Kenyataan Menyakitkan

173 6 0
                                    


“Dira, aku mengkhianatimu. Maaf ....”

Kata-kata Mas Tama terus terngiang di telingaku. Mimpikah ini? Akankah aku terbangun esok pagi dan mendapati suamiku dengan dengkuran halusnya lagi seperti dulu? Namun, sakit ini terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi. Bahkan sesak di dadaku kian mengimpit.

Kupandangi kembali cincin pernikahan yang tersemat di jari manisku. Bagaimana bisa ia mengkhianatiku dan membagi virus itu? Selain kedua orang tuaku, Mas Tama adalah yang paling kupercayai di dunia ini. Bagaimana bisa ia mengkhianatiku? Kapan?

Aku menjerit sekeras yang kubisa. Tak kupedulikan pandangan bertanya dari seluruh pengunjung taman. Aku hanya ingin melampiaskan semua kesakitan ini.

Benci. Aku benci pada dunia. Semua yang terjadi saat ini tak adil untukku. Tuhan tak bisa melakukan ini padaku. Lihatlah semua pasangan muda-mudi di sana. Kenapa bukan mereka saja? Kenapa harus aku? Tuhan salah menimpakan hukuman ini padaku.

Tangisku akhirnya pecah. Kulepas dan kulemparkan cincin pernikahan itu jauh. Hubungan ini sudah ternoda. Pernikahan ini telah berakhir.

Seorang wanita paruh baya berjalan mendekat. Hati-hati ia duduk di sebelahku. “Maaf, Mbak kenapa? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya lembut.

“Pergi!” jawabku kasar.

“Kalau ada yang bisa saya bantu ....”

“Pergi!!” jeritku histeris.

Aku tak butuh siapapun, mereka tak akan mengerti yang kurasakan saat ini. Tak akan ada yang mengerti. Aku benci pada mereka semua. Kenapa bukan mereka saja yang dihukum?

Pandangan asing dari seluruh pengunjung taman seolah mencibirku. Barangkali mereka menertawakan kesakitanku. Aku benci pada mereka. Aku benci pada dunia.

*****

Shena tertidur dalam dekapanku. Napas lembutnya tepat mengenai wajahku. Esok ia akan menjalani rangkaian pemeriksaan untuk mencari tahu apakah virus itu juga ada di tubuhnya. Rasanya aku tak sanggup menghadapi semua ini.

Bagaimana jika gadis kecilku terinfeksi virus yang sama? Bagaimana masa depan Shena nanti? Hidupnya pasti akan hancur. Seluruh dunia akan mencibirnya.

Air mataku kembali menetes. Kupererat dekapanku pada tubuh kecilnya. Mas Tama ... bagaimana bisa ia melakukan ini pada kami?

*****

Aku dan Shena sampai di rumah sakit tepat pukul delapan pagi. Alfia dan Ulfa tak ikut dengan kami. Aku tak ingin mereka kelelahan dengan rangkaian pemeriksaan Shena nanti. Lagipula lingkungan rumah sakit tak bagus untuk mereka.

Kupercepat langkah kaki saat melihat Mas Ibram, kakak tertua suamiku berdiri di depan ruang rawat Mas Tama. Sudah satu minggu tak ada satupun keluarga yang datang, tepatnya sejak Mas Tama divonis mengidap AIDS.

Kedatangan Mas Ibram sedikit banyak membuat harapan di hatiku. Kami tak sendiri menghadapi semua ini.

Kusapa ia setelah jarak kami cukup dekat. Namun, ia menepis saat tanganku mencoba menyalaminya. Langkahnya sedikit mundur menjauhi aku dan Shena.

Aku menggigit bibir menahan rasa perih di hati. Apakah ia menjauh karena takut tertular virus ini? Biasanya ia selalu memeluk Shena dengan hangat.

“Shena jadi diperiksa hari ini?” tanyanya tanpa memandang ke arahku. Kuanggukkan kepala pelan. Suasana kini terasa sangat canggung di sini.

“Semoga semua baik-baik saja. Maaf kami mungkin nggak bisa sering datang. Kamu pasti paham dengan situasi ini, ‘kan?” tanyanya pelan.

Jantungku berdenyut nyeri mendengar kata-kata Mas Ibram. Situasi ini? Maksudnya karena kami terinfeksi virus laknat itu mereka tak bisa datang? Mereka ingin mencampakkan kami? Ya Tuhan, kenapa rasanya hatiku seolah terpilin, sakit sekali. Namun, apa yang bisa kulakukan untuk menentang keputusan mereka?

Apa yang dikatakan oleh Mba Anita, bahwa penyakit ini tak akan menular hanya karena mereka berada dekat dengan kami? Nyatanya, mereka bahkan takut meski sekedar untuk bersalaman. Mereka bersikap seolah kami adalah aib yang harus disingkirkan.

Aku hanya mampu menganggukkan kepala meskipun terasa berat. Yah  ... mereka pasti takut tertular jika berada terlalu dekat dengan kami. Kugigit bibir kembali menahan linangan air mata agar tak sampai jatuh.

“Kalau kalian butuh uang, hubungi Mas saja, Mas pasti akan bantu,” ucapnya lagi.

Aku kembali mengangguk pelan. Memang sekarang kami tak memiliki pemasukan apa-apa. Mas Tama sudah tak mungkin lagi bekerja. Tetapi, bolehkah aku berharap lebih dari bantuan dana? Bolehkah kuharapkan kepedulian dan dukungan mereka?

“Mas pergi dulu, harus segera ke kantor. Jaga diri kalian baik-baik,” ucap Mas Ibram kembali. Kali ini ia menatap kami sekilas. Bisa kulihat matanya yang berkaca-kaca.

“Terima kasih sudah datang, Mas,” jawabku pelan. Hampir tak kuasa lagi menahan tangis.

Ia tersenyum pahit, kemudian berbalik pergi. Kupandangi Mas Ibram hingga jauh. Seiring langkah kakinya meninggalkan kami, seolah membuka jarak untuk perpisahan. Mereka tak akan kembali datang. Aku tahu itu. Isakanku kini semakin keras, bercampur dengan tangisan Shena.

****

Aku tak mampu lagi menanggung beban ini sendiri. Kulepaskan isakku di samping ranjang rawat Mas Tama. Tangisku tumpah tak terbendung. Shena kecilku positif terinfeksi HIV.

“Maafkan aku ... maaf ....”

Hanya kata-kata itu yang terus keluar dari bibir Mas Tama. Sama sepertiku, ia juga menangis.

“Bagaimana bisa kamu melakukan ini, Mas? Bagaimana bisa?” tanyaku terisak.

“Maafkan aku, Dira. Maaf ....”

Aku menangkup wajah dengan dua tangan. Kata maaf tak akan bisa mengubah apa-apa meskipun ribuan kali ia ucapkan. Masa depan Shena telah hancur.

“Bagaimana bisa kamu lakukan ini, Mas ....” erangku lagi, merasa frustasi. Sakit yang kurasakan kini ribuan kali lebih sakit dibandingkan saat konselorku memberitahu bahwa aku positif terinfeksi HIV.

“Maafkan aku ....”

“Kapan?” tanyaku dengan nada tajam.

Mas Tama tak menjawab. Ia hanya terus mengucapkan kata maaf dan terisak.

“Kapan kamu melakukannya?” tanyaku lagi setengah menjerit. Aku butuh jawaban untuk semua pertanyaan yang terus mengganggu di kepala.

“Se-setelah kamu melahirkan Alfia dan Ulfa,” jawabnya terbata.

Setelah aku melahirkan Alfia dan Ulfa? Sembilan tahun yang lalu? Setelah ia menyaksikan perutku yang dibelah demi kedua anaknya? Bagaimana bisa ia sejahat itu?

Tangisku kembali pecah. Kupikir aku cukup mengenalnya selama ini. Aku selalu percaya bahwa ia adalah suami yang sempurna. Aku mempercayainya dengan seluruh hidupku. Namun, nyatanya aku sama sekali tak mengenal suamiku.

“Tega kamu, Mas!” erangku lagi.

Mas Tama mencoba menyentuh jemari tanganku, tetapi aku segera menepiskannya. Kupilih untuk melangkah menjauh.

“Siapa wanita itu?” tanyaku lagi.

Mas Tama kembali diam. Hanya bibirnya yang bergetar karena isakan.

“Berapa lama kalian bersama?”

“Ha-hanya dua bulan ....”

“Hanya dua bulan? Brengsek kamu, Mas!!” teriakku padanya. Lantas berlari meninggalkan ruang rawat Mas Tama. Aku tak mau lagi bertemu dengannya. Bahkan jika ia mati pun aku tak akan lagi peduli.

****

AndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang