12. Before Time Goes Really Fast

207 38 1
                                    

"Kamu beneran nggak kenapa-kenapa, kan, Dira? Soalnya aku khawatir."

Dira mendongak. Atensi yang sedari tadi ia salurkan lewat sebuah buku catatan diatas meja, kini teralih ketika tak sengaja Nata membuka suara. Mempertanyakan perihal hatinya.

Kalau ditanya begitu, tentu saja Dira bicara jujur. Ia sakit hati. Kepercayaannya telah dikhianati. Tapi dirinya pun tak bisa terus memaksa. Dira bukan siapa-siapa, yang pantas dibahagiakan keterusan.

Maka dari itu, Dira tersenyum getir. Ada sakit yang menjalar dalam perasaan, namun sesegera mungkin ia menepis sampai jauh. "I'm okay. Makasih udah mau khawatir. Tapi aku nggak apa kok. Tenang aja, Nata! Kamu tau aku kuat, kan?"

Tapi urusan hati, bukan cuma Dira yang bisa kuat. Nata kenal gadis itu selama tiga tahun. Satu kelas, dan menjadi dekat karena waktu itu tak sengaja satu bangku setelah dipindahkan guru agar semua murid di kelas punya suasana berteman yang baru. Dan Nata amat bersyukur karena harus dipasangkan dengan Dira, walau cuma bertahan satu bulan.

Nata memutar otak. Mencari cara supaya Dira tidak bersedih lagi. Walau secara langsung Dira diam dan bilang tidak apa-apa. Tapi memangnya ada perempuan yang merasa baik ketika baru putus cinta? Oke. Tak semuanya memang. Tapi itu wajar.

Nata menyesap es kopi yang ia pesan beberapa menit lalu. Oh, omong-omong Nata dan Dira ada di sebuah kafè. Diajak Dira, katanya sekalian belajar bersama dan cari pemandangan di hari minggu.

Namun bagi Nata, jalan-jalan berdua dengan Dira sudah seperti suatu kemajuan tersendiri untuknya. Lumayan, kan, sekalian PDKT.

Sempat merasa ingat tak ingat, Nata memilih untuk bertanya pada Dira yang fokus pada catatannya. "Pasar malam masih ada sampai lusa, kan?"

Kembali perhatian Dira disita. Kepala Dira memiring, tanda bahwa ia juga berpikir. Sesaat ia bergidik. "Mungkin? Aku juga nggak tahu, sih. Tapi katanya pasar malam diadain seminggu."

"Mau kesana?" usul Nata.

"Kemana?" tanyanya ulang.

"Pasar malam!"

. . .

Entah perasaan Nata saja atau bagaimana, tapi ia yakin beribu-ribu persen kalau Dira menyukai usulannya.

Lagipula, lihatlah! Selama di pasar malam, Dira hanya tersenyum dan tertawa! Wah, Nata merasa berguna kali ini.

"Kamu mau permen kapas?"

Dira menoleh. Di tangannya ada boneka berukuran sedang yang dimenangkan Nata dalam sebuah permainan tembak-tembakan. Untung saja Nata jago!

Matanya tertuju pada seorang pedagang yang menjual permen kapas pelangi. Sebenarnya, Dira merasa tak enak hati. Selama banyak bermain disini, Nata yang selalu mengeluarkan uang. Sedangkan Dira hanya mendapatkan apa yang ditawarkan Nata.

Hendak menolak, Nata malah menggeleng kepala. "kamu harus milih dulu."

"Milih apa?"

"Pilih 'Yaudah aku mau' apa 'Oke deh'?"

Dira melebarkan bola matanya. "Hei, itu bukan pilihan, Nata!" Astaga, sikap menyebalkan Nata mulai kembali.

"Hehehe.... Mau nggak? Aku lagi banyak duit, nih."

Tuh, kan? Untung Nata tampan.

Eh?

"Yaudah. Memangnya aku punya alasan buat nolak?"

"Wah, Dira emang pinter!" balas Nata bertepuk tangan. Tolong, Dira sejujurnya malu karena jalan dengan Nata yang tidak punya malu. "Tunggu aku, ya!!!"

Maka Nata berlari terbirit. Menghampiri di penjual, meninggalkan Dira yang memilih duduk di salah satu kursi sambil melepas lelah. Sungguh, kakinya pegal karena area pasar malam jauh lebih besar daripada dugaannya.

Netra kelamnya menghadap ke langit yang lapang. Menerawang malam yang dihiasi kerlip bintang. Dulu, Dira ada di posisi yang sama. Hanya saja laki-laki itu bukan Nata. Melainkan Arka.

Arka sering mengajaknya makan es krim padahal sudah malam hari. Pergi ke toko buku, atau toko kaset untuk membeli album musik kesukaan Arka. Atau bahkan kadang Dira diajak pergi ke rumah hantu, dan berakhir ketakutan dan sembunyi di bahu bidang Arka.

Tapi, itu dulu.

Karena kini Arka telah memberinya luka di hati. Walau Dira tak menepik, bahwa ia masih merindukan Arka-nya.

"Kamu nangis lagi."

Dira tidak sadar kalau Nata sudah kembali. Menghapus jarak, pemuda itu duduk di sebelahnya. Memberi setongkat permen kapas untuk Dira yang tersenyum tipis sebab ketahuan menangis.

Dira masih belum sadar. Bahwa ada hati yang sama terlukanya dengan ia.

"Boleh ... aku minta sesuatu?"

Gadis itu mengernyit. Tak biasa Nata meminta sesuatu darinya. Seperti, tumben sekali. Membuatnya menerka apa yang akan Nata minta kepadanya.

Namun Dira salah duga.

"Besok atau lusa, waktu akan berlalu dengan cepat. Aku cuma mau ada disisi kamu. Seperti dulu, kamu ingat?"

Iya. Dira amat ingat.

Maka Nata melanjutkan, "aku nggak suka kamu nangis. Apalagi gara-gara cowok berengsek kayak Arka. Aku--"

"--aku mau jadi orang yang nanti bakal ganti air mata kamu jadi senyum bahagia yang selama ini aku kenal." []

. . .

an.
sekadar informasi, jujur aja
aku mulai stuck di part ini :')

[✓] Nostalgic NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang