"Gue salah ngomong, ya?" Ray menatap Netta dengan perasaan campur aduk. Kegaduhan mulai tak terdengar di sekitar mereka hingga detak jantung penuh kekhawatiran semakin terdengar menggaung jelas di kepala cowok itu. Mahasiswa lain tampak sudah mulai meninggalkan kelas. Hanya ada sedikit keriuhan jejak-jejak langkah yang menjauhi ketiganya.
Netta sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, Ray tak bisa dibohongi.
"Sori, gue nggak maksud." Ray menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Iya, enggak apa-apa." Cewek itu memasukkan alat tulis ke tas, mencari kesibukan demi menghilangkan rasa gugup.
Pandangan Ray meredup. Dia menebak-nebak, tetapi terlalu takut untuk mengatakan apa pun.
"Nyokap udah enggak ada. Kalau ada yang ngomong soal nyokap, aku agak ... kangen." Kali ini, Netta berusaha menjelaskan setenang mungkin. Lengannya mendekap tas hitamnya erat.
Tiba-tiba, Netta merasakan dua tepukan lembut di punggungnya. Dia menoleh tepat saat Aru berujar pelan, "Dia pasti bangga sama kamu."
Seperti diterpa angin musim semi, ada kebahagiaan yang meruak kala mendengar kalimat itu. Sederhana, tetapi mampu membuat senyum tak lepas menghias wajah. Meski tanpa ekspresi lembut, Aru ternyata cukup peduli.
"Gue serius minta maaf." Ray kembali mengulang permohonan itu dengan tulus. Tangannya terkatup di depan dada dengan kepala sedikit ditundukkan. "Enggak seharusnya karena masalah pribadi, lo jadi kebawa-bawa."
"Kalau mau ngobrol di luar aja. Itu kelas lain mau masuk." Aru berjalan keluar dan bersandar di pintu masuk, mengamati dua temannya yang bersitatap sejenak.
Ray sedikit berdecak karena Aru mengganggu acara minta maafnya. Namun, cowok berkacamata itu benar. Sudah beberapa anak kelas lain memasuki kelas. Dia pun keluar dengan cepat diekor Netta di belakang.
Semilir angin terasa cukup kencang menyapa helai-helai rambut mereka bertiga yang kini duduk berjajar di bangku balkon. Ray dan Netta memiringkan tubuh mereka dan saling tatap.
"Lo ngapain masih di sini?" Ray mengibaskan tangannya ke arah Aru yang duduk dengan santai dan membuka buku sketsa di belakang Netta.
"Kenapa? Aku cuma mau ikut mendengarkan." Aru mulai mencoret-coret di atas kertas.
Ray mendengkus. "Iye. Maksud gue, ngapain nguping?"
"Nguping itu mendengarkan diam-diam. Sekarang, aku sama sekali enggak nguping," Aru tak menanggapi lebih lanjut dan terus menggambar.
"Terserahlah." Ray menahan diri sebisa mungkin untuk tidak mencekik leher Aru kuat-kuat.
Cowok bermata cokelat cerah itu kembali fokus kepada cewek yang tadi disakitinya tanpa sengaja. "Lo mau maafin gue?"
Netta kali ini terkikik sembari menyelipkan poni panjangnya ke belakang telinga. Dia tak menyangka Ray begitu merasa bersalah hanya karena sesuatu yang sebenarnya bukanlah perkara besar. Toh, cowok itu hanya tanpa sengaja membangkitkan kenangan terhadap mamanya. Karena ledekan seperti itu, harusnya tak berarti apa-apa. Dia memang anak mama. Netta bangga atas itu.
"Udah, enggak usah panik. Kamu enggak salah." Netta menepuk lengan Ray menenangkan. "Emang kenapa sampai stres gitu? Tumben." Kali ini, bola mata hitam kecokelatan itu menatap Ray penuh empati.
Suara debas terdengar keras. "Deadline komik gue mepet, belum nemu asisten. Tugas kampus numpuk pula. Apalagi makalah CB sialan itu!" Lagi-lagi, cowok itu menggaruk belakang kepalanya. Sembari menghela napas, dia menyandarkan punggung ke jeruji. "Semalam aja, gue cuma tidur sejam."
KAMU SEDANG MEMBACA
[CAMPUS COUPLE] Shireishou - Eyenomaly
RomanceNetta buta warna parsial merah-hijau. Dunia Netta seakan runtuh. Cita-citanya masuk jurusan DKV terancam kandas. Beruntung dia bisa memalsukan surat keterangan kesehatannya dan lolos di Universitas PINUS. Takut kondisinya ketahuan, dia menjadi pem...