Path 1.1 - Peran (Part III)

256 17 1
                                    

SAAT membuka matanya, Albert tahu bahwa sudah terlambat untuk menyadarinya. Robot itu sudah berada di belakangnya, mengayunkan pedang dengan cepat ke arahnya.

Namun, dengan gerakan yang tak kalah cepat, Albert dapat menangkis serangan dengan pedang anginnya. Ia membuang napas kecil. Untung aja aku masih sempat meningkatkan kecepatanku. Kalau terlambat sedikit aja, modyar aku pasti.

Keduanya melompat menjauh, memberi jarak di antara keduanya. Albert fokus memperhatikan setiap inci gerakan robot tersebut. Menilik dari serangan tiba-tiba dan pergerakannya yang cepat, sudah pasti robot itu diatur dengan peran Assassin. Ia hanya tinggal mengukur level lawannya ini.

Loh, kenapa harus repot-repot mengukurnya? Bukankah menurut perkataan Mr. William tadi, level lawan itu satu tingkat di atasnya?

Jika boleh jujur, sebenarnya Albert tidak mengetahui level-nya sendiri. Ia belum pernah sekali pun memiliki niat untuk mengukur level-nya. Caranya saja tidak tahu, bagaimana mau mengukurnya? Namun, setidaknya ia mengetahui sedikit cara untuk mengukur level lawan--yang sempat diajari oleh ayahnya beberapa tahun silam. Dengan kata lain, jika ia berhasil mengukur level robot tersebut, maka ia pun berhasil mengetahui level-nya sendiri. Sambil menyelam minum air, begitulah yang dipikirkannya.

Yah, walau terasa aneh, jika dipikir-pikir lagi. Masa' dia lebih tahu cara mengukur level lawan daripada level diri sendiri?

Ya sudahlah, let's do this, batin Albert bersiap-siap.

Tanpa aba-aba, si robot menerjang ke arahnya, memberi serangan bertubi-tubi. Sampai-sampai, Albert dibuat kewalahan olehnya. Matanya hampir tak bisa membaca serangannya. Hingga akhirnya robot itu berhasil menggores tangan kirinya. Untungnya tak terlalu dalam, tetapi tetap saja mengeluarkan darah.

Albert menggigir bibir bawahnya. Tiba-tiba saja muncul ide yang cukup gila terlintas di benaknya. Namun, itu pantas dicoba. Lebih baik mencoba daripada enggak sama sekali.

Dengan sihir esnya, ia mengubah beberapa tetes darah dari lukanya menjadi sebuah pedang dengan bentuk serupa dengan pedang anginnya. Mr. William, yang menyaksikan pertarungan dari layar tabletnya, membulatkan mata tak percaya. "Bagaimana bisa ...?"

Yang membuatnya pun tampak tidak percaya dengan hasil karyanya. Mulutnya menganga lebar. Bisa-bisanya ide gilanya tadi berhasil. Albert menggeleng pelan. Ini bukan waktu yang tepat untuk melongo seperti orang gila kurang kerjaan.

Ia menyerang dengan kedua pedang di tangannya. Sayangnya, si robot menghindari setiap serangannya, seakan-akan itu bukan apa-apa. Alih-alih dapat menghadiahi barang segores, Albert malah dihadiahi luka yang cukup banyak di beberapa bagian tubuhnya. Jaket yang dikenakannya pun menerima banyak sekali bekas koyakan. Huft, padahal ini kali pertamanya mengenakan jaket ini ....

Albert menjauhkan diri, mengambil napas sejenak. Sudah hampir satu jam lamanya ia berada di sini, dan belum ada perkembangan yang signifikan. Malahan ia dirugikan di sini. Ia ingin segera menyelesaikan tes ini sebelum energinya habis, setelahnya beristirahat sambil meminum segelas minuman dingin.

Pikirannya mulai membayangkan makanan-makanan lezat juga mewah tersedia di depannya. Selain itu, ada beberapa gadis cantik berpakaian ala maid yang menyuapinya. Ada juga yang memijati kakinya. Dan ada juga yang mengedipkan sebelah matanya pada Albert, tersenyum imut.

Tak ada yang bisa menghalanginya, bahkan robot ini sekalipun.

"Modar kau, robot sialan!"

Dengan tekad membara di dadanya, ia kembali menerjang. Terjadilah pertarungan sengit di antara keduanya. Dengan kecepatan yang tak dapat dilihat dengan mata telanjang, keduanya tak memberi celah bagi masing-masing untuk melukai barang seinci pun.

Skylar AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang