Mentari menyingsing perlahan di luasnya bentang angkasa. Sayup-sayup kicau burung bernyanyi ria membawa hari, melintas tiap detik bersama dengan ribut angin yang meniup patera pepohonan.
Salah satu dari rentetan rumah nampak sudah riuh sejak menit-menit yang lalu. Seorang anak laki-laki muda berkaca di depan cermin. Menilik seragam barunya sambil senyum-senyum tampan. Bagus juga, batinnya dalam hati.
Hari ini ialah tahun ajaran baru. Bertepatan pula dengan kepindahannya dari sekolah yang lama atas sebuah alasan. Setelah kurang lebih dua minggu hanya berdiam diri dalam rumah, akhirnya masa-masa sekolah dimulai juga.
Selamat tinggal pada kasur!!
Oh, iya. Kenalkan namanya adalah Adinata Candra. Awamnya dipanggil Nata. Namun kalau sudah dengan Hadyan, namanya bisa berubah menjadi Nana.
Sebenarnya tak masalah. Mau dipanggil Nata, Nana, atau Candra bahkan Adi pun tak mengapa. Toh semuanya adalah nama, artinya pun tetap sama. Tapi menurutnya, Nata sudah cukup keren untuk sekadar jadi nama panggilan.
"Nata, jangan melamun!"
Daksanya hampir terjungkal. Bundanya datang tiba-tiba, mengejutkan Nata yang bertopang dagu di meja makan. Wanita itu melepas apron yang melekat di tubuh. Dua gelas susu yang ia bawa dari dapur melengkapi meja makan dengan sepiring sarapan yang telah siap sejak tadi.
"Jangan diem-diem kayak gitu. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa, memangnya ada yang mau angkut? Bunda sama Sheila nggak bisa gendong kamu tahu."
Nata membelalakkan matanya. "Astaga, Bun, jahat amat sama anak sendiri."
"Lagian salah sendiri. Dah, cepat dihabisin makanannya, terus berangkat ke sekolah. Jangan lupa bareng Sheila. Nanti lupa lagi kayak waktu itu." Bunda memberi titah panjang lebar. Yah, maklum saja. Sudah menjadi kebiasaan. Suka ungkit-ungkit masa lalu.
Tak lama setelahnya, seorang remaja perempuan turun dari lantai dua. Sang adik semata wayang, Sheilandra Pinasti. Usia mereka hanya terpaut dua tahun, dan sebentar lagi Sheila akan lulus dari SMP.
Ketiganya sarapan dengan riang dan gemilang--rutinitas setiap hari. Jangan tanya dimana keberadaan sang ayah. Pria itu sibuk bekerja, mencari nafkah, jarang pulang, sebab bandara tak pernah sepi pengunjung.
Sekitar sepuluh menit, tandas sudah seluruh isi piring dan gelas di atas meja. Lantas segera ia bersiap-siap kembali. Sekolah barunya masih terasa asing walau waktu mendaftar dua hari sebelum tahun ajaran baru, Nata dan bundanya sudah berkeliling mengenali lingkungan sekolah.
Yah, Nata hanya berharap. Semoga saja ada seseorang yang ia kenal di kelas barunya.
. . .
Boleh kalau sekarang Nata katakan zonk? Sungguh, Nata hampir saja telat kalau bukan karena kereta melewati jalur perjalanannya. Sempat ia merutuk, harusnya tadi jangan lewat jalan itu. Tapi percuma, tak ada gunanya marah-marah.
Di lapangan besar, nampaknya masa pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru sedang dilaksanakan. Nata memilih jalan tepi, memutari beberapa koridor demi mencapai gedung dan naik ke lantai dua tempat kelasnya berada.
"Anak baru, ya?"
Nata membalikkan tubuh. Dilihatnya seorang remaja perempuan dan laki-laki yang saling berdiri bersampingan. Sesaat ia menoleh kanan dan kiri. "Saya?"
Si laki-laki itu berdecak. "Iyalah, memangnya siapa lagi. Kamu nggak ke barisan?"
Lho? Nata dikira murid kelas sepuluh. Apakah wajahnya semuda itu? Wah, kehormatan. Nata jadi malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Nostalgic Night
Fanfiction[ COMPLETED ] Nata menyukai malam. Tapi ia juga kehilangannya di waktu malam. Ini adalah kisah sederhana, di mana ia berjuang untuk mendapatkan bintang-nya. alternative universe. ©lunariasticz, 2020