1. Pekerjaan Baru

4.8K 449 79
                                    

🌼 Sebelum lanjut baca, baca author notes dan warning terlebih dahulu ya, terima kasih. 💜

Jinyoung menyengir lebar, matanya mengedip cepat seperti anak anjing yang terlantar di pinggir jalan meminta belas kasih agar diadopsi. Sedangkan aku, menyorotinya dengan cebikan sebal di bibir.

"Jadi, ini pekerjaan mahal yang kau tawarkan padaku?" kataku sinis. "Kau tidak sedang bercanda, bukan, Choi Jinyoung?"

"Bercanda bagaimana, sih, Cheonsa? Aku serius. Masa bercanda. Pekerjaannya mudah, kok! Kau lihat, dia pendiam dan bisa menjadi temanmu juga. Jangan khawatir!" Jinyoung bersikukuh meyakinkanku yang masih gamang.

Tidak ada hal yang lebih konyol dari pekerjaan sebagai pengasuh kucing. Bayangkan saja, pet shop bertebaran di seluruh penjuru kota, tapi kenapa pekerjaan itu malah ditawarkan kepadaku?

Bukan. Aku bukan pembenci binatang. Aku menyukai binatang, apapun kecuali reptil. Namun, pekerjaan semacam ini jelas berada di luar nalarku. Menjaga seekor binatang berbulu di rumahku sendiri, dan waktunya tidak tentu. Jinyoung saja tidak yakin kapan majikan si binatang berbulu ini kembali.

"Ayolah... pengangguran macam dirimu tidak ada gunanya membuang kesempatan seperti ini. Lagi pula gajinya lumayan daripada kau harus kerja paruh waktu di kafe," kata Jinyoung.

Aku melirik sisi kanan pria yang ada di depan rumahku ini, satu kardus besar berdiri di sampingnya, kata Jinyoung itu adalah perlengkapan si kucing yang akan kuasuh--di dalamnya terdapat pasir gumpal, kandang dan makanan-makanan untuk kucing tersebut. Di sebelah kardus itu pet cargo ukuran medium tergeletak, di dalamnya terdapat seekor kucing scotish fold hitam sedang menatapku dengan mata bulatnya yang berbinar.

Terkadang, aku membenci ketika menatap mata kucing yang irisnya sedang melebar seperti mata kucing yang satu ini.

Apa yang dikatakan Jinyoung tidak sepenuhnya salah. Gaji yang ditawarkan oleh si pemilik lama kucing ini cukup menarik, hanya saja aku merasa aneh, mengapa untuk pekerjaan seperti ini mereka rela membayarku dengan harga yang tidak realistis? Bahkan selisihnya cukup jauh jika dibandingkan dengan gaji kerja paruh waktu di kafe terdekat dengan tempat tinggalku.

"Hoi, mau, 'kan?" Jinyoung melambaikan tangannya di depan wajahku yang sedang melamun.

"Kok aneh, ya? Kenapa tidak dititipkan saja ke penitipan hewan? Kenapa harus dioper ke orang lain?" tanyaku seraya menggaruk kepala.

"Katanya tuan kucing ini tidak percaya kalau dititipkan di pet shop atau semacamnya. Beberapa tahun yang lalu mereka pernah menitipkannya di pet shop dan baru ditinggal dua hari kucingnya sudah sekarat di sana. Jadi, sampai sekarang mereka tidak berani lagi menitipkan peliharaannya ke pet shop," jelas Jinyoung, tapi aku masih belum cukup puas.

"Kenapa tidak dibawa saja, sih, bersama mereka? Kasihan, tahu, berpisah dengan tuannya. Bagaimana pun juga, kasih sayang tuan aslinya dengan orang lain itu berbeda," kataku.

"Mereka itu sibuk sekali, Cheonsa. Katanya sepasang suami istri yang sudah tua ini sering ke luar negeri karena pekerjaannya, dari negara satu ke negara yang lain, cukup repot mengurusnya."

Aku mendengkus lelah. "Kalau begitu kenapa mereka memelihara binatang? Memelihara binatang itu adalah komitmen seumur hidup. Seharusnya mereka mengukur kemampuan diri mereka dulu, dong, baru mencoba memelihara kucing!" kesalku.

"Yaa, mana aku tahu, Cheonsa." Jinyoung terlihat lelah berdebat denganku. Pasrah.

"Lalu, kau ini sebenarnya kenal dengan si pemilik kucing ini, tidak, sih?" balasku.

Lewat netra Jinyoung yang berlarian berusaha menghindari tatapan tajamku, aku sudah bisa menebak apa yang ada di pikirannya. "Tidak, sih, Cheonsa." Nah, 'kan. Benar firasatku. Aku pun menggelengkan kepalaku tak habis pikir.

CATNIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang