Jujur saja, Nata sama sekali tak percaya. Satu kelas lagi dengan gadis itu sudah seperti keajaiban baginya. Percaya atau tidak, tapi dia--Helina Nadira, adalah salah satu alasan mengapa Nata berjuang mati-matian semasa sekolah menengah pertamanya. Dira--nama panggilannya--itu sangat pintar, omong-omong.
Fakta lain yang tak seorang pun tahu kecuali Hadyan sendiri, adalah Nata ternyata menyukai Dira. Sejak kelas 8 SMP, bayangkan?! Bahkan perasaan itu masih ada hingga kini. Tapi sampai sekarang Dira hanya menganggapnya sebagai teman. Menyedihkan.
Nata langsung cerita pada Hadyan lewat chat. Saat itu Nata belum hilang kontak. Begitu ia cerita, Hadyan cuma tertawa terbahak. Katakanlah Nata memang cupu, tak berani ungkapkan perasaannya secara langsung. Tapi, hei! Dulu waktu main truth or dare, Dira sendiri yang mengatakan kalau ia tak akan pacaran.
Tapi, yah ... sekarang mana tahu, kan? Bisa jadi Dira lupa dan Nata punya kesempatan? Semoga saja.
Hari selanjutnya, Nata beruntung karena tidak ada kereta yang menghambat jalan pagi ini. Lantas begitu helm terlepas dari kepala, ia langsung beranjak menuju kelasnya di lantai dua. Lorong-lorong dan koridor panjang ia lalui sebelum menaiki dua puluh anak tangga. Sekolah itu tak begitu sepi. Pukul setengah tujuh kurang, ia pikir harusnya ada beberapa teman sekelasnya yang sudah tiba.
Sebagai fakta saja, sebenarnya Nata bukan tipikal anak rajin. Hari ini, ia berangkat terlalu pagi. Jadi, maaf saja.
Sesampainya di kelas, benar saja kalau Hadyan belum tiba. Anak itu sih, mustahil datang pagi. Bahkan waktu hari pertama pun, Hadyan tiba lima menit sebelumnya.
Guna menghilang rasa sepi dan bosan, Nata beranjak ke luar kelas. Sepasang headset kini menghias dua telinganya--melantunkan sebuah lagu di pagi hari.
Sambil menunggu, Nata berdiri di plang penyangga balkon yang menghadap lapangan besar. Netranya mendelik tatkala menangkap ramai-ramai di lapangan. Nata tak bisa melihat dengan jelas. Kerumunan siswa menutupi penglihatannya, membuat Nata tergiur penasaran.
Asyik menonton, tanpa sadar ponselnya berbunyi, menampilkan sebuah notifikasi. Dari Hadyan. Tumben sekali.
Hahadyan:
LAPANGAN BASKET NYET
BURUAAAANNN
LO PASTI KAGET!!!!!Nata mengernyit. Pesan yang Hadyan kirim kenapa capslock semua. Jebol kali tuh keyboard. Namun pada akhirnya, Nata sadar. Kelasnya baru diisi segelintir orang, padahal harusnya sudah sedikit ramai. Masa iya mereka telat berjamaah. Nata kan, jadi ingin ikutan.
Dan, oh! Nata juga baru sadar. Dira belum sampai. Padahal setahunya, gadis itu paling rajin dan tak pernah telat barang satu hari pun. Sialnya, Nata jadi kepikiran dengan pesan yang Hadyan kirim. Sudah ngegas, kapital semua. Pasti ada apa-apanya. Ada sesuatu.
Terpaksa, Nata mengangkat tubuh dari posisi enaknya. Ia berjalan cepat menuju tangga, kemudian mendengus kesal sambil misuh-misuh tidak jelas. "Harus banget gitu turun tangga buat ke lapangan? Mana ada dua puluh lagi."
Namun, baru menginjak satu anak tangga suara jerit-jerit dari lapangan terdengar sampai lantai dua. Nata menepuk dahinya. Daripada naik turun tangga lelahnya dua kali, kenapa tidak melihat dari balkon saja? Toh, kelihatan sampai sini juga, kan? Peduli amat soal pesannya Hadyan, Nata cuma tak ingin lelah. Itu saja.
Akhirnya, Nata membalikkan diri dan kembali ke posisi awalnya. Namun ternyata ia salah. Harusnya jangan kembali. Harusnya ia masuk ke kelas dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Tapi nyatanya, Nata tetap berdiri di tempat.
Terlambat. Dira sudah milik orang lain.
. . .
Hadyan memicingkan matanya, melirik teman sebangku yang sedari tadi hanya memainkan pena tanpa menyentuh buku catatan. "Pengen bolos," rengek Nata.
"Sok iya lo pake bolos. Mau cari masalah, ya? Masih juga anak baru." Bukannya mendapat respon jawaban, justru Hadyan dikacangi. Nata menenggelamkan diri dalam lipatan kedua tangannya. Kasihan sebenarnya kalau dilihat.
Yah, Hadyan paham permasalahan Nata. Memangnya ada orang yang tidak akan sakit hati setelah orang yang disukai sejak lama ternyata ditembak orang lain? Lebih-lebih mereka satu kelas. Bukan main, mood Nata benar-benar telah dibawah nol persen sekarang ini.
Memang dasarnya jail, Hadyan malah terkekeh pelan. Jaga-jaga supaya guru yang mengajar tidak menengur mereka karena mengobrol di jam pelajaran.
"Nyesel nggak?"
"Monyet lo. Kawan lagi patah hati bukannya disemangatin," ujar Nata menahan suara, padahal aslinya emosi tidak keruan.
"Lagian siapa suruh lo lama-lama. Kan gue udah pernah bilang, langsung gas aja. Kalo gini, kan, siapa yang jadi sadboy?"
Nata berdecak sebal. Tapi yang Hadyan katakan sebagian memang benar. Salahnya juga yang selalu menunda-nunda. Tapi, kan kalau ditolak juga apa bedanya? Alhasil beginilah. Nata sang pengagum hati dalam diam.
Tidak-tidak. Nata bukannya lemah. Tentu saja tidak. Nata cuma belum terbiasa. Hanya itu.
. . .
Tapi tetap saja, Nata masih galau kemana-mana. Sampai pulang sekolah pun, Nata masih kekurangan semangat dan gairah untuk hidup.
Untungnya, sekolah mereka tidak menerapkan sistem full day seperti kebanyakan sekolah. Setiap hari pulang jam setengah dua, namun sebagai gantinya mereka sekolah sampai hari sabtu. Jadi maklum, Nata dan Hadyan masih ingin bermalas-malas dengan berdiam diri di dalam kelas yang dingin.
"Na, lo belum makan dari tadi siang anjir. Memangnya nggak laper apa?" Beda orang, beda kepribadian. Saat Hadyan sedang panik-paniknya dengan teman masa kecil itu, Nata malah gerasak-gerusuk tak jelas di jaket hitamnya.
"Laper, sih. Tapi gue nggak selera makan." Oke, jangan salahkan kalau Hadyan langsung menggeplak kepala pemuda itu.
Nata mengangkat hulunya. Wajah geram terhias sambil mengelus-elus kepala yang baru saja dipukul Hadyan. "Sakit bego! Kalo gue tambah goblok gimana?!"
"Salah lo, lah. Bego kok dipelihara," balas Hadyan merotasikan kedua matanya.
Lantas, suasana hening sejenak. Hanya ada suara ketukan layar ponsel Hadyan yang volume suaranya sengaja dibesarkan. Nata lagi-lagi mendesah pelan. Mau pulang, tapi mager.
Itulah Nata, jangan heran.
Sesaat kemudian, Hadyan menggebrak meja. Menarik perhatian Nata yang pikirannya sudah kabur kemana-mana. "Mau ikut gue, nggak?"
Hadyan menyodorkan ponselnya. Memperlihatkan sebuah postingan terbaru dari aplikasi instagram yang sedari tadi menyita lima belas menit waktunya. Kiranya, Nata tak mau ikut. Tapi rupanya Hadyan salah.
"Ayo, berangkat!"
"Emang sialan punya kawan kayak lo. Liat makanan gratis aja langsung patah hatinya ilang," gerutu Hadyan saat melihat Nata penuh semangat empat lima.
"Rezeki itu nggak boleh ditolak. Udahlah, buruan. Lo yang traktir, kan?"
Hadyan memutar bola mata. "Monyet lo." []
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Nostalgic Night
Fanfiction[ COMPLETED ] Nata menyukai malam. Tapi ia juga kehilangannya di waktu malam. Ini adalah kisah sederhana, di mana ia berjuang untuk mendapatkan bintang-nya. alternative universe. ©lunariasticz, 2020