11. The End of Love

220 41 5
                                    

"Awhh! Sshhh.... Sakit bego!!!"

Hadyan mendengus. Ia meletakkan kain dan wadah kecil berisi air dingin di atas nakas begitu kerjaan Nata cuma bisa berjerit seperti anak perawan.

"Lagian, lo pagi-pagi udah gelut aja sama si Arka itu," dumel Hadyan. Ia jelas masih ingat kejadian apa yang menimpa Nata pagi hari tadi.

Padahal Hadyan panik karena tugas rumahnya belum selesai. Niat hati ingin menyontek Nata, pemuda itu malah ditarik guru BK karena ketahuan berkelahi dengan Arka di gedung belakang.

Dari cerita yang diberitahu Bu Vivi--guru BK yang super galak dengan kacamata yang selalu menggantung di pangkal hidungnya--Arka terlebih dahulu yang menyeret Nata untuk diajak berkelahi. Alasannya, Bu Vivi bahkan tidak tahu karena keduanya sama-sama bungkam. Namun, secara lugas saja bahwa Hadyan sebenarnya tahu.

Tentang Dira. Siapa lagi, huh?

"Gue mana tau anjir. Baru dateng, pantat juga baru duduk. Tau-tau diseret kayak anak ayam terus ditonjok! Mana tadi Bu Vivi ceramahnya panjang lagi, kaaann.... Hadyan tolol! Sakit bego!"

"Lo yang bego, Nana! Diem dulu napa! Mau mulut lo tambah sobek, hah?" Hadyan geram. Sungguh. Karena kasihan, ia akhirnya cuma bisa menoyor kepala Nata.

Omong-omong, Nata ada di UKS sekarang. Sesuai perintah guru karena ... bisa dibilang Nata kalah dalam perkelahian? Oh, bukannya apa. Selama ini Nata mana pernah berkelahi atau ikut-ikut anak muda zaman sekarang. Bisa-bisa Nata yang dihantam oleh Bunda!

Andai bisa dihitung, sekiranya ada memar di tulang pipi Nata. Di sekitar pelipis juga membiru akibat benturan dengan dinding tadi. Tulang hidung dan tepi bibirnya juga tak ayal jadi korban hantaman tinju dari seorang Arkasa Mandra.

Asal kalian tahu saja, Nata dan Arka sudah seperti pegulat. Sampai peluk-pelukan di lantai hanya untuk saling lontarkan pukulan.

"Anjir itu bukan pelukan, woi! Itu lagi berantem hei, berantem! Gue masih setia sama Dira astaga!!!"

Sibuk adu mulut dengan Hadyan, kedua pemuda itu sama sekali tidak sadar kalau gorden putih ruangan Nata disibak dadakan tanpa permisi oleh seseorang.

Entah dengar atau tidak, tapi Nata berharap kalimat terakhirnya tadi tidak terdengar oleh Dira. Bisa malu juga, kan kalau ketahuan?

Ketimbang Nata yang kikuk, canggung, tidak tahu harus melakukan apa, lain hal dengan Hadyan yang sudah pasang wajah gembira.

Gadis itu menarik kursi. Duduk di seberang Hadyan, dan kemudian menyerahkan sekotak susu vanila dan sebungkus roti pada Nata.

"Untuk kamu."

"Hah?"

"Kamu suka rasa vanila, kan?" ulangnya lagi.

"Eehh...."

Fix. Ini Nata beneran ambyar.

. . .

Masih berbunga-bunga karena dapat perhatian langsung dari doi, rupanya Hadyan tidak suka kalau temannya bahagia. Yah, namanya juga Hadyan. Minta disenggol bacok memang.

Apalagi Dira tahu kesukaannya. Haduh, senangnya jadi Adinata Candra yang sekarang!

"Yeeh, nih anak malah senyum-senyum nggak jelas." Kakak kelasnya, Milan, terpaksa meninju pelan lengan Nata agar pemuda itu sadar dari imajinasi.

Walau ia babak belur, Nata tetap tak mau lewatkan kesempatan yang sudah dipercayai Milan kepadanya untuk jadi bagian tim dalam turnamen pekan depan. Hah, tak terasa, kan? Iya. Nata saja sampai kaget karena turnamen hanya berkisar satu minggu lagi!

Walau sempat bersikeras bilang bahwa Nata harus beristirahat, apalagi setelah berita perkelahiannya dengan Arka menyebar cepat ke penjuru sekolah. Namun, namanya juga Nata. Orangnya sekeras kepalanya. Baru kalau diomong.

Beda kalau kata Hadyan, begiini: "Nata memang suka begitu. Sok kuat, padahal dalam hati misuh-misuh gegara mukanya ngenyut sana-sini."

Tapi ... Hadyan tidak salah sih.

"Ya sudah. Semuanya pulang hati-hati. Langsung ke rumah, jangan keluyuran. Besok kita latihan lagi pulang sekolah. Sekarang bubar!"

Kumpulan basket kali ini selesai jam setengah lima. Lebih cepat daripada biasanya. Toh, tak masalah juga. Nata memang lagi rindu rebahan di rumah.

Beranjak ke arah motornya, sekilas ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Hari ini Dira juga ekskul.

Hendak menunggu, namun Nata sadar ada suara ribut yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Kamu lebih percaya sama Nata, hah?"

"Kamu udah ketauan, Arka. Kamu nggak bisa ngelak lagi. Sekarang lepasin aku!"

"Nggak! Kamu nggak bisa minta putus gitu aja sama aku, Dira!"

"Masih punya muka juga ternyata." Nata terkekeh. Entah kerasukan setan mana lagi yang membuat Nata mendadak jadi berani angkat suara. Ia melihat Arka memaksa tarik tangan gadis itu--Nata jadi merasa geram.

Arka menautkan alis. Perasaan benci menjalar bersama dengan darahnya berdesir. Kejadian tadi pagi meninggalkan bekas lebam di pinggir matanya. Karena Nata, ia terpaksa harus putus dengan Dira.

Dan Arka tak terima.

"Lo nggak perlu ikut campur."

"Kata siapa gue nggak bisa?"

Jawaban Nata sama dengan telak. Arka bungkam seribu bahasa, tak mampu mencegah Dira dibawa pergi oleh Nata yang bahkan tak pernah menatap balik dirinya.

Ia sadar. Dira bukan lagi seseorang yang menganggap dirinya istimewa. []

[✓] Nostalgic NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang