9 | Jaewook

13 1 0
                                    

Malam ini angin berhembus cukup kencang. Kami membatalkan rencana untuk minum kopi di café milik Donghae. Alasannya konyol, karena hari ini Wendy, si gadis penyanyi di café itu tidak datang. Jadi dengan amat terpaksa aku harus menuruti permintaan bocah ini, daripada aku harus melihatnya terus menerus menekuk bibirnya. Dasar bocah!

Gikwang memaksa ku untuk ikut dengannya menemui Donghae. Entah apalagi maunya anak ini. Benar-benar de!

“Kamu mau apa sih menemui Donghae?”

“Mau minta kontaknya Wendy” jawabnya santai.

Astaga! Jadi ini demi seorang perempuan? Lalu kenapa ia menyeret ku juga?

“Ayolaah, Hyung. Aku kan belum lama mengenal Donghae Hyung. Aku malu”

“Apa malu? Bukankah kau ini tidak tau malu, eoh?!”

Kemudian ia terkekeh dan menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal.

Akhirnya kami sampai di depan Rumah Sakit Seoul, tempat Donghae praktek. Kami pun turun dari mobil. Baru saja kami akan masuk kedalam rumah sakit, aku melihat Donghae dari kejauhan. Sepertinya dia sedang berjalan dengan seorang wanita.

Mereka berjalan semakin dekat dengan kami. Kenapa rasanya wanita itu tidak asing? Donghae dan wanita itu akhirnya sampai di hadapan kami. Ia pun menyapa kami seperti biasa. Tapi pandanganku teralihkan pada wanita di sampingnya. Wanita itu…

Oppa?” ucap wanita tersebut.

Aku tidak bisa berkata apapun. Tubuhku terasa membeku. Dia adalah adikku, Kim Jaekyung. Adik yang menghilang tanpa kabar selama bertahun-tahun. Entahlah, rasanya hatiku campur aduk. Rasanya aku begitu bahagia dan ingin memeluknya, aku begitu merindukannya. Tapi aku masih merasa kesal, ketika tak bisa aku hubungi, bahkan ketika…. Ketika eomma meninggal.

Oppa… jaewook oppa…” ia memanggilku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Aku masih tidak bergerak sedikitpun dari tempatku.

Gikwang dan Donghae menatap kami bergantian. Mereka menatapku meminta penjelasan atas apa yang mereka lihat saat ini. Tapi aku belum sanggup mengucapkan apapun.

Donghae terlihat berusaha menenangkan Jaekyung ketika ia mulai menangis. Rasanya aku pun ingin menariknya dalam pelukanku, tapi bayang pria itu selalu hadir ketika aku melihat Jaekyung.  Pria yang telah menyakiti dan ibuku.

Hyung?” Gikwang menepuk pundak ku.sambil terus bertanya. Entah apa yang ia tanyakan aku tak bisa jelas mendengarnya.

“Ayo pulang” ucapku singkat. Sebenarnya bukan ini yang ingin aku katakan, tapi tiba-tiba saja aku tidak bisa mengontrol apa yang kulakukan saat ini.

“eh tapi…”

“Kalau kau masih mau disini biar aku sendiri saja” aku membalikan badan meninggalkan mereka. Tapi suara Jaekyung menghentikan langkahku.

oppa.. maafkan aku.. kumohon jangan seperti ini” ucapnya sambil menangis.

Maaf jaekyung, tapi aku belum sanggup bertemu denganmu saat ini. Maafkan aku yang tak bisa bersikap dewasa, Jaekyung. Maafkan aku.

*

Aku melemparkan tubuhku ke sofa. Rasanya tubuhku begitu lelah. Ku pejamkan mataku sejenak untuk melupakan apa yang telah terjadi malam ini.

Hyung” suara itu membuatku membuka mata. Dan sekaleng bir dingin melayang kehadapanku dan dengan sigap kutangkap.

Aku sampai lupa kalau bocah ini masih mengikuti ku kesini.

“Ku pikir kau akan pulang kerumah mu” ucapku kemudian meneguk langsung sekaleng bir yang tadi ia berikan.

“Bagaimana mungkin aku pulang ketika kau tidak menjawab aku,padahal aku sudah sampai di rumahku, tapi kau tetap saja diam. Lalu siapa yang akan mengantarkan mu pulang kalau begitu?”

“Maaf”

“Sebenarnya ada apa denganmu, Hyung? Siapa wanita tadi?”

Aku terdiam sejenak kemudian menarik nafas berat.

“Dia adikku”

Terdengar suara Gikwang yang terkejut setelah mendengar kata-kata ku barusan.

“Memangnya kau punya adik perempuan? Kupikir kau anak tunggal”

Aku hanya tersenyum tipis.

“Ayolah, Hyung. Kau tau kan aku bisa menjadi tempat mu untuk mengeluarkan keluh kesah mu? Ceritakan saja padaku”

Lagi-lagi aku menarik nafas berat. Kali ini terlalu berat sampai rasanya sesak dan sulit bernafas. Aku memejamkan mataku sebelum menceritakan semuanya. Rasanya dadaku benar-benar sesak saat ini. Pikiranku kembali ke masa kelam itu.

“Ketika ibuku sakit, ayah memang bekerja keras untuk pengobatan ibu, dia benar-benar ayah yang baik. Tapi entah kenapa ia berubah menjadi kasar, sangat kasar. Tapi ia hanya kasar padaku. Aku bisa mengerti jika ia hanya kasar padaku, tapi suatu hari, pria itu membentak ibuku dan memperlakukannya dengan kasar. Sampai akhirnya ia pergi meninggalkan aku dan ibuku...”

Aku meremas kaleng bir yang ada dalam genggamanku. Amarahku semakin memuncak.

“Lalu, kenapa kau membenci adikmu juga?”

“Entahlah,, sebenarnya ia tak sepenuhnya salah. Tapi ketika pria itu pergi, Jaekyung memilih untuk pergi bersamanya ke luar negeri. Aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya hingga ia memilih ikut dengan pria itu. Bahkan ia tak bisa dihubungi ketika ibu memintanya untuk datang”

“Tapi hyung, kurasa kau tak harus sedingin itu pada adikmu”

Apa yang Gikwang katakan memang benar. Tapi ternyata sikap egois dalam diriku sungguh terlalu besar. Mengalahkan rasa rinduku pada adikku sendiri. Satu-satunya keluargaku yang tersisa. Aku menundukan kepalaku sambil meremas kaleng bir yang sudah kosong itu. Tanpa sadar air mataku menetes.

“Sepertinya kau butuh waktu untuk sendiri, Hyung. Aku pulang ya”

Aku tak menjawab perkataan Gikwang. Aku masih bisa melihatnya berdiri di dekatku. Tak lama kemudian, dengan ujung mataku aku melihatnya pergi

ProeliumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang