Merasa Kehilangan

153 7 0
                                    


“Ngapain kamu di makam Mas Tama?” tanyaku kembali penuh penekanan.

Sintya kini telah berdiri dan merapikan Alquran kecil yang tadi ia baca. Meskipun ia berusaha menyembunyikan, aku masih sempat menangkap kegugupan di balik senyumnya.

“Dira ....”

“Apa ada sesuatu yang nggak aku tau tentang kalian, Sin?” tanyaku lagi. Debar jantungku kini berpacu dalam irama yang tak terkendali. Entah kecemburuan atau kecurigaan. Aku belum bisa memastikannya.

“Ini nggak seperti yang kamu pikirin, Say ....”

“Lalu seperti apa? Kamu menabur bunga di makam suamiku tanpa setahu aku, apa yang bisa aku pikirin, Sin?” tanyaku kembali.

Sintya berusaha mendekatiku, tetapi aku memilih melangkah mundur. Aku pernah dikhianati oleh Mas Tama. Bertahun-tahun lamanya, bahkan ia meninggalkan bekas pengkhianatannya itu dalam diriku. Haruskah kini aku  menerima kenyataan lain dari episode pengkhianatan ini?

Apakah Sintya merupakan bagian dari sisi lain pengkhianatan Mas Tama?

Tidak. Aku tak sanggup menerima semua ini. Tak bisa.

Kuputuskan berlari meninggalkan Sintya. Beberapa kali kudengar ia berusaha memanggilku kembali, tetapi aku tak menggubrisnya.

Inikah yang menyebabkan duka di wajahnya saat kepergian Mas Tama? Inikah mengapa air matanya begitu deras mengalir di hari pemakaman suamiku? Ada sesuatu ... di antara mereka.

Kupercepat langkah kaki meninggalkan area pemakaman. Aku tak ingin menyaksikan semua ini. Aku bahkan tak ingin tahu lebih banyak tentang mereka. Aku tak sanggup.

****

Sesampai di rumah, segera saja aku berlari menuju kamar. Tak kugubris anak-anak yang bersorak kegirangan memanggilku. Juga Ibu yang menyambut dengan senyum manisnya. Kuhempaskan diri di pembaringan, mencoba menentramkan gejolak batin yang begitu menyesakkan.

Sintya dan Mas Tama ....

Rahasia apa yang tak kutahu tentang mereka? Kenapa Sintya bisa datang menabur bunga di makam suamiku, bahkan mengaji untuknya? Apakah Sintya ...?

Ah ... semua pertanyaan-pertanyaan ini membuatku muak. Aku bahkan tak yakin sanggup menerima kenyataan di balik rahasia mereka. Bagaimana jika memang ada sesuatu di antara suami dan sahabatku?

Tapi Sintya? Bagaimana mungkin ia mengkhianatiku? Ia terlalu sempurna di mataku. Sahabat terbaik sepanjang hidupku. Bahkan, Sintya adalah orang pertama  yang membuka tangannya untuk menerimaku, di saat keluargaku sendiri bersikeras mengasingkanku.

Sintya juga yang menyemangatiku untuk melakukan terapi, dan pengobatan. Ia yang begitu tulus mendampingiku dalam setiap jadwal konsul. Membantu  menjaga anak-anak di saat aku terpuruk. Bagaimana mungkin ia mengkhianatiku? Rasanya sulit untuk dipercaya.

Lalu, kenapa Sintya berada di makam Mas Tama sendirian? Apa jangan-jangan Sintya adalah istri kedua Mas Tama? Itukah kenapa Sintya tak menikah hingga saat ini? Astaga ....

Kuambil dengan kasar tas yang tadi kutinggalkan begitu saja di lantai. Merogoh ke dalamnya, mencari serangkai tasbih berwarna biru yang dulu Sintya hadiahkan untukku. Tasbih ini dulu ia berikan untuk menguatkanku di saat jatuh. Sekarang justru ia sendiri yang telah menjatuhkanku.

Kulemparkan tasbih itu ke arah pintu, hingga terpental cukup jauh. Aku muak. Aku muak dengan pengkhianatan. Aku benci dengan kemunafikan. Kutangkup wajah dengan dua tangan, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.

Perlahan pintu kamar terbuka, dan Ibu muncul di sana, masih dengan senyum manisnya. Lantas mendekatiku setelah menutup kembali pintu.

“Ada apa, Nak?” tanya Ibu lembut.

Kutatap Ibu untuk beberapa saat. Lalu, kupeluk dirinya dan mulai terisak kembali di bahunya. Aku tak bisa berbicara banyak. Tak ingin menceritakan apa-apa, hanya ingin menangis dan memeluk Ibu.

****

“Dira, ada Sintya di depan,” ucap Ibu.

Aku yang sedang menyuapi Shena hanya membuang napas kasar. Suasana hatiku masih kacau saat ini. Bertemu dengannya bukanlah hal yang kuinginkan sekarang.

“Bilang aja Dira tidur, Bu,” jawabku meneruskan menyuapi Shena.

“Lho, kenapa?” tanya Ibu bingung.

Aku hanya diam, dan menggelengkan kepala. Tak mengucapkan apa-apa lagi.

Melihat kebisuanku, Ibu lantas berbalik kembali ke ruang depan di mana Sintya menunggu. Entah apa yang Ibu bicarakan dengan Sintya, barangkali saja ia berusaha menjelaskan segalanya pada Ibu. Aku tak peduli.

Selesai menyuapi Shena, aku pun mengambil obat dari dalam lemari. Sudah waktunya kami untuk meminum obat. Agar dapat bertahan hidup, dan beraktivitas layaknya orang biasa, kami harus mengonsumsi obat secara teratur, dan tepat waktu.

Kukeluarkan satu persatu obat itu dan menyusunnya di atas piring kecil. Ah ... biasanya Sintya yang melakukan semua ini untukku. Ia yang selalu dengan telaten mengingatkanku. Sintya ....

****

Gadis itu lima tahun lebih muda dariku. Wajahnya cantik, dengan lesung pipi yang selalu terlihat saat ia tersenyum. Mata bulatnya berbinar saat berbicara. Kuakui ia memiliki semangat hidup yang sangat tinggi.

Aku sudah tiga kali bertemu dengannya dalam Kelompok Dukungan Sebaya. Ia salah satu alasan aku kembali menguatkan diri menghadapi ujian berat ini. Namanya Sukma.

Sukma remaja pernah mengalami tindak pelecehan seksual. Yatim Piatu yang sejak kecil tinggal di panti asuhan itu dinodai oleh orang yang tak dikenalnya, di suatu hari saat ia hendak pulang dari belajar kelompok. Pria mabuk itu tanpa ampun menyakiti setiap inci tubuh gadis itu. Bahkan meninggalkan virus laknat di tubuhnya.

Sukma baru menyadari bahwa ia terinfeksi setelah bertahun-tahun kemudian. Tak bisa kubayangkan apa yang ia rasakan. Terpuruk, sendirian, tak punya siapa-siapa, dan dikucilkan atas sesuatu yang mungkin ia sendiri tak mengerti.

Namun, ia begitu kuat berjuang, dan terus bertahan. Semangatnya untuk tetap hidup dan mengejar impian membuatku tertampar. Sukma, gadis yang luar biasa.

“Hai, Mbak,” sapanya setelah cukup dekat denganku. Suaranya bersemangat seperti biasa. “Mbak berhijab sekarang? Cantik banget,” ucapnya kemudian.

Aku hanya tersenyum simpul, dan mengucapkan terima kasih. Ini memang kali pertama ia melihatku dengan hijab.

“Mbak sendirian aja?” tanyanya kemudian. Biasanya aku memang selalu datang ke pertemuan KDS ini dengan ditemani oleh Sintya.

“Iya, nih. Kamu juga sendiri?” tanyaku balik sembari menggeser duduk, agar Sukma bisa duduk di sampingku.

“Iya, tapi nanti Suci datang, dia pagi ini ada kelas,” jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecilnya.

Suci adalah sahabat dekat Sukma, bahkan seperti saudara baginya. Mereka bertemu pertama kali di panti asuhan, dan menjadi sahabat sampai sekarang. Bahkan Suci yang selalu mendampingi Sukma dalam masa-masa sulitnya. Mungkin seperti aku dan Sintya ....

“Gimana bisnis online-nya? Lancar?” tanyaku kemudian mengalihkan pikiranku tentang Sintya.

“Alhamdulillah, Mbak. Di mana ada kemauan di situ ada jalan, ‘kan?” Ia melirikku kembali, masih dengan senyum manisnya. Ah ... gadis ini benar-benar istimewa.

Cukup lama kami berbincang, dan berbagi pengalaman. Sambil sesekali diselingi candaan Sukma. Hingga tak lama, Suci pun datang dengan berlari-lari kecil ke arah kami.

“Hai, Ciinn, maaf ya, gue telat. Macet parah,” ucapnya pada Sukma. Lantas ia menyodorkan sebuah bungkusan pada gadis itu. “Nih, gue beliin makanan kesukaan lo,” lanjutnya.

Sukma menerima bungkusan itu dengan wajah berbinar. Nampak jelas kebahagiaan di wajahnya. Suci pun menyapaku dengan ramah, ia gadis yang sama energiknya dengan Sukma.

Tiba-tiba saja aku merasa rindu pada Sintya. Kedekatan Sukma dan Suci mengingatkan kembali pada kebersamaan kami.

Ah ... kenapa segala hal di sekitarku selalu saja mengingatkanku padanya?

****

AndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang