10. Finally See The Truth

212 39 4
                                    

"Kamu berubah."

Arka menaikkan alisnya. Ia bersedekap. "Berubah apa, sih? Kamu jangan ngomong aneh-aneh, lah."

Jengah, Dira tetap menggelengkan kepala. Ia menghela napas, sebelum kembali melanjutkan, "Arka yang aku kenal nggak begini. Suaranya nggak pernah tinggi kalau bicara sama perempuan. Kamu...."

"Apa? Terus kenapa? Maksud kamu aku punya pacar lain gitu, hah? Kenapa, sih kamu negative thinking ke aku?!"

Dira mengerutkan dahi. Menilik Arka yang tahu-tahu sudah membuang wajah. Ia pikir, mungkin suasana hati Arka sedang buruk, maka dari itu ia berusaha maklum.

"Denger aku dulu, Arka. Kamu kenapa, sih? Aku percaya kok sama kamu. Kamu lagi badmood, ya? Yaudah deh, kalo kamu lagi kesel. Aku ke kantin dulu, ya?"

Lantas, Dira akhirnya pergi meninggalkan Arka yang masih sibuk berdiam diri. Baik Dira atau Arka, keduanya tidak ada yang tahu. Bahwa dari balik jendela, ada seseorang yang ragu dengan pilihannya.

Nata, sedang dilanda gelisah untuk yang kesekian kalinya.

. . .

Kalau Hadyan bilang, Nata sudah jauh dari jati dirinya. maksudnya? Yah, biasanya Nata suka jingkrak-jingkrak kesana dan kemari sampai membuat anak sekelas heran, apakah Nata tidak kelelahan?

Tapi begitu ada masalah--secara teknis adalah masalah antara Dira dan Arka soal sesuatu itu, jelas sudah menyita setengah dari perhatiannya. Nata dan Dira itu satu SMP. Mereka dekat, dan masing-masing sudah menganggap sebagai teman dekat--sahabat. Walau sebenarnya Nata ada rasa lebih.

Tapi, hei! Tiga tahun bayangkan? Betapa setianya Nata menjadi sahabat Dira dan selalu membantu gadis itu. Diceritakan pun, satu minggu tidak akan cukup untuk memberitahu dunia bahwa baginya, Dira adalah perempuan ketiga yang membuat dirinya selalu bahagia! (Yang pertama dan kedua sudah jelas adalah Bunda dan Sheila).

Seperti hari-hari yang lalu, Nata tak punya gagasan untuk pulang ke rumah lebih awal. Ia memilih untuk duduk di tepi lapangan yang teduh. Menatap anak-anak satu angkatannya bermain basket sambil menunggu jemputan.

"NATA!"

Tubuhnya berjengit kaget. Atensinya teralih, seorang remaja perempuan yang sedari tadi berkeliaran di pikirannya kini tersenyum tipis dan ikut duduk di sebelahnya.

Dira. Belakangan ini, jarak antara dirinya dengan Arka semakin merenggang. Bagaimana Nata tahu? Tentu saja. Pemuda sialan itu lebih memilih meladeni pacar (diam-diamnya) ketimbang pacarnya sendiri. Yang kemarin heboh karena ditembak di lapangan sekolah!

Gila. Kalau saja Nata sedang di luar, bisa jadi ia sudah ajak Arka untuk bertengkar karena berani membuat Dira-nya galau dan memperlihatkan tatapan sendu itu.

"Nata, pinjem hape kamu boleh?" Tiba-tiba, Dira menjulurkan tangannya. Mata itu berharap agar Nata bersedia memberikan ponsel barang sejenak kepadanya.

Bingung, Nata hanya menjawab. "Buat apa?"

"Telpon rumah. Hape aku mati."

Menimbang, Nata melirik lekat ke arah Dira. Nata bisa saja tanpa pikir panjang memberi ponselnya. Toh, Dira juga bukan orang yang suka berbohong seperti Hadyan. Jadi, Nata percaya-percaya saja.

"Jangan buka yang lain-lain, ya."

"Siap, Nata!"

Tapi sungguh. Karena kalau boleh jujur, Nata amat menyesali perbuatannya saat itu. Ia jatuh dalam tipuan yang dibuat gadis itu. Dira.

Tentu saja Dira tidak menelepon rumah. Ia malah melanggar privasi Nata dengan membuka fitur lain.

Oh, Nata tak permasalahkan hal itu. Dira juga sering melakukannya sejak SMP, dan memang tidak ada sesuatu yang perlu disembunyikan Nata di ponselnya.

Tapi kini, situasinya berbeda.

Foto itu!

Nata hendak meraih paksa ponselnya. Namun ia tahu, bahwa semuanya sudah terlambat.

Dira menatapnya tajam. Seolah ia ingin tahu, apa maksud dari foto itu. Sedetik kemudian, Nata merasa bersalah. Tatkala Dira meletakkan ponsel itu di rerumputan kecil dengan perlahan. Air wajahnya berubah sangat kentara.

"Kamu ... lihat?"

Gadis itu mengangguk. Tersenyum tipis. Tapi Nata tahu, Dira amat kesakitan. "Jadi.... Kamu berantem karena foto itu?"

Nata tak tega. Sungguh. Ia tidak mau Dira tahu seperti ini. Terlalu cepat. Dan ia juga tahu kalau Dira tidak mungkin tidak sedih.

"Maaf."

"Bukan salah kamu." Dira menggeleng. Lengang. Ia menghela napas panjang. "Aku yang harus minta maaf karena sembarangan buka hape kamu. Aku juga bohong tadi."

"Dira...."

"Nata."

Lantas, sepasang netra itu saling beradu. Dan saat itu pula Nata melihat. Bahwa Dira sedang menahan tangisannya.

"Sekarang aku harus apa?"

. . .

Gadis itu diam. Pamit begitu saja.

Tapi Nata bukan seorang pecundang. Ia mengejar Dira. Walau harus kelelahan karena hampir kehilangan gadis itu, namun kini ia temukan Dira tengah duduk di halte bus.

Beberapa bus yang biasa Dira naiki lewat, tapi tidak satu pun ia berniat naik dan pulang ke rumah. Sebaliknya, Dira menunduk. Menutupi seluruh wajahnya.

"Pulang sama aku."

Dira mengangkat wajahnya. Terlihat sudah betapa merah paras itu. Basah akibat tangisan dari rasa sakit di hatinya.

Ia menggeleng pelan. "Kamu duluan aja."

"Dira."

Suara Nata memekat. Tanda ia serius.

"Aku anter kamu, ya. Aku nggak nerima penolakan. Oh, pake jaket ini. Udah sore, kamu yakin nggak kedinginan?"

Sesaat, Dira merasa dirinya tengah goyah. Yang ia ingat, Nata itu pantang menyerah. Ragu, namun Dira akhirnya menerima jaket itu. Lalu, entah mengapa perasaannya mulai menghangat.

Ia tersenyum tipis.

"Makasih, Nata." []

[✓] Nostalgic NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang