Awal Bencana

386 17 6
                                    


Aku menatap tak percaya pada wanita berbaju putih itu, Mba Anita, konselor yang diajukan dokter untukku. Meskipun telah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang ada, tetap saja ini terlalu berat untuk kuterima. Ini tak mungkin terjadi padaku, bukan? Bagaimana bisa? Aku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang hampir selalu menghabiskan waktu di rumah. Kenapa terjadi padaku? Kenapa harus aku?

Bibirku bergetar demi menahan bendungan air mata yang menggenang. Sesuatu dalam hatiku bergejolak dan meronta. Sakit. Sementara wanita itu menatapku dengan pandangan iba.

Positif. Bagaimana bisa hasilnya positif? Sejak kapan? Dari mana?

Bertubi-tubi pertanyaan mendesak di kepalaku. Rasa tak mengerti membuatku tak sanggup mempercayai. Aku telah terinfeksi virus laknat itu.

“Seperti yang udah kita bahas sebelumnya, kalau hasil testnya positif ada baiknya si kecil juga ikut menjalani pemeriksaan. Untuk meminimalisir resiko ke depannya," ujar wanita itu lagi.

Aku tersentak mendengar kata-katanya. Shenaku? Gadis kecilku itu harus ikut menjalani pemeriksaan? Apakah ia juga ...?

Ya Tuhan, hukuman macam apa ini? Aku tak sanggup membayangkan jika Shena kecilku juga terinfeksi virus keparat itu. Ia masih terlalu kecil.

Dadaku bergemuruh. Ingin rasanya aku berteriak marah pada semua yang ada di sekitarku. Ini tak adil untukku. Tak adil untuk kami.

Kupilih untuk meninggalkan ruangan itu. Tak sanggup jika harus terus duduk di sana, dan melihat pandangan iba darinya.

Berjalan dan terus berjalan. Teriknya matahari tak lagi kuhiraukan. Apa bedanya bagiku kini? Aku sekarat. Kematian sedang menungguku. Seperti Mas Tama yang kini terbaring di rumah sakit itu.

Ah ... Mas Tama. Bagaimana bisa ini terjadi pada kami? Ia adalah suami terbaik sepanjang yang bisa kuingat. Tak pernah ia menyakiti hatiku, atau bahkan sekedar membuatku kecewa. Lantas bagaimana penyakit terkutuk itu mendatangi kami? Bagaimana?

Suara klakson motor memekakkan telinga mengejutkanku. Umpatan dari si pengendara tak begitu jelas kudengar. Sepertinya aku telah berjalan terlalu ke tengah hingga ia nyaris menabrakku.

Aku merasa seperti kehilangan akal. Bahkan aku seolah kehilangan diriku sendiri. Tubuh dan pikiran ini kini di luar kendaliku. Aku merasa kosong.

Kulangkahkan kaki kembali ke  trotoar, lalu duduk di bangku pengguna jalan. Berbagai bayangan silih berganti memenuhi pikiran. Bayangan senyum manis Shena, putri kecilku yang tahun ini genap berumur tiga tahun. Si kembar Alfia dan Ulfa, putri pertama dan keduaku. Juga Mas Tama, suamiku.

Mas Tama. Ia adalah satu-satunya cinta yang kutahu. Kami bertemu dalam acara reuni sekolah sepuluh tahun yang lalu. Mudah baginya membuatku jatuh cinta, dan mengatakan iya untuknya. Ia tampan, dan penuh kharisma.

Tak butuh waktu lama bagi kami  memutuskan untuk menikah. Rumah tangga kami hampir selalu bahagia, apalagi dengan kehadiran dua putri kembar Alfia dan Ulfa yang seolah semakin melengkapi. Hanya sesekali kami terlibat perselisihan, dan Mas Tama akan selalu mengalah lebih dahulu. Bagiku ia adalah suami yang sempurna.

Namun, kondisi kesehatan Mas Tama menurun drastis beberapa bulan belakangan. Batuk yang kian hari kian menjadi. Juga beberapa kali ia terkena diare. Berkali-kali kucoba mengajaknya memeriksakan diri ke rumah sakit, ia selalu saja menolak.

“Paling kecapekan aja, masuk angin. Ntar juga sembuh. Kamu nggak usah khawatir,” ucapnya selalu sembari tersenyum menenangkanku.

Hingga puncaknya dua minggu yang lalu ia mendadak kehilangan kesadaran, dan harus dilarikan ke rumah sakit. Beberapa hari ia tak sadarkan diri. Aku merasa sangat takut kehilangannya. Merasa bodoh karena tak berdaya setiap kali ia menolak ajakanku ke rumah sakit.

“Bu, mohon maaf kami harus menyampaikan hal ini ...,” ucap dokter siang itu.

Jantungku berdegup sangat kencang. Ruangan putih ini mendadak terasa begitu sempit. Ada apa dengan hasil pemeriksaan suamiku? Apa penyakitnya sungguh parah? Jantungkah? Gagal ginjal? Kanker? Astaga ... semua pikiran itu hampir membuatku gila.

“Dari hasil pemeriksaan kami menemukan bahwa bapak positif terinfeksi HIV, dan sudah memasuki fase AIDS ...,” ucap dokter hati-hati.

Aku mengerutkan kening mencoba memastikan bahwa aku tak salah mendengar pernyataan dokter. Bagaimana mungkin suamiku mengidap penyakit ... seperti itu?

“AIDS merupakan gejala lanjutan dari HIV yang telah merusak sistem imun ....”

“Nggak mungkin, Dokter! Pasti ada kesalahan! Suami saya nggak mungkin mengidap hal seperti itu,” ucapku setengah tertawa. Mereka tak mengenal suamiku.

"Bu, kami sudah melakukan pemeriksaan secara ....”

“Ya, mungkin ada kesalahan. Sampel darahnya tertukar atau apa gitu ...,” jawabku mencoba memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyebabkan kesalahan dalam pemeriksaan.

Dokter itu menegakkan sedikit duduknya, dan kembali berbicara dengan raut wajah serius. “Kami mengerti dengan keterkejutan Ibu, tapi pemeriksaan telah dilakukan terhadap suami Ibu, dan hasilnya bapak positif mengidap AIDS. Kami telah menyampaikan hal ini kepada bapak sebelumnya, dan beliau telah setuju untuk menyampaikan hal ini pada Ibu, ” ucap dokter itu lagi.

Aku mencoba kembali membuka suara, tetapi urung. Apakah yang dokter katakan itu benar? Suamiku mengidap penyakit itu? Ah ... bahkan menyebutnya saja membuatku bergidik ngeri.

Tak terlalu kudengarkan lagi penjelasan dari dokter. Pikiranku dipenuhi tanda tanya. Ini terlalu mustahil bagiku.

“Mohon maaf sebelumnya, apakah Ibu menggunakan pengaman setiap kali berhubungan suami istri?” tanya dokter kemudian. Aku tersentak, dan menggeleng lemah. Bingung, bagaimana harus menghadapi situasi ini.

“Kami menyarankan Ibu agar ikut menjalani pemeriksaan untuk memastikan apakah virus HIV telah ditularkan kepada Ibu sebagai istri beliau, dan kami akan merujuk Ibu pada seorang konselor yang akan membantu Ibu nantinya ...,” lanjut dokter kembali.

Aku terpana mendengar kata-kata yang baru saja kudengar. Apakah virus itu telah ditularkan padaku sebagai istri?

Limbung. Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa? Separuh hatiku tak percaya. Namun, untuk apa dokter itu berbohong? Bagaimana jika semua itu benar?

Mas Tama, bagaimana mungkin suamiku mengidap AIDS. Ia bukanlah seorang pecandu, juga bukan tipe lelaki hidung belang. Rasanya tak ada celah yang bisa menyebabkan ia mengalami semua itu. Tetapi, kenapa hasil pemeriksaannya seperti ini.

Namun, aku tetap mengikuti saran dokter untuk ikut menjalani pemeriksaan, dan hasil yang kuterima siang ini seolah menghancurkan hidupku. Satu pertanyaan terus berputar di kepalaku. Dari mana penyakit itu ia dapatkan? Bagaimana bisa?

Aku telah melakukan pencarian di mesin pencari ponsel mengenai segala hal tentang HIV dan AIDS sebelumnya. Aku benar-benar tak menemukan celah bagaimana virus itu bisa menyerang kami.

Mas Tama tak mungkin mengkhianatiku. Tak mungkin!

*****

Aku kembali ke rumah sakit menjelang pukul tujuh malam. Perlahan kubuka pintu ruang rawat Mas Tama. Ia terbaring dengan berbagai macam alat untuk menopang hidupnya. Kupandangi tubuhnya yang kini begitu kurus. Ia kehilangan hampir dua puluh kilogram berat tubuhnya.

Kusentuh lembut jemari tangannya, dan lagi semua pertanyaan itu menghantui pikiranku. Bagaimana penyakit itu bisa mendatangi kami?

Mas Tama membuka matanya, dan menatapku sendu. Mata itu kini terlihat begitu sayu. Cukup lama kami hanya berpandangan dalam diam. Bibirku seolah kelu, tak mampu berkata apa-apa.

Mas Tama kemudian membalas sentuhanku pada tangannya. Wajahnya semakin terlihat pilu dan menderita.

“Dira, aku menghianatimu. Maaf...," ucapnya lemah.

*****

Bersambung....

AndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang