PUKUL tujuh pagi. Albert sedang berjalan santai di koridor dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Sendirian saja, tak ada seorang pun teman sekamarnya di sampingnya. Padahal biasanya mereka sering terlihat bersama ke mana pun mereka pergi.
Koridor saat ini tidak begitu ramai, hanya ada beberapa murid yang berada di depan loker mereka. Mungkin sedang mempersiapkan buku pelajaran untuk jam pertama nanti. Ada pula seseorang berkacamata bulat yang sedang bersender, dengan khusyuk membaca buku. Albert dibuat merinding kala melihat ketebalan buku tersebut, yang bahkan buku-buku pelajaran pun kalah tebal.
Meskipun ia suka membaca buku, tetap saja ia tidak sanggup membaca buku setebal itu.
Albert sampai di depan lokernya. Ia merogoh kunci dari saku celana, memasukkan kunci tersebut ke lubang kunci. Loker itu terbuka, menampakkan jejeran buku-buku yang tersusun rapi. Lokernya masih terbilang cukup bersih, jika dibandingkan dengan loker anak-anak lain yang sudah dipenuhi banyak dekorasi ataupun kertas-kertas sticky note kecil.
Albert sedang mengecek buku-buku yang ada di dalam sana, saat ia mendengar suara kerumunan yang tak jauh darinya. Rasa penasarannya terpancing untuk mencari tahu.
Baru saja Albert mengambil beberapa langkah, tangannya sudah ditarik duluan oleh seseorang menuju kerumunan tersebut. Mau tak mau, Albert harus mengikuti langkah orang tersebut.
"Air dingin! Air dingin!"
Dengan bantuan orang tersebut, Albert akhirnya berhasil sampai di depan papan mading, yang menjadi sumber kebisingan kerumunan ini. Albert melepaskan pegangan tangan orang tersebut, mengibas-ngibas tangannya. Ia meringis pelan, lantas menegok ke samping.
"Sakit tahu, Jen! Kalo mau narik orang, izin atau bilang-bilang dulu gitu, kek! Jangan asal main tarik."
"Iya, iya. Maaf." Jenna cengengesan.
"Di mana Dave? Biasanya kalian berdua selalu nempel kayak magnet beda kutub," celetuk Albert.
Jenna tertawa. "Aku? Sama dia? Kutub beda magnet? Idih, ogah!" Jenna memeluk tubuhnya sendiri, merasa jijik.
"Magnet beda kutub, oi! Terbalik!"
"Terserah aku, dong!"
Albert memijit-mijit pelipisnya, sementara Jenna menjulurkan lidah.
Kemudian, Albert teringat sesuatu. "Eh iya, kenapa kamu mengajakku ke sini? Memangnya ada apa, sih?"
"Loh? Kamu nggak tahu? Ini, kan, pengumuman hasil tes peran kita beberapa minggu lalu."
"Hasil tes peran?" tanya Albert.
"Iya! Satu kelas juga udah tahu dari lama kalau hasil tesnya akan diberitahu hari ini. Mr. William udah pernah mengatakannya juga, kok."
"Kapan? Kok aku nggak pernah dengar ...?"
Sadar, Jenna langsung menepuk jidatnya. "Aduh, maaf, maaf! Aku lupa kalau kamu lagi nggak sadarkan diri waktu itu. Mr. William mengatakannya setelah seluruh murid kelas kita sudah menyelesaikan tes. Kita dikumpulkan kembali di lapangan, sementara kamu lagi di UKS."
Albert ber-oh singkat, mengangguk pelan.
"Oh iya, ngomong-ngomong, kamu pingsan lamaaa banget. Emangnya lawanmu sekuat apa, sih?" tanya Jenna kepo.
Albert memutar bola mata. "Aku malas membahasnya lagi. Kamu cari tahu saja sendiri sana."
Jenna cemberut, tapi Albert tak memedulikannya. Pandangannya tertuju pada deretan kertas yang ditempel pada permukaan papan mading menggunakan paku payung--di bagian pojok atas kiri dan kanan kertas. Banyak nama yang tak ia kenal yang tercantum di kertas-kertas tersebut. Butuh beberapa menit baginya untuk menemukan namanya. Ia hanya memperhatikannya sekilas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skylar Academy
Fantasy[HIATUS] Sejak lahir, Albert dilahirkan dengan dua elemen. Ia pun merasa sedikit aneh dengan elemen keduanya. Karena itu, orangtuanya memutuskan untuk menyekolahkannya di Skylar Academy. Akademi elite yang banyak meluluskan penyihir dan petarung kua...