7. Sedih

2.2K 375 68
                                    

Aku mengabaikan Sugar seharian ini. Dari tadi dia mengajakku bicara, bahkan demi menarik perhatianku dia rela masuk kardus kosong bekas makanan yang diberikan untuknya dulu, di sudut dapur. Dia pikir aku akan peduli padanya setelah memegang dadaku? Oh, tentu saja tidak. Masih untung dia tidak kuusir dari ruah ini. 

"Nuna." Aku mengabaikannya dan terus menyuci piring kotor bekas makan siangku. Sedangkan Sugar masih meringkuk dalam kardus besar dengan wajah muram seraya menatapku dengan mata membesar. 

Sekali lagi, aku tidak peduli. Aku harus menghukumnya. 

"Nuna marah, ya, sama Sugar?" Pertanyaan bodoh itu sudah terlontar berkali-kali dari mulutnya, tapi aku juga tidak menyerah untuk mendiamkannya. 

"Nuna, Sugar lapar...." 

Dia akhirnya keluar dari kardus dan berdiri di sampingku, sontak aku langsung menarik jarak dan mempercepat pekerjaanku di depan bak cuci piring. Aku tidak mau kejadian yang tadi terulang lagi. Kalau sempat terulang lagi... oh, pandanganku sekarang terhenti pada pisau dapur ukuran jumbo, apa aku harus mengebirinya sendiri dengan tanganku, ya?

"N-Nuna, jangan lihat itu...." Aku meliriknya tajam, dia terlihat ketakutan saat menyadari aku memandangi pisau. 

"Kenapa?" tanyaku tidak senang seraya mengambil pisau itu, Sugar pun mundur perlahan. "Takut?"

Sugar mengangguk dengan bibir melengkung. 

"Kalau takut, duduklah dengan manis atau kupotong tangamu! Ah, atau adikmu saja yang kupotong?" 

Mengerut takut sembari memegangi selangkangannya, dia akhirnya duduk manis di ruang tengah. Sesekali aku menoleh, mendapatinya mengusap perut dengan wajah sendu. Memang pintar sekali membuat orang iba padanya.

Setengah hati aku langsung mengambil piring dan menaruh makanan basah kalengan di atasnya. Lagi, aku menoleh padanya. Memang dasar kucing jadi-jadian, telinganya yang tajam itu langsung menangkap bunyi kaleng yang diletakkan ke atas meja. Hidungnya kembang kempis, matanya yang semula suram itu membulat memancarkan kebahagiaan luar biasa.

Secepat kilat dia merangkak, mendekatiku. Tampak antusias sampai ekor dan telinga kucingnya keluar. Samar terdengar suara mengeong berpadu dengan dengkuran halusnya. Aku merinding. Ini kali pertama aku mendengar suara kucingnya ketika ia berbentuk manusia meski tidak terlalu jelas.

"STOP!" Aku menjulurkan tanganku di depan wajahnya. Dia menurut dan berlutut di depanku. Tangannya diletakkan di atas paha. Manis sekali. Dia paling hebat merayu dengan sikap manis dan penurut ketika sedang lapar.

"Tetap di situ. Jangan bergerak sampai aku menyuruhmu makan, mengerti?"

Dia mengangguk.

Beberapa detik aku memperhatikannya, memastikan kalau dia tetap pada posisinya. Kemudian, saat jelas dia tidak melakukan hal aneh, aku langsung menuju ruang tengah dan menaruh piring di meja.

"Berdiri," perintahku dan dia menurut begitu saja. "Berjalan ke sini, Sugar. Makan di meja makan. Makanlah menggunakan tanganmu."

Sugar berjalan cepat menuju meja makan. Duduk manis dan melahap makanannya seperti orang kesetanan. Aku mundur dan masuk ke kamar. Karena masih merasa trauma melihat kamar mandi, aku belum sempat mandi sejak pagi. Jadi, kesempatan ini aku gunakan untuk mandi.

"Sebelum aku keluar dari kamar mandi, jangan coba-coba bergerak dari tempatmu, mengerti?"

Dia mengangguk dengan senyum kecil di wajahnya. Sejenak, aku merasa kurang yakin, tapi pada akhirnya aku berusaha memercayainya dan mengambil baju ganti sebelum masuk ke ruangan di samping kamar tidurku.

CATNIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang