11. That Scene

1.2K 58 4
                                    

Peringatan! Dilarang ambigu saat baca ini. Karena sumpah, itu nggak seperti yang lo pikirkan.

♥•♥•♥•♥•♥•♥•♥•♥•♥

Gila, waktu cepat banget berlalu. Sudah H+2 Ujian Nasional. Menegangkan.

Yap, gue udah menyelesaikan Ujian Nasional. Freedom! Pokoknya, gue harus bisa masuk di Universitas ternama.

Kalian harus tau perjuangan gue menjelang UN. Pinjem buku dari perpustakaan umum-semacam perpustakaan biasa, tetapi dibuka untuk umum-, ataupun dari perpustakaan sekolah.

And, sebelum gue rapat tentang perpisahan, gue harus balikin buku-buku terkutuk ini kembali ke asalnya. For your information, gue satu-satunya yang bukan anggota OSIS, tetapi jadi panitia loh.

Gue berjalan sambil membawa buku berat ini menuju perpustakaan yang notabene dekat dari rumah gue.

Gue membuka pintu kios ini, dan menuju ke perpustakawati. Aroma buku tua menyengat dihidung gue. Sunyi, semua orang fokus dengan bukunya.

"Mba, ini bukunya saya kembalikan," Tutur gue ramah, dengan setengah suara, agar tidak mengganggu pengunjung lain.

Perpustakawati itu menoleh, "Eh iya, coba liat bukunya,"

Gue memberikan bukunya, lalu perpustakawati itu seperti mengetik sesuatu pada keyboard komputernya.

"Baik, silahkan ditaruh di rak dimana Adik meminjamnya ya, lalu Adik boleh melihat dan meminjam buku yang lain," Kata sang perpustakawati seraya menaikan kacamatanya, sehingga kembali pas pada batang hidungnya.

Gue hanya mengangguk dan segera ke lantai dua, tempat dimana gue mengambil buku ini. Kebetulan, di lantai dua cukup sepi. Jarang ada yang membaca buku disini.

"Aw, perih Joe, pelan-pelan," Ringis seorang wanita, agak mendesah.

Huft, dasar manusia jaman sekarang, berbuat mesum di perpustakaan. Yang benar saja.

Eh, tunggu. Joe?! Dengan cepat, gue mengikuti arah suara mendesah-asli, menjijikan- itu.

Dan yang gue lihat adalah, Joe dengan seorang wanita dilorong ujung. Joe terlihat seperti mengunci wanita itu pada tembok, dengan kedua tangannya.

"Joe," Lirih gue tidak sadar mulai menghasilkan air mata dipelupuknya.

Bruk!

Buku yang gue bawa, jatuh begitu saja. Tubuh gue kaku. Persendian tulang gue seakan dilem kuat. Ingin rasanya gue lari kearah mereka, dan menyumpal mulut wanita itu, sehingga ia tidak lagi mengeluarkan desahan menjijikan.

Tetapi, nyatanya, "Ella? Lo ngap-"

Gue melarikan diri sebelum Joe menyelesaikan kalimatnya. Cukup. Gue akan memilih Evan. Joe itu bule, dia ganteng. Dan brengsek.

Gue terlalu naif sampai menganggap Joe suka sama gue. Evan, gue cinta lo. Bukan Jonathan Kelvin.

***

Kepala gue berat banget. Pusing seperti ditusuk-tusuk jarum ini, membuat tangan gue reflek memijat pelan kening gue.

"Ella? Lo udah bangun?" Suara bariton yang amat gue kenali. Perlahan gue membuka mata.

Dia Joe. Seketika, gue teringat kejadian kemarin sore. Joe dan seorang wanita diperpustakaan, gue berlari menuju rumah, dan yang gue ingat, gue jatuh. Setelah itu, gue tidak mengingat apa-apa lagi.

Tak terasa air mata terlinang lagi. Air mata sialan.

"La, please, jangan nangis," Suara Joe yang melembut makin membuat gue sakit. Mengingat desahan wanita itu, ah. Gue hanya bisa menutup wajah gue, agar tidak dilihat Joe. Hingga 5 menit.

"Keluar,"

Kata pertama yang gue ucapkan dipagi ini. Gue ucapkan dengan lirih. Gue tidak sanggup melihat Joe, setelah kejadian kemarin sore.

"Dengerin, lo kemarin ken-"

"KELUAR DARI KAMAR GUE SEKARANG JUGA!" Lirihan gue berubah menjadi teriakan memerintah. Dan saat itu juga tangisan gue pecah.

Gue meraung, menangis dan berusaha menendang Joe, supaya bajingan itu keluar dari kamar gue.

Mungkin karena kegaduhan yang gue buat, Alex sampai masuk ke kamar gue dengan khawatir.

"Dek, lo apaan sih! Joe udah nyelametin lo semalem!" Bentak Alex kalap. Gue tidak suka dibentak, tapi kali ini gue maklum.

Gue tetap menangis, hingga Joe mengalah dan memilih keluar. Hening, hanya ada Alex dan gue disini.

"Cerita sama gue, lo kenapa?" Tanya Alex dengan lembut. Bahkan, Joe tidak memberi tahu Alex, alasan gue pingsan tengah jalan?

Gue menghela nafas. Calm down, La. Gue melirik jam dinding. Pukul delapan lewat lima belas. Pantas Alex sudah berpakaian rapi.

"Nanti aja gue ceritain, lo udah mau ngampus kan?" Lirih gue seraya memejamkan mata. Mencoba kembali tenang.

Terdengar helaan nafas Alex, "Lo udah gue ijinin di sekolah. Oke, gue ngampus dulu, lo nggak apa-apa sendirian?"

Gue mengangguk mantap-tetap memejamkan mata-.

"Yaudah, gue berangkat," Alex melangkah keluar kamar. Belum 5 detik, Alex kembali masuk.

"Kalo mau makan, delivery aja ya, gue nggak bisa masak," Ujar Alex dengan polosnya. Gue hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

Terdengar suara mesin mobil Alex, lalu perlahan suara itu hilang menjauh.

Gue merenung. Pantas kah gue marah dengan Joe? Gue bukan siapa-siapa dia. Hanya saja, disaat gue sudah yakin gue mencintai dia, tetapi dia malah..

♥•♥•♥•♥•♥•♥•♥•♥•♥•♥

Eyd nya mulai nonjol kan? Wkwk:3 btw, pendek lagi ya? Yang penting cepet updatenya:3

First&LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang