“Kamu udah gila, ya! Kamu mau nularin penyakitmu sama Ibu? Kamu mau bikin semua keluarga kita mati tertular penyakitmu itu. Dasar anak nggak tahu diuntung!” maki Mas Ilham padaku.Sakit. Kurasakan sesuatu dalam hatiku tersayat mendengar kata-katanya. Ia benar-benar tak menaruh kasih lagi padaku. Begitu tega ia menghancurkan hatiku dengan ucapannya.
Aku pernah merasakan sakit karena sikap yang mengecewakan dari keluarga Mas Tama, juga pernah merasakan sakit saat hampir terusir dari rumahku sendiri. Namun, tak ada yang terasa sesakit ini. Mas Ilham? Kakakku sendiri? Satu-satunya keluarga yang kini kupunya selain Ibu. Bagaimana ia bisa setega ini?
“Aku gila, Mas? Seorang anak yang hanya menginginkan kehadiran ibunya Mas anggap sebuah kegilaan? Seorang adik yang butuh dukungan dari keluarganya Mas anggap sebagai sebuah kegilaan? Terus gimana dengan Mas sendiri, yang tanpa tahu apa-apa tapi terus-terusan menghakimi?”
Napasku terengah. Kupererat pelukanku pada Ibu. Tubuh tuanya bergetar karena isakan. Air mata yang luruh kini bersatu dengan peluh. Lelah. Entah sudah berapa kali kuhadapi situasi seperti ini, dan entah harus berapa lama lagi. Rasanya aku ingin meraung sekuat-kuatnya, melampiaskan pedih yang seakan tak ada habisnya.
Aku lelah, Tuhan. Aku lelah ....
Mas Ilham masih tetap dalam kemarahannya. Menatapku dengan pandangan hina, seolah aku ini sampah kotor yang mengganggu.
“Salah kamu sendiri, ‘kan? Memilih suami yang ....”
“Pernah nggak Mas coba cari tau tentang apa yang sekarang aku alami? Pernah nggak Mas coba cari tau tentang apa yang aku butuhkan? Dan Shena? Ke mana perginya kasih sayang Mas yang dulu? Hilang karna ketakutan? Apa keberadaan kami sebegitu mengancam bagi Mas?” Kutatap Mas Ilham dengan pandangan mengiba. Mencoba mencari sisa-sisa kasih sayang yang dulu kami punya dalam sorot matanya.
Ya. Bukankah dulu kami pernah merasakannya? Perasaan sayang seperti dua saudara kembar. Selalu memiliki dorongan untuk saling melindungi. Aku menangis ketika Mas Ilham sakit, dan Mas Ilham akan marah saat aku disakiti. Kami pernah seperti itu. Lantas kenapa semua jadi begini? Kasih sayang itu seolah tak bersisa sama sekali?
“Kami ini korban, Mas ...,” lirihku lemah.
Pelukanku pada tubuh Ibu kini terurai. Aku tersimpuh di lantai yang dingin. Kutangkup wajah dengan dua tangan, menangis. Lagi-lagi hanya mampu menangis. Seluruh tubuhku terasa lemas. Seolah kehilangan tenaga. Semangat yang baru kudapatkan beberapa waktu terakhir seolah kembali direnggut paksa dariku.
Tuhan, kapan semua ini akan berakhir?
Ibu berjongkok dan memelukku, sementara Mas Ilham hanya terdiam. Beberapa kali ia mengacak rambutnya kasar.
“Sudah, Ilham! Cukup! Ibu akan tetap di sini, entah kamu suka atau nggak!”
Pertama kalinya kudengar Ibu membentak Mas Ilham. Bibirnya bergetar, tatapannya tajam penuh kemarahan.
“Kalau kamu begitu khawatir istrimu itu akan pergi karna takut, kamu nggak perlu datang ke sini lagi mulai sekarang. Ibu akan tetap menemani Andira walau bagaimana pun keadaannya!” tegas Ibu lagi.
Aku terperangah mendengar kalimat terakhir Ibu. Jadi ini semua tentang istrinya? Mas Ilham membenciku karena ketakutan dari Mbak Farla? Aku meringis dan tersenyum sinis. Ternyata cintanya telah berhasil menimbun tempat untukku. Ah ... aku mengerti sekarang! Aku mengerti kenapa ia begitu bersikeras mengasingkanku.
*****
Malam ini aku kembali menangis dalam sujudku. Ini adalah sujud terlama yang kulakukan dalam beberapa hari terakhir. Kutumpahkan semua beban yang mengimpit. Dalam isakku, kuadukan duka ini pada Sang Khalik.
Letih. Sejak vonis itu kuterima, hampir tak berhenti penolakan-penolakan yang harus kuhadapi. Bagaimana harus kujelaskan, ini semua bukanlah keinginanku. Mas Ilham, begitu luas jurang yang ia bentangkan di antara kami kini. Hingga aku merasa seolah tak ada lagi jalan untuk kami kembali seperti dulu.
Dan aku tahu, semua masalah ini belum akan berakhir. Masih panjang jalan berduri yang harus kuhadapi. Entah ujian apa lagi yang nanti akan mengiringiku dalam perjalanan ini. Masih jauh. Masih sangat jauh.
“Ya Allah, aku tak mengerti dengan takdir hidup yang kujalani kini. Entah apa yang ingin Kau tunjukkan padaku, tapi tolong kuatkan aku selalu, bimbing aku, jangan pernah lepaskan tanganku. Jangan biarkan aku sendiri.”
Kututup doaku dengan surah Al-fatihah. Lalu melipat kembali mukena yang kupakai. Kupejamkan mata perlahan dan menarik napas dalam. Di setiap tarikan napas, aku bisa merasakan kesejukan dan kedamaian mulai memenuhi hatiku kembali.
****
Ibu menatapku cukup lama, sebelum akhirnya menutup mulut dengan dua tangan.
“Andira, kamu terlihat sangat cantik, Nak,” ucap Ibu saat aku berjalan mendekat untuk memeluknya.
“Pantas nggak, Bu?” tanyaku malu-malu. Hari ini untuk pertama kalinya aku memutuskan untuk mulai mengenakan hijab.
“Pantas, Nak. Sangat pantas. Kamu kelihatan cantik. Bener, lho, ibu nggak bohong,” jawab Ibu.
“Dira pengen memperbaiki semuanya, Bu. Menata lagi hidup Dira dari awal. Memulai langkah baru. Semoga dengan begini, Dira bisa menjadi wanita yang lebih tangguh, dan sabar,” ujarku kembali. Ibu nampak mengusap sudut matanya yang basah. Kemudian kembali merangkulku dalam pelukannya. Sebelah tangannya membelaiku lembut.
“Alhamdulillah, ibu senang kamu nggak terpuruk lagi atas perlakuan kakakmu. Tadinya, ibu khawatir kamu bakal drop lagi kayak waktu itu. Kamu jauh lebih kuat dari yang ibu pikirkan. Ibu bangga sama kamu,” ucap Ibu lagi.
Cukup lama aku membiarkan pelukan Ibu. Menikmati hangat yang mengalir darinya. Dengan kehadiran Ibu di sini, aku yakin akan mampu melewati segalanya dengan lebih baik.
“Bu, hari ini Dira mau ziarah ke makam Mas Tama. Nggak akan lama, kok. Dira titip anak-anak dulu, ya, Bu,” ucapku setelah Ibu melepaskan pelukannya.
“Kamu yakin mau pergi sendiri? Nggak minta ditemenin Sintya aja?” tanya Ibu sembari mengantarkanku ke depan pintu.
Sintya. Aku kembali teringat dengan air matanya di hari pemakaman Mas Tama. Entah apa yang ia rahasiakan dariku. Namun sepertinya, bukan hal yang tepat memintanya untuk menemaniku saat ini.
“Nggak deh, Bu. Dira bisa sendiri, kok,” jawabku sembari mencium tangan Ibu. Lalu setelah mengucap salam, aku berangkat menggunakan taksi yang telah lebih dulu kupesan.
Di sepanjang perjalanan, aku terus mengingat Mas Tama. Entah kenapa, aku tiba-tiba saja merasa penasaran dengan sosok wanita yang telah menularkan virus itu padanya? Apakah ia masih bertahan hidup hingga saat ini? Apakah aku mengenalnya? Siapa dia?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggayuti pikiranku, hingga tanpa kusadari taksi yang kutumpangi telah berhenti tepat di depan pintu masuk menuju pemakaman. Cuaca hari ini cukup cerah, tetapi tak banyak yang datang berziarah. Tak apa, dengan begini aku bisa dengan bebas bercerita pada Mas Tama.
Aku turun setelah membayar ongkos taksi. Lalu, pelan kulangkahkan kaki menyusuri satu-persatu makam. Walaupun tak banyak peziarah yang datang, tetapi makam-makam di sini tetap terawat dengan baik. Tak ada rumput-rumput liar yang menjalar.
Aku hampir sampai di makam Mas Tama ketika mendapati seseorang tengah duduk di sana. Dari keranjang kosong yang terletak di sampingnya, sepertinya ia baru saja selesai menabur bunga di makam Mas Tama. Sayup-sayup kudengar ia melantunkan ayat suci Alquran dengan suara yang sendu.
Kupercepat langkah kaki demi memastikan sosok wanita berhijab kuning keemasan itu. Apakah dia ...?
“Sintya,” panggilku setelah cukup dekat dengannya.
Sintya menoleh dengan raut wajah yang terkejut. Seperti seseorang yang baru saja kedapatan mencuri. Lama ia menatapku dengan mata membelalak.
“Dira ....”
“Ngapain kamu di makam suamiku?”
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Andira
RomansaAndira, seorang istri yang tertular HIV dari suaminya. Dihina, dicaci, dan diasingkan keluarga besarnya. Bagaimana ia akan bertahan melewati ujian berat dalam hidupnya?