Persis seperti pesan Dira siang tadi, kini Nata ada di bandara. Sedang merapatkan jaket, dan berdiri setia di halaman luas--menunggu gadis itu.
Nata sudah cukup paham. Bahwa kali ini pun, takdir tak berpihak kepadanya.
Ia tersenyum getir. Sebegitu inginnya kah Tuhan menguji seorang Nata?"
"Nata."
Nata berbalik. Seketika ia bergeming ketika sosok Nadira datang menghampiri dirinya sambil mengeratkan lipatan kedua tangannya. Malam ini sangat dingin. Mungkin sebagai pendukung suasana.
Dira berjalan mendekat. Pakaian yang dikenakan jauh lebih rapi dari pakaian kasual yang biasa dipakai Dira saat bertemu dengan Nata. Namun yang membuatnya terpaku, adalah gelang itu masih melingkar di pergelangan tangan.
Keduanya sama-sama saling tatap. Seakan mereka bicara lewat bahasa kalbu, Dira tidak bisa menahan air matanya.
"Maaf."
"Dira...."
"Maafkan aku, Nata."
Nata menggelengkan kepala. Dengan segala keberanian yang dimiliki, ia maju beberapa langkah. Mendekat. Sebelum akhirnya menarik Dira dalam dekapan, saat gadis itu benar-benar sudah rapuh.
"Maafkan aku."
"Bukan salah kamu."
Dira bersikeras. Tangisnya semakin menjadi. Air mata membasahi jaket Nata, tapi itu bukan masalah. Tubuh Dira bergetar hebat. Tak hentinya mengucapkan kata maaf kepada Nata.
"Aku ingin menjawab, Nata. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak bisa buat kamu sedih lagi. Aku.... Aku...."
Nata mengeratkan pelukannya. Tangan itu mulai meraba pucuk kepala, mengelus surai hitam dengan sepenuh hati. "Aku nggak papa, Dira."
Namun gadis itu terus menggeleng. "Aku tau Nata. Aku tau selama ini kamu menahannya sendiri. Kamu menyakiti diri kamu sendiri, demi aku yang egois ini."
"Andai aku bisa, aku bakal jawab iya."
Nata mematung diam. Ia kehilangan seluruh kata-katanya.
"Sejak hari itu, kamu selalu ada untuk aku. Buat aku ketawa, buat aku bahagia. Sejak kamu buat gelang itu, aku juga sadar. Kamu bukan cuma sahabat aku. Aku ingin lebih lama tinggal, Nata. Aku mau lebih lama bareng kamu. Tapi aku nggak bisa."
Benar.
Untuk kesekian kalinya.
"Hubungan jarak jauh pun, semua itu nggak bakal sama. Aku takut kamu jauh lebih sakit karena harus terus berharap."
Perlahan, Nata melepaskan pelukan itu. Membiarkan Dira mengambil banyak napas dan mengusap ujung netra yang basah karena derasnya air mata.
Ia melirik sendu. Lantas Nata tersenyum tipis, seraya menangkup kedua tangan Dira dalam hangat.
"Kamu tahu, kamu itu kayak bintang yang nggak bisa aku raih. Tapi kamu juga harus tahu. Kalau aku nggak akan pernah berhenti untuk berharap."
"Nata?"
"Aku bakal nunggu. Selama apa pun kamu disana, kamu tetap jadi cahayaku."
. . .
Beberapa menit sebelum keberangkatan. Nata diizinkan kakak Dira untuk ikut mengantar gadis itu pergi dari tanah air.
Keduanya saling tatap. Sampai Dira membuka suara. "Sampai aku kembali. Janji, ya, jangan kemana-mana?"
Entahlah. Nata harus bersedih atau mengulas senyum sebab lucu. Dira menatapnya penuh semangat, sambil menjulurkan jari kelingking. Persis ketika anak kecil membuat sebuah janji.
Manis. Nata tersenyum tipis. Kemudian ikut mengaitkan kelingkingnya, dan bersatu dengan jari mungil gadis itu.
"Sampai kamu kembali. Adinata Candra ini janji nggak bakal kemana-mana. Apa pun alasannya, aku nggak akan pergi."
"Makasih untuk janji kamu, Nata." Dira membalas dengan semburat tipis dari bibirnya. Ia melirik sang kakak yang sudah menunggu. "Mungkin ... aku akan berangkat sekarang?"
Satu kali lagi. Untuk terakhir kalinya. Nata menarik tubuh Dira dalam pelukannya. Kini lebih lama. Saling memejamkan mata. Saling merelakan satu sama lain.
"Be careful, Dira. I will miss you."
"Me too."
. . .
Lantas hari itu, menjadi hari yang begitu panjang dalam hidup Adinata Candra.
Dari balik kaca tebal, ia berdiri dan melihat bagaimana pesawat yang Dira tumpangi perlahan naik di udara. Membawa satu lagi bintang menjauh dari hidupnya.
Makasih atas waktunya. Makasih karena kamu sudah izinin aku isi bagian kosong di hati kamu. Makasih, karena kamu, aku jadi tau gimana rasanya untuk terus sabar.
"Dira. Kita ketemu lagi waktu sukses, ya? Jadi, kamu juga harus nunggu aku." []
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Nostalgic Night
Fanfiction[ COMPLETED ] Nata menyukai malam. Tapi ia juga kehilangannya di waktu malam. Ini adalah kisah sederhana, di mana ia berjuang untuk mendapatkan bintang-nya. alternative universe. ©lunariasticz, 2020