Tegar yang Tegar Dalam Hidup Penuh Ketegaran

130 6 1
                                    

Happy berdiri di depan si jago merah yang siap memakan apa pun. Kedua tangan ini, membawa sekotak kardus berisi novel-novel yang ia beli sendiri hingga novel pinjaman yang telah menjadi hak miliknya. Kesedihan di hatinya tentu sangat hebat. Setelah insiden judul buku pemicu listrik padam kemarin, Happy dipanggil oleh guru BK. Tentu Happy menceritakan semuanya. Dari mulai memberi tahu judul novel yang dia baca, hingga dirinya yang tak sadar menjatuhkan segelas plastik es teh ke saklar. Happy tidak mendapat SP atau hukuman apa pun, hanya dinasihati bahwa hidup tak selamanya manis seperti di novel dan film.

Ternyata kalimat Desy telah di-copy banyak orang. Meski begitu, Happy tetap bersikeras mendapatkan hidup bagai alur novel dan film, sekalipun jika novel-novel di tangannya sudah dimakan si jago merah. Happy mulai mendekatkan sekardus novel itu pada kobaran api. Kedua mata coklat itu memejam, tak ingin memandang detik-detik terakhir semua novel kesayangannya. Dia tak peduli  meskipun banyak di antara novel tersebut berharga fantastis. Inilah akhirnya. Satu persatu jari-jari Happy melepaskan sentuhan dari kardus. Dari mulai kelingking, jari manis, jari tengah, telunjuk, dan ibu jari.

Suara jatuh terdengar mulus di pendengaran. Air mata mulai membentuk sungai di pipi. Isakan kecil mulai berbisik.

Happy bukanlah tipe anak baru yang disukai banyak orang. Ini semua sebab dirinya yang terlalu menyukai novel, malahan mungkin tergila-gila. Bahkan Happy pernah berteriak 'Marry Me!' pada guru kimia baru yang tampan. Tentu ini terjadi karena sehari sebelum hari kejadian, Happy membaca novel dengan judul 'Suamiku, Guruku, dan Perjodohan Ortu'. Sontak sekelas malu dengan tingkah laku itu, lalu mereka mulai menggosipi tingkat aneh Happy; entah di chat group atau tempat di mana tidak ada Happy. Happy sendiri telah tahu banyak yang tidak menyukainya, dan dia tidak peduli. Namun, makin lama, Happy makin memikirkan para pembenci itu. Menurut Happy, Desy pun mulai ikut dalam kelompok pembenci tersebut.

Ada mungkin beberapa yang melihat kelakukan Happy sebagai hal wajar, tetapi itu hanya beberapa siswa-siswi. Dan sisinya? Ya, bisa dikatakan merekalah pem-bully secara diam-diam. Terlepas dari masa lalu, Happy kembali pada sekardus novel itu.

Perlahan, dia membuka pejaman mata, mengintip novel-novel yang terbakar.

Eh, kok kardusnya hilang? Jelas-jelas, tadi kardus berisi novel itu, jatuh dalam api. Happy menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mengambil.

Satu hal yang ditangkap pandangan Happy adalah seorang pemuda dengan kemeja putih bergaris-garis hitam, dasi ungu, serta celana hitam, memegang sekardus novel. "Sayang, lho, novel sebanyak ini dibakar," ucap sang pemuda.

Happy menajamkan pandangan pada sang pria. "Bapak siapa, 'ya?"

"Bapak? Saya masih muda, tau." Tampak jelas si pemuda menampilkan wajah kesal yang dibuat-buat. "Saya masih 22 tahun. Jahat banget dipanggil bapak."

"Eh, maaf."

"Panggil aja Tegar."

"Kang Tegar, ngapain ngambil novel-novel saya?"

"Saya gak ngambil, cuma saya selametin aja dari kamu."

"Dari saya?" Happy mulai curiga. "Kan saya yang punya. Hak saya banyak atas novel-novel itu."

"Andaikan novel ini manusia, kamu rela bakar?"

"Buku ama manusia beda, Kang."

"Tapi kebaikan yang kita peroleh dari keduanya hampir sama," Tegar meluruskan pandangan pada Happy. Terlihat jelas kedua mata biru tua dari pemuda ini. Pasti dia keturunan yang bule. Pantas untuk disikat oleh Happy. "Buku memberikan pelajaran bagaimana hidup dalam tulisan. Dan manusia, memberikan pelajaran lewat lisan," lanjut Tegar.

Happy menghela napas keras. "Tapi semua novel ini membuat saya terganggu dan dijatuhkan, 'Kang."

"Di-bully?"

"Kok tau?"

"Biasanya yang suka baca novel, dibilang cupu terus di-bully, deh," Tegar menampilkan senyum tipisnya. "Tapi saya liat, kamu bukan tipe cewek cupu."

"Kok tau?"

"Kalo kamu anak cupu, pas saya dateng, kamu harusnya kabur. Cupu itu culun punya. Anak culun atau cupu bakalan langsung malu-malu kucing sampai akhirnya dia malu-maluin diri."

"Kok tau?"

"Kayaknya saya belum kenalin diri lebih tepat, 'ya? Nama saya Tegar, pekerjaan saya seorang psikiater di Rumah Sakit Jones."

"Hah? Jones? Rumah sakit buat para jomlo?"

"Jones itu nama keluarga pemilik rumah sakitnya."

"Kok tau?"

"Karena saya kerja di sana."

"Kok tau?"

"Kamu gak demam, 'kan?"

Happy tersadar. Dia baru tahu dirinya telah membuat Tegar dalam kebingungan. Beribu-beribu pertanyaan itu pula selalu terngiang di pikirannya. Happy merasa ingin berteriak dan menghina diri sebab memalukan diri dengan ribuan pertanyaan tadi. Andai saja ia bisa mengulang waktu, mungkin dia bisa menghilangkan rasa malu ini dan menggantinya dengan rasa terhormat. "Maaf, ini efek kaget soalnya Kang Tegar tiba dateng," ucap Happy.

Tegar tertawa kecil menyaksikan tingkah laku Happy yang menurutnya tergolong lucu. "Udah, daripada ngebakar buku-buku ini, lebih baik kamu liat sekeliling kamu. Pasti ada sesuatu yang mirip sama alur di buku novel ini."

Happy menatap liar rerumputan di tanah. "Tapi saya ragu, Kang."

"Coba aja dulu." Tegar menyunggingkan senyuman manis. Sempat Happy tertegun melihat pemandangan yang sangat indah. Mungkin dia bisa memotret keindahan ini, namun ia sadar bahwa Tegar tak bisa berlama-lama dengannya. "Yaudah, saya balik ke rumah sakit dulu, 'ya. Tetap semangat, Happy!" seru Tegar. Tuh, 'kan, benar. Tegar tak bisa berlama-lama dengannya.

"Makasih sarannya, Kang Tegar."

Tegar tersenyum. "Sama-sama." Dia berbalik memunggungi Happy, berjalan santai mengikuti arah jalan. Melihat punggung Tegar yang makin menjauh, membuat Happy berpikir dua kali untuk membakar seluruh novel. Meski membawa dampak negatif pada kehidupan, yang salah tetaplah Happy. Dampak negatif dan positif dapat ditemukan di manapun, termasuk novel-novel dn film remaja. Happy merasa hidupnya naif ketika tak menyingkirkan dampak negatifnya.

Kehidupan naif ini akan berlangsung sulit, namun Happy harus mengubahnya.

---

Senin, siapa yang suka hari Senin? Senin adalah sebuah hari di mana semua orang meniti kesibukan, tak terkecuali Happy Siska.

Dia berkutat kuat pada tugas di buku tebal. Happy tak mempermasalahkan guru yang memberi tugas, tetapi pembuat soal ini. Mengapa contoh yang tertera sangat gampang, sedangkan tugas yang disuguhkan sangat sulit. Happy mendengus kecil, menatap tajam pada soal seolah soal itu dapat mengerjakan dirinya sendiri. Karena terlalu lama menatap soal, dia mulai melamun. Mungkin siswa lain melihat Happy tengah memerhatikan soal, padahal Happy sedang melamun ria di bangku. Happy tetap melamun, meski petir tiba-tiba muncul dengan suara yang menggelegar. Lamunan Happy sungguh kuat.

Lamunan itu buyar ketika sebuah kotak merah disodorkan di depan wajahnya. Happy menengadah, melihat seorang siswa bertubuh gempal dengan seragam yang menguning. "Vincent? Kenapa?" tanya Happy.

"Buat ... Kamu," jawab Vincent sembari menundukkan pandangan.

Happy menoleh ke sana-sini. "Tapi ... Aku gak ulang tahun."

"Cuma mau ngasih aja. Semoga suka." Vincent memaksa Happy menerima kotak itu, lalu berjalan cepat keluar dari kelas.

"Eh? Vincent, bentar! Ini dalam rangka apa? Ngasih hadiah, tapi gak ngasih tau apa-apa. Kalo aku kirim di IG, aku pake caption apa, coba?"

---

Gendut!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang