk urusan keluarga nya, dan kini Taehyung menbual omong kosong seperti itu? Orang lain katanya? Jimin rasanya ingin tertawa keras di hadapan wajah nya. Penolakan lainnya, uh?
"Bukan begitu, Jim," sambar Taehyung langsung, tahu bahwa ia telah menyinggung perasaan Jimin. "Maksud ku, aku hanya belum bisa menceritakannya padamu. Lagi pula ini bukan hal yang begitu penting," klarifikasi nya.
Jimin menatap manik kecoklatan Taehyung beberapa detik lalu memutus tatapannya begitu saja. "Selalu saja begitu. Setengah tahun menghabiskan banyak waktu bersama, ku kira kau sudah menganggapku bagian penting dari hidupmu, setidaknya teman yang cukup dekat untuk bisa kau ajak bercerita. Seperti nya aku hanya terlalu percaya diri karena berpikir seperti itu, apa aku gila karena membiarkanku mengetahui semua masalahku sedang aku hanya orang asing bagimu?" gumam Jimin dengan perasaan nya yang kacau.
Jimin membawa kembali tubuhnya ke posisi semula, memejamkan mata nya seraya menetralkan perasaannya yang tiba-tiba kacau. Jika sudah berhubungan dengan Taehyung, suasana hati nya bisa dengan mudah berubah. Sebesar itulah pengaruh Taehyung bagi hidup nya. Memikirkan ia tak berarti apa-apa untuk hidup Taehyung, membuat hati nya berdenyut sakit.
"Tak usah mendramatisir, aku hanya bilang aku belum siap untuk bercerita, apa hubungannya dengan pertemanan kita? Aku tak perlu setiap hari mengumumkan bahwa kau bagian penting dalam hidupku, bukan?" timpal Taehyung tak suka bila Jimin mulai bertingkah seperti itu.
Jimin tertawa sinis. "Kau memang bodoh atau sedang ingin membodohiku? Aku tau riwayat pertemananmu itu buruk, tapi kau tak sebodoh itu untuk tak tahu apa hubungannya, kan? Jika kau sudah menganggapku sebagai teman, jika aku bagian yang penting dalam hidup mu, kau tak akan ragu untuk menceritakan setiap masalah mu. Aku mungkin tak punya jalan keluar untuk masalah berat mu, karena aku hanya bocah manja di mata mu. Tapi aku bisa mengurangi sedikit bebanmu. Kau tak harus menanggung semua rasa sakit mu sendiri. Apa gunanya aku sebagai temanmu, kalau begitu?" amuk Jimin dengan napas nya yang memburu, kesal dengan konsep pertemanan yang di miliki Taehyung.
Taehyung menatap manik Jimin dalam. "Jangan paksa aku untuk menjadi seperti mu. Menerima permintaanmu sebagai temanku bukan berarti aku harus merubah diriku, kurasa."
Jimin tertawa keras untuk beberapa saat, lalu detik selanjutnya mata nya menajam dengan rahang yang menegas. "Apa aku meminta mu untuk menjadi seperti ku? Apa aku meminta mu untuk merubah dirimu? Aku nyaman berada disampingmu, dengan kau sebagai Kim Taehyung. Aku sudah menunggu, pikirmu aku tak tahu berapa lama kau bertingkah murung seperti ini? Satu minggu aku menunggu, membiarkanmu mengambil beberapa waktu untuk menenangkan perasaanmu, memberimu waktu untuk bernapas lebih baik dengan tak terbebani oleh Ibuku yang hingga kini belum bisa kutemukan. Tapi aku tak bisa terus menunggu, aku peduli padamu dan aku tak suka jika kau harus menanggung semua rasa sakitmu sendiri, aku merasa menjadi teman yang tak berguna. Dan sekarang, saat aku bertanya ada apa kau malah bilang aku tak perlu tahu karena aku orang lain? Kau tahu, menyakitkan saat aku berpikir bahwa aku lah satu-satu nya orang yang hanya menginginkan pertemanan kita."
Taehyung mengacak rambut nya kasar, hati nya di dera perasaan asing yang terasa menyakitkan. Merasa kesal dengan masalah yang datang kepadanya secara bersamaan. Rasanya Taehyung ingin berteriak saat Jimin ikut bertingkah menyebalkan disaat kondisi nya sudah terlampau kacau. Tak bisakah Jimin mengerti? Taehyung tak bisa bergantung pada orang lain, baginya itu terasa asing saat ia harus menceritakan masalah hidup nya.
Lama terdiam dalam keheningan, Taehyung mendesah panjang, hari nya sedang kacau jangan sampai pertengkarannya dengan Jimin membuat hari nya semakin tak berbentuk. "Jangan salah paham dan berhenti mengatakan kata-kata menyebalkan seperti itu. Pikirmu, aku orang yang murah hati hingga menerima pertemanan ini hanya karena kau yang menginginkannya? Saat aku memutuskan untuk menjadi teman mu, itu semua karena aku yang juga nyaman saat bersama mu. Jadi berhenti mengatakan bahwa pertemanan ini hanya kau yang menginginkan." Taehyung membuang napas nya kasar sebelum melanjutkan kalimat nya. "Aku hanya belum terbiasa.." lirih Taehyung.
Jimin yang sejak tadi berkutat dengan isi hati yang hampir meledak pun akhir nya menolehkan kepala, sekedar untuk melihat Taehyung yang tiba-tiba merubah tone suaranya.
"Aku bukan remaja normal yang memiliki masalah-masalah ringan, masalah ku lebih berat dari yang kau bayangkan, Jim. Lima belas tahun aku terbiasa dengan kesendirianku, enam bulan bersamamu terasa sangat singkat jika harus merubah kebiasaanku. Saat aku memiliki masalah, aku terbiasa menyelesaikannya sendiri, entah itu dengan tubuhku yang terluka ataupun mentalku yang terhempas. Jika tiba-tiba aku harus menceritakan semua masalahku, bukan tak bisa, aku hanya.. aku hanya merasa sedikit asing," ucap Taehyung berusaha mendeskripsikan perasaannya, memilah kata yang paling tepat untuk apa yang benar-benar di rasakannya.
"Aku tak terbiasa membicarakan tentang perasaanku meskipun itu pada Ibu, aku merasa bingung jika kau meminta penjelasan atas perasaan sedihku hari ini, aku hanya tak tahu bagaimana aku harus menjelaskannya, Jim. Maafkan aku.." Air mata Jimin menetes, dadanya terasa sesak. Amarah Jimin luruh begitu saja, hati nya merasa di remas begitu kuat mendengar penuturan Taehyung.
Taehyung yang terbiasa kesepian, meski Jimin tak memiliki keluarga yang utuh, setidaknya ia memiliki Seokjin yang selalu siap mendengar keluh kesah nya, ada banyak penjaga rumah yang bisa mendengar cerita nya. Bagaimana dengan Taehyung? Ia tak memiliki orang-orang yang dengan sukarela mau mendengarnya, meskipun Taehyung berada dalam porsi keluarga yang utuh.
Jimin memeluk Taehyung erat. "Maaf.. maafkan aku Taehyungie.." ucap nya bergetar dengan tangan yang sibuk menepuk pungguh lebar Taehyung. "Mulai saat ini, kau terbebas dari kesendirian mu, ada aku disini. Gunakan aku, gunakan aku untuk membuat perasaan mu lebih baik. Aku akan menunggu mu dengan sabar. Lima belas tahun kesepianmu, aku berjanji akan membayarnya dengan kebahagiaan yang lebih baik."
Hati Taehyung terenyuh dengan sederet kalimat yang di ucapkan Jimin, satu minggu ini ia berhasil menahan tangis nya, ia berhasil menunjukkan ketegarannya.
Ucapan Jimin, pelukan hangat nya, kesedihan yang sudah ia tahan seminggu ini meledak begitu saja. Untuk pertama kali nya, secara sadar Taehyung menangis dalam pelukan Jimin, membagi rasa sakit nya, menggunakan Jimin untuk ketenangannya, mengambil segala energi positif yang di milikinya.
"Jim.. Ibuku terlalu mencintai si brengsek itu. Ibuku memilih untuk terus disakiti dari pada hidup hanya berdua dengan ku, Ibu ku tak bisa meninggalkan orang-orang gila di rumah itu. Apakah aku tak begitu berharga untuk nya? Hingga nyawaku tak menjadi pertimbangan hidup nya?"
***
See ya on the next chap, jangan lupa tinggalkan jejak :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mikrokosmos
Fanfiction[BROTHERSHIP] Mereka memiliki luka, meski dalam artian berbeda. Luka itu, mempertemukan mereka. Jika ada tempat yang patut di syukuri keberadaannya oleh dua bocah itu, tempat itu adalah Ruang Konseling. Tak begitu istimewa, namun justru disanalah m...