PERMINTAAN TERAKHIR (Part 13-15)

180 3 0
                                    

(13)

'Apa mereka berdua akan mati?' ratap Jaskier. 'Bagaimana bisa? Krepp, mengapa? Lagipula, sang witcher – kenapa, demi semua wabah jahat yang tak terkira, dia tak melarikan diri? Kenapa tak diserahkannya penyihir sialan itu kepada takdirnya dan kabur? Ini tak masuk akal!'

'Sungguh tak masuk akal,' ulang Chireadan pahit. 'Benar-benar tak masuk akal.'

'Ini bunuh diri. Dan sebuah kebodohan yang nyata!'

'Pada akhirnya, itu pekerjaannya.' Neville menyela. 'Sang witcher sedang menyelamatkan kotaku. Semoga para dewa menjadi saksiku – bila dia mengalahkan si penyihir dan mengusir setan itu, aku akan memberinya hadiah yang besar ..'

Jaskier melepas topi berhias bulu burung kuntul dari kepalanya, meludahinya, melemparnya ke lumpur lalu menginjak-injaknya selagi memuntahkan kata-kata dalam berbagai bahasa.

'Tapi dia ..' tiba-tiba Jaskier mengerang, 'masih menyimpan satu permintaan! Dia bisa menyelamatkan dirinya dan Yennefer! Tuan Krepp!'

'Tidak semudah itu,' sang pendeta tepekur. 'Tapi bila... jika dia mengutarakan permintaan yang benar .. apabila dia entah bagaimana mengikatkan nasibnya kepada nasib .. tidak, kupikir takkan terpikir olehnya. Dan mungkin memang lebih baik tidak demikian.'

(14)

'Permintaannya, Geralt! Cepatlah! Apa yang kau kehendaki? Keabadian? Kekayaan? Ketenaran? Kekuatan? Kejayaan? Keistimewaan? Cepatlah, kita tak punya waktu lagi!' dia diam. 'Kemanusiaan,' ujar Yennefer tiba-tiba, tersenyum sinis. 'Aku sudah menebaknya, bukan? Itulah yang kau inginkan, itulah yang kau impikan! Terlepas, bebas untuk menjadi siapapun yang kau mau, bukan siapa yang seharusnya. Djinn itu akan memenuhi permintaan itu, Geralt. Katakanlah.'

Dia tetap diam.

Yennefer berdiri di hadapannya dengan kemilau bola penyihir itu, dengan sinaran sihir, diantara kilatan cahaya yang mengekang djinn itu, menyusuri rambut dan mata ungu yang menyala, tegas, lembut, gelap, mengerikan...

Dan cantik.

Tiba-tiba dia mencondongkan badan dan memandangi matanya. Dia menghirup aroma bunga lilac dan cermai.

'Kau tak mengatakan apapun,' desisnya. 'Maka apa yang sebenarnya kau inginkan, witcher? Apa impian yang kau sembunyikan? Apakah kau tak tahu atau tak bisa memutuskan? Carilah dalam dirimu sendiri, carilah dalam-dalam dan hati-hati karena, aku bersumpah demi Kekuatan, kau takkan mendapatkan kesempatan ini lagi!'

Tapi tiba-tiba dia mengetahui kebenarannya. Dia menyadarinya. Dia tahu seperti apa Yennefer dulu. Apa yang diingatnya, apa yang tak bisa dilupakannya, apa yang harus ditanggungnya seumur hidup. Siapa dirinya dahulu sebelum menjadi seorang penyihir.

Pandangan dingin, menusuk, marah dan bijaksana itu adalah dari mata orang yang bungkuk.

Dia ketakutan. Bukan, bukan karena kenyataan itu. Dia takut wanita ini akan membaca pikirannya, mengetahui apa yang telah ditemukannya. Bahwa dia takkan memaafkannya untuk itu. Dia mematikan pemikiran itu dalam dirinya, membunuhnya, dan membuangnya dari ingatannya untuk selamanya, tanpa jejak, perasaan, dan selagi dia melakukannya, kelegaan yang besar. Perasaan yang –

Loteng retak dan merekah. Djinn itu, terjerat dalam jaringan pancaran cahaya yang kini memudar, terjerembap tepat di atas mereka, mengaum, dan dalam raungan itu, keriangan dan kehausan untuk membunuh. Yennefer melompat untuk menyambutnya. Cahaya memendar dari tangannya. Cahaya yang sangat lemah.

Djinn itu membuka mulutnya dan merentangkan telapak tangannya meraih Yennefer.

Sang witcher akhirnya mengerti apa yang sebenarnya diinginkannya.

Dan dia mengutarakan permintaannya.

(15)

Rumah itu meledak. Batu bata, tiang dan papan kayu beterbangan dalam awan asap dan percikan api. Djinn itu mencelat dari badai asap, sebesar kandang kuda. Meraung dan tersedak dengan tawa kemenangan, si jin Udara, kini terbebas, tak terikat kepada kehendak siapapun, berputar tiga kali di atas kota, merobohkan puncak atap balai kota, membubung ke langit dan menghilang.

'Dia kabur! Dia kabur!' Krepp memanggil. 'Sang witcher berhasil! Jin itu pergi! Dia takkan lagi menjadi ancaman bagi siapapun!'

'Ah,' ujar Errdill dengan kelegaan yang jujur, 'betapa indahnya reruntuhan ini.'

'Sial, sial!' Jaskier melolong, membungkuk di balik dinding. 'Dia merubuhkan rumah itu! Takkan ada yang bisa selamat dari hal itu! Tak seorangpun kubilang!'

'Sang witcher, Geralt dari Rivia, telah mengorbankan dirinya bagi kota kita.' Walikota Neville mengumumkan. 'Kita takkan melupakan dirinya. Kita akan memberinya penghormatan. Kita akan mendirikan patungnya ..'

Jaskier mengguncang serpihan kayu berlumur tanah liat dari bahunya, membersihkan jerkinnya dari plaster basah, memandangi walikota, dan, dengan sedikit kata-kata yang dipilah-pilih, mengutarakan pendapatnya tentang pengorbanan, penghormatan, kenangan dan segala patung di dunia.

The Witcher Book 1 - The Last Wish (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang