Di luar, matahari bersinar begitu terik. Seolah tidak akan ada lagi duka yang menyusup dalam setiap hela napas. Cahaya begitu terang bagai menyiratkan kebahagiaan yang begitu berlimpah.
Namun, bukankah semua hanya penilaian subjektif saja? Buktinya, ketika orang-orang di jalanan tampak berusaha menghindar dari sengatan yang menyakiti kulit, Netta tak peduli. Cewek yang baru mengenakan seragam abu-abu beberapa minggu lalu itu harus berlari secepatnya. Mengabaikan peluh yang mengucur, napas terengah, juga debaran jantung yang terus-menerus ditabuh kencang.
Netta sangat kesal karena ojek daring sedang sulit dipesan hingga dirinya harus naik angkutan umum. Seolah kesialan tak berhenti di sana, ojek yang biasanya mangkal di depan kompleksnya pun seolah berduyun-duyun menghilang.
Memang, ini baru pukul sebelas siang. Belum waktunya anak-anak sekolah pulang. Namun, tetap saja, harusnya mereka tidak menghilang sekaligus. Apalagi ada urusan yang sangat penting seperti saat ini.
Sebuah telepon dari sang ayah membuat hatinya porak poranda. Tanpa menunda sedikit pun, Netta langsung meminta izin untuk pulang secepatnya diiringi doa dari teman-teman sekelasnya.
"Kondisi Mama menurun. Pulang, ya. Papa pulang juga." Hanya itu yang ayahnya katakan sebelum telepon diputus. Butuh sekitar satu jam bagi Ahsan untuk pulang dari kantor travel agent miliknya. Sementara Netta hanya butuh setengah jam dari sekolah.
Netta tiba di depan pintu rumahnya setelah sekitar lima menit berlari tanpa henti. Napasnya terengah, megap-megap; kakinya yang mengenakan sepatu pantofel terasa berdenyut.
"A-ayo, Netta! Se-senyum!" Cewek itu berusaha bicara meski tersengal. Dia menarik napas yang panjang dan dalam beberapa kali. Akhirnya, Netta bisa memperoleh kembali ketenangannya.
Cewek berambut panjang kemerahan itu melangkah masuk dan langsung menuju kamar ibunya. Dokter dan suster pribadi keluarga mereka sudah lebih dulu berada di kamar luas bernuansa putih itu, sibuk melakukan serangkaian kegiatan agar pasien yang mereka rawat merasa nyaman.
Slang infus terpasang, seolah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wanita yang kini terbaring lemah di atas kasur. Kulitnya begitu pucat, membalut tubuh kurus yang seakan tak memiliki daging. Bahkan, tidak ada lagi rambut yang tersisa menutupi kepala. Akan tetapi, di mata Netta, wanita itu tetap yang paling cantik di dunia.
Dokter mengajaknya keluar sebentar, menjelaskan kondisi terakhir Vinny yang terus memburuk. Kanker telah menggerogoti wanita itu sejak dua tahun lalu dan terus menghabisinya tanpa ampun. Vinny bahkan sudah mendapat vonis tidak akan bisa hidup lebih dari enam bulan. Kini adalah bulan ke delapan, dan tampaknya pilihan terakhir untuk perawatan hospice adalah yang terbaik. Ahsan ingin Vinny mendapatkan kenyamanan penuh di rumahnya sendiri pada saat-saat terakhirnya.
Netta sudah mempersiapkan diri. Dia tahu seharusnya sudah tabah jika Vinny meninggal kapan pun. Akan tetapi, jauh di lubuk hati, dia sadar, seorang anak tidak akan pernah siap mendengar kabar kematian ibunya.
Suara salam membuat Vinny membuka mata. Senyum lemah terukir di wajah pucat itu. Begitu lembut, sekaligus terlihat tegar. "Lho? Sudah sore, ya?"
Netta menggeleng perlahan. "Netta pulang cepat, Ma." Cewek itu memaksakan senyum, tetapi yang tercipta hanya tarikan bibir yang dipaksakan.
"Oh ...." Tatapan Vinny melembut, seolah sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. "Sini, Sayang."
Dengan tergesa, Netta bergerak dan duduk di tepi kasur, menggenggam jemari Vinny erat. "Mama, apa sakit?"
Gelengan perlahan menjadi jawaban. "Hari ini, rasanya ringan sekali." Vinny menarik napas seolah memastikan perasaannya benar. Dia sepenuhnya sadar dirinya sudah tak punya waktu lagi untuk menghirup udara lebih lama. Namun, dia sudah mengikhlaskan segalanya. Netta pasti akan baik-baik saja bersama Ahsan.
"Ma, nanti Netta bakal masuk DKV kayak Mama. Netta bakal bantu Papa di kantornya kayak Mama. Pokoknya, Netta juga bakal dapet status cum laude kayak Mama!" Tanpa sadar, Netta bicara berapi-api.
Vinny mempererat genggamannya pada putri tunggalnya itu. Mungkin ada sedikit sesal karena dia tidak bisa memberikan adik bagi Netta. Namun, mungkin Tuhan tahu, bahwa kelak hanya akan ada satu anak yang kehilangan ibunya pada usia begitu muda. Bukankah Tuhan sebaik-baiknya perencana kehidupan?
"Apa kamu bahagia saat mendesain?" Setiap suara yang dikeluarkan Vinny terdengar lemah, seolah butuh upaya keras untuk melakukannya, tetapi wanita itu begitu kuat hingga masih terus berusaha berbicara.
Anggukan Netta terlihat begitu bersemangat. Keinginannya kuat dan bulat. Sesuatu yang bisa membuat api di matanya menyala terang. "Aku bakal bikin Mama bangga."
Suara pintu dibuka perlahan terdengar. Keduanya menoleh. Ahsan tiba dengan wajah yang tenang, tanpa menyiratkan duka. Senyum lebar selalu hadir di wajah pria itu pada saat-saat sesulit apa pun. Netta tahu, tak ada yang lebih hancur di ruangan ini daripada ayahnya. Namun, cinta membuat pria itu justru terlihat paling tegar.
"Wah, bahkan Papa juga sampai pulang."
"Iya, dong. Apa, sih, yang enggak buat Mama yang paling cantik ini?" Ahsan tertawa dan langsung duduk di sisi Netta. Jemari kukuh itu membelai kepala Vinny dengan penuh kasih.
Nuansa kamar ituputih bersih, tetapi yang Netta rasakan hanyalah kegelapan. Sebentar lagi, dia tidak bisa mendengar suara Vinny, tertawa bersama, atau berbagi tentang desain terbaru. Bahkan impian untuk membuat Vinny menyerahkan buket bunga ke atas panggung ketika Netta menjadi peraih IPK terbaik di kampus pun pupus.
Namun, Netta tahu, dia harus kuat. Ahsan bersamanya. Sosok ayah yang hebat dan selalu mendukungnya.
"Mama tenang aja, Netta bakal pastiin Papa makan sehat, nggak Indomie terus."
Jitakan lembut di kepala langsung diterima Netta. "Ih, enak aja. Gini-gini Papa juga bisa masak."
"Masa telur rebus?" Vinny tertawa lirih sebelum terbatuk-batuk.
Dengan cekatan, Ahsan menyambar gelas di nakas dan membantu istrinya minum dengan sedotan.
"Pa, makasih, ya, udah jaga Netta."
Ahsan membelai lengan Vinny penuh kasih. Berusaha menahan semua sesak di dadanya dan tetap tersenyum. "Iya, dong. Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku kan papa nomor satu buat Netta."
"Ih, emang ada yang lain? Enak aja!" Netta berpura-pura manyun.
Vinny kembali terkekeh. Dia bersyukur bisa merasakan kebahagiaan sebesar ini. Begitu besar kasih dari suami dan putri tunggalnya. Semoga kelak mereka akan kembali dikumpulkan di surga dan berbahagia selamanya. Agar wajah-wajah yang kini berusaha terus tersenyum di hadapannya ini bisa benar-benar tersenyum dari lubuk hati mereka.
"Net, kamu boleh nangis. Kamu boleh bersedih kalau memang kamu mau." Kali ini, Vinny mulai merasa napasnya semakin berat. Ada rasa sedih melihat anaknya harus kesulitan mengendalikan perasaannya sendiri.
Netta tak mampu bicara dan hanya menggeleng. Karena jika dia bicara, hanya akan ada banjir air mata. Dia akan menangis. Pasti. Namun, tidak di depan Vinny. Tidak saat ibunya masih hidup.
Bahagia menyusup di hati. Netta anak yang kuat seperti papanya. Vinny begitu bahagia bisa melahirkan putri sehebat ini. "Net, jangan jadikan mimpimu beban. Karena bagi Mama, yang paling berharga adalah kamu bahagia." Vinny lega berhasil mengatakan semua itu meski dengan perlahan dan sangat lirih.
Setelahnya, mereka berbincang tentang segala hal. Tentang cita-cita, tentang kenangan, tentang bahagia yang pernah tercipta.
Malam itu, tangis Netta pecah untuk pertama kalinya setelah sekian lama dia menahan.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[CAMPUS COUPLE] Shireishou - Eyenomaly
RomanceNetta buta warna parsial merah-hijau. Dunia Netta seakan runtuh. Cita-citanya masuk jurusan DKV terancam kandas. Beruntung dia bisa memalsukan surat keterangan kesehatannya dan lolos di Universitas PINUS. Takut kondisinya ketahuan, dia menjadi pem...