Namun pada akhirnya, Nata tetap tak mampu mengambil keputusan.
Dua pilihan yang keduanya sulit melanda jalan Nata. Merelakan atau berjuang--keduanya sama-sama berdampak besar pada hatinya. Percuma kalau sang pujaan hati tetap bertahan pada cintanya, tapi untuk ikhlas saja Nata rasanya seperti dihujam ribuan pisau.
Pagi itu, kelam melanda diri. Nata diam, melamun di balkon depan kelas seorang diri. Sudah berapa bulan, ia tidak pikirkan hal itu. Bundanya ternyata benar.
"Boleh suka. Boleh cinta juga. Tapi jangan sampai semua itu bikin pikiran kamu berantakan. Fokus. Ada mimpi dan cita-cita yang harus kamu kejar. Semangat Nata!"
Iya. Semangat Nata!!
"Huft ... bego banget sih gue."
Atensi dari netra hitam berubah haluan. Lapangan luas di bawahnya jauh terlihat bersinar daripada hari-harinya yang suram. Sepenggal lirik tergumam, tak peduli suara bagus atau jelek, mood Nata sedang kelabu terhantam badai.
Matanya mulai terpejam. Berusaha menikmati semilir angin yang mampir dan melewati dirinya yang seolah tak ada.
Aneh. Sangat aneh. Baru kali ini Nata dibuat galau gara-gara perempuan.
"Nata! Selamat pagi!"
"E-EH!!" Tubuhnya terlalu lama menerima refleks. Membuat Nata tersontak kaget, dan nyaris jatuh ke belakang. Untungnya kaki jenjang itu masih seimbang.
Gadis itu melambaikan tangan, kemudian menelengkan kepala dan senyum cerah ke arahnya. Nah, kalau tiap hari saja diberi senyuman begini, bagaimana Nata bisa berniat untuk melupa?
Lantas, ia melepas headset putih dari telinganya. "Hai, Dira. Tumben jalan-jalan, biasanya di kelas aja."
Gadis itu terkekeh. "Bosen dong di kelas mulu tiap hari. Lagian, liat pemandangan juga nggak buruk. Ya, kan?"
Nata mengangguk. Setuju. Dari balkon depan kelasnya, mereka bukan hanya dapat pemandangan lapangan dibawah sana yang terlihat menarik untuk ditatap. Satu arah dengan mata, Nata bisa juga temukan gunung hijau tepat dibelakang gedung pencakar langit.
Kedengaran biasa saja memang. Tapi Nata seperti berada di dalam adegan sebuah film. Dimana sebuah gunung berdiri megah dibelakang menara kembar--dan itu luar biasa indah. Jujur!
"Arka belum dateng?" tanyanya asal. Namun siapa sangka, dalan hati Nata malah kesal. Ngapain nanyain dia, bego.
Yang membuat Nata terkejut, adalah raut wajah Dira yang berubah ... jauh dari sebelumnya. Ia menggeleng lemah. Tertawa getir.
"Arka mana pernah dateng pagi. Aneh kalo dia dateng pagi tau. Eh, pernah sih sekali. Tapi abis itu di langsung kesel karena masih ngantuk. Lucu banget liatnya."
"A-Ah...."
Lengang.
Nata minim topik, sedangkan Dira tak jauh berbeda--kehabisan sejuta kata. Alhasil, mereka saling berdiam atma. Memandang jauh ke angkasa, menunggu bel masuk melesak ke telinga.
"Nata."
"Ya?"
"Menurut kamu, aku ngebosenin nggak?"
. . .
Kelas olahraga berlangsung tepat ketika matahari menyengat sehat. Sekitar pukul sembilan pagi, setelah pelajaran hitungan.
Guru mereka kali ini memberikan materi tentang olahraga yang sebagian besar dicintai oleh anak laki-laki. Apalagi kalau bukan permainan sepak bola?
Begitu materi singkat dijelaskan, tentang teknik dasar dan peraturan penting dalam permainan, Pak Ben--guru olahraga Nata membagi kelas menjadi empat kelompok.
Khusus yang perempuan, entah dapat hak apa, tapi mereka sama sekali tidak ikut bagian. Alhasil gadis-gadis itu cuma duduk dan memperhatikan bagaimana serunya anak lagi bermain bola.
Lagian, tahu sendiri kalau siswa perempuan main sepak bola nanti? Yang ada malah tarik-tarikan rambut.
Satu kesialan lagi yang menimpa Nata. Haruskah ia satu tim dengan Arka?
Oh, ia tidak benci. Cuma kadang suka kesal saja melihatnya. Arka itu sudah seperti diatas segala-segalanya.
Sambil menunggu gilirannya bermain, tiba-tiba Arka menariknya pergi. Agak jauh dari kerumunan, agar bisa bicara empat mata tanpa ada yang mendengar.
Nata sangat bingung. Seingatnya, ia tidak pernah berbuat salah atau pun melakukan kesalahan pada Arka. Jadi, apa yang membuat Arka ingin bicara dengannya?
Nata celinguk ke kanan dan kiri. "Sorry, nih. Gue nggak pernah nyari masalah sama lo, oke?"
Jauh dari yang Nata bayangkan, Arka malah tertawa sinis. Seolah ia sedang meremehkannya. Tentu saja, hal itu menarik empat siku kesal di dahinya.
"Lo ini cowok polos apa bodoh?"
Nata mengernyit. "Maksud lo apa?"
Sekali lagi Arka meringis. "Intinya gue udah kasih peringatan. Sampe lo deketin Dira lagi, gue nggak segan untuk ngajak berantem lo."
Selepasnya, Arka pergi. Kembali ke lapangan dan meninggalkan Nata dengan sejuta pertanyaan dalam pikirannya.
Ia memasang wajah yang ... aneh? Seperti, hei! Dia itu kenapa? Tahu-tahu menarik Nata dan berceloteh panjang hal.
Lantas Nata menggerutu. "Makanya anjir punya cewek itu dijagain. Lo kemana aja selama ini setan." []
. . .
an.
busuk banget gak sih work ini?
iya kan? maaf ya semua, pasti
pada sakit mata baca ini :')
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Nostalgic Night
Fanfiction[ COMPLETED ] Nata menyukai malam. Tapi ia juga kehilangannya di waktu malam. Ini adalah kisah sederhana, di mana ia berjuang untuk mendapatkan bintang-nya. alternative universe. ©lunariasticz, 2020