P U D A R -2-

794 75 4
                                    

Hime, jangan marah. Maafkan aku...

Pesan singkat itu membuat bola mata Hinata berputar dengan sendirinya. Gadis itu menaruh ponselnya diatas meja rias, kembali melanjutkan aktivitas memoles egg mask ke wajahnya yang tadi sempat tertunda.

.

.

.

Pagi ini Hinata sudah sampai disekolahnya, langkah itu sontak terhenti ketika matanya tak sengaja menangkap kekasihnya kini tengah memperhatikannya di ujung koridor. Hinata yang melihat itu refleks tersenyum, ia berjalan mendekati Naruto yang menatap nya sendu.

"Bagaimana? Sudah di hapus? " tanyanya dengan penuh harap.  Naruto menjawab dengan anggukan kecil, ia menyerahkan ponsel nya pada Hinata yang kini tersenyum senang.

"Thank's honey, i love you..., " ujarnya lalu berlalu lalang meninggalkan Naruto yang kini mengembangkan senyum tipis.

"I love you too... "

Angin. Ya tentu saja, lagi dan lagi. Hinata tidak pernah mau mendengar balasannya.

...

Bel istirahat sudah berbunyi 5 menit lalu, Naruto yang sedang sibuk di lab kimia membuatnya tak bisa bertemu Hinata. Ia hanya bisa memandang kekasihnya itu saat tak sengaja safirnya melihat Hinata berjalan melewati lab.

"Kau melamun? " tanya Anko-sensei. Naruto yang mendengar itu segera tersadar dari lamunannya. Ia menggeleng cepat.

"Gomennasai~"

Sedangkan di Perpustakaan...

Hinata yang baru saja sampai dikagetkan dengan adanya Kiba disana. Ia pun langsung dengan semangat menghampiri pemuda itu dan menceritakan betapa senangnya ia hari ini.

"Hina..."

"hm? "

"Bukankah kau sedikit berlebihan? " Hinata yang mendengar ucapan Kiba hanya terkikik geli.

"Aku cemburu, apa itu salah? " Kiba hanya menjawab dengan gelengan. Tapi ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Rasanya sungguh tidak adil bagi Naruto.

"Kau melarangnya untuk chatting, ngobrol bahkan yang berhubungan dengan perempuan lain selain dirimu. Tapi disini, kau sedang bersama ku. Apa itu sudah benar? "

"Oh ayolah Kiba, kita ini teman dari kecil. Tidak mungkin aku menjauhi mu kan? "

"Dan tidak mungkin bagi ia untuk menjauhi Sakura karena mu Hinata. "

Hening! Hinata yang mendengar itu lebih memilih untuk menghela nafas. "Aku takut dia akan berpaling dari mu..."

"Atas dasar? "

"Keegoisan mu. "

Lagi. Hinata yang mendengar itu lagi-lagi terkikik geli. Kenapa Kiba begitu serius?

"Aku percaya pada Naruto-kun, ia sangat mencintaiku. Bahkan ia rela menjauhi semua perempuan demi aku, tidak —bahkan ia sangat menjaga perasaan ku. Lolucon mu lucu tahu! "

Kiba hanya bisa menghela nafas pasrah, ia membereskan buku yang tadi sedang ia baca kemudian kembali menaruhnya dirak. Pemuda itu sedikit menoleh memandang Hinata yang masih sibuk chattingan dengan Gaara —Ketua Osis dari Suna High School. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat betapa bodohnya teman masa kecilnya ini.

Semua orang bisa berubah Hinata, termasuk Naruto. Batinnya lalu keluar dari perpustakaan.

.

.

.

"Sudah selesai dengan lab nya?" tanya Hinata ketika melihat Naruto menghampirinya sambil tersenyum. Pemuda pirang itu mengangguk, ia mengeluarkan kotak bekal yang tadi berada di dalam tasnya lalu menyondorkan bekal itu ke Hinata. Gadis itu hanya bisa menatapnya bingung.

" Aku membuat ini untuk mu Hinata-chan, maaf karena tidak bisa memberikan ini saat jam istirahat. " Hinata hanya ber'Oh ria lalu menerima bekal itu dengan senyuman tipis.

"Kita pulang sekarang?"

" ahh tentu..."

Sedangkan disuatu tempat yang tak jauh dari gerbang sekolah, Kiba yang kebetulan baru saja keluar dari kelas hanya bisa menghela nafas. Ia tahu betul Hinata merupakan orang yang tidak suka jika harus berjalan dibawah terik matahari, Kiba pastikan, gadis itu akan sangat cerewet.

Perjalanan ini sungguh membosankan, mungkin itu yang dipikirkan oleh Hinata. Hari sudah menunjukkan pukul satu siang dan mereka berjalan dipinggir jalan karena Naruto yang tidak membawa kendaraan. Berbeda dengan Naruto, pemuda itu terlihat sangat menikmatinya. Bagaimana tidak? Lihatlah sekarang ini, ia begitu senang karena bisa menggandeng kekasihnya itu selama beberapa waktu. Mungkin.

"Kau senang?" Pertanyaan yang terlontor dari bibir gadis itu spontan membuat Naruto menoleh. Pemuda itu tersenyum tulus.

"Aku senang, sangat senang... Karena kita sudah jarang sekali seperti ini," jawabnya sedikit sendu. Hinata yang mendengar itu diam beberapa detik, mau tak mau ia juga harus menikmatinya. Naruto benar...

"Tak terasa ya... Sebentar lagi aku akan melepas jabatan ku," ujarnya menarik perhatian Naruto. Pemuda itu hanya diam, ia berusaha mendengarkan curhatan gadisnya itu dengan baik.

"Ya walau tinggal beberapa bulan lagi..." Hinata menghembuskan nafas berat. "Melepas kesibukan, setiap hari ku pasti akan sangat membosankan. Bukankah begitu Naruto-kun?" lanjutnya sembari bertanya.

Naruto hanya diam. Apa yang membosankan itu juga termasuk dirinya?

"Aku rasa, aku akan ke London untuk kuliah disan-Meninggalkan ku?" tanyanya spontan. Hinata yang merasa ucapannya dipotong tanpa izin menghela nafas tak suka. Ia melepaskan genggaman Naruto dari tangannya dengan sedikit kasar.

"Kalau iya memang kenapa? Lagian aku kesana untuk belajar. Apa kau tidak sanggup menjalin hubungan jarak jauh dengan ku?!" Bentakan itu tersapu oleh angin, namun terdengar begitu nyaring di gang tempat mereka berhenti. Apa ada yang salah dengan pertanyaannya?

Entah mengapa akhir-akhir ini Naruto merasa sangat sulit untuk memahami Hinata. Ia tidak tahu, Hinata tidak pernah seperti ini sebelum nya. Gadis itu berubah, ya, mungkin itu yang dipikirkan oleh Naruto. Apa benar ini Hinatanya? Hinata yang beberapa waktu lalu membuatnya jatuh cinta?

"Kau meragukan cintaku Hinata-chan? Apa yang kau katakan itu?" Gadis itu tidak menjawab, ia bersender pada tiang lampu sambil sesekali menendang kerikil ke jalanan.

"Ada apa dengan mu? Apa kau ada masalah? " Hinata menggeleng, ia menepis tangan Naruto yang berusaha untuk memegang bahu nya itu kasar. Entah kenapa ia tidak menyukai itu.

" Nanti malam jangan hubungi aku. Aku sangat lelah, ku mohon," pintanya berlalu lalang meninggalkan Naruto disana.

Pemuda itu diam memperhatikan Hinata yang baru saja pergi menaiki taksi, ia menghela nafas berat,, karena ia tahu, sulit bagi nya untuk tidak menghubungi gadis itu.

...

P U D A R | SellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang