Hancur

149 10 0
                                    


Aku pulang dalam keadaan kacau. Merasa buta. Bagaimana bisa aku tertipu? Dua bulan ia bersama wanita itu, dan aku bahkan tak pernah sedikitpun merasa curiga padanya. Apakah aku yang terlalu bodoh, ataukah ia memang mahir menyembunyikan bangkai kebohongannya?

Benci. Aku benar-benar membencinya. Jika hanya hidupku yang dihancurkan, masih bisa kuterima sebagai konsekuensi mencintai bajingan sepertinya. Namun, ia membuat Shena harus menanggung semua ini. Ayah macam apa dia?

Penuh kemarahan kukemasi seluruh pakaian Mas Tama dari lemari. Aku tak mau lagi melihat barang-barangnya di rumah ini. Akan kubakar semua miliknya. Ia tak punya hak lagi padaku dan anak-anak. Biar saja ia mati dalam kesendirian.

Selanjutnya, kukemasi seluruh barang dari meja kerjanya. Daerah yang selama ini terlarang bagiku. Mas Tama tak pernah membolehkanku membereskan daerah kerjanya itu. Ia tak suka jika pekerjaannya terganggu.

Namun, sebuah amplop berwarna coklat menarik perhatianku saat sedang memeriksa satu persatu laci meja. Entah kenapa amplop itu disembunyikan di bagian paling bawah dari berkas-berkas lainnya. Rasa penasaran mendorongku untuk memungutnya.

Segera saja kubuka amplop itu dan melihat isi di dalamnya. Sebuah foto dari hasil pemeriksaan laboraturium. Mas Tama melakukan pemeriksaan dan tidak memberitahuku? Foto ini... menunjukkan bahwa Mas Tama positif terinfeksi HIV. Jadi, ia sudah tau tapi merahasiakannya dariku? Bagaimana bisa ia mengambil keputusan seegois itu? Tidakkah ia berpikir bahwa tindakannya itu mengancam masa depanku?

Aku kembali berteriak sekuat-kuatnya.  Aku semakin membenci lelaki itu. Aku sangat membencinya.

******

Kulangkahkan kaki pelan mendekati pintu berwarna biru itu. Rumah Ibu. Sudah beberapa hari aku mencoba menghubungi keluargaku, tapi tak satu pun dari mereka menjawabnya. Bahkan tidak dengan Ibu.

Mereka tak mungkin mencampakkanku seperti yang dilakukan oleh keluarga Mas Tama, bukan? Bagaimanapun mereka adalah keluargaku. Mereka tak mungkin melakukan itu.

Kuketuk pintu perlahan, dan mengucap salam. Langkah kaki di dalam sana menjadi jawaban untukku. Pintu terbuka, dan wajah Ibu yang kurindukan muncul di sana.

Tangisku pecah, aku berjalan mendekati Ibu untuk memeluknya. Aku butuh pelukan Ibu saat ini, butuh kekuatan darinya. Namun, suara di belakang sana membuatku urung lebih mendekat.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mas Ilham, kakakku. Ia segera merengkuh Ibu menjauhi ku.

“Mas, aku ....”

“Di sana aja! Jangan masuk. Gila apa kamu datang ke sini? Di rumah ini banyak anak kecil, Dira! Kamu mau menularkan virusmu itu pada seluruh keluarga?” tanya Mas Ilham keras.

Aku terpana mendengar ucapannya. Kata-kata itu keluar dari mulut kakakku sendiri? Benarkah ia kakak yang selama ini kusayangi?

“Mas ....”

“Seluruh tetangga pada ngomongin keluarga kita, tahu nggak kamu! Malu, Andira! Kami malu! Ibu bahkan nggak berani ke luar rumah. Sekarang kamu malah nekat datang ke sini?” bentak Mas Ilham lagi.

Hatiku benar-benar hancur mendengar kalimatnya. Mereka malu karena keadaanku ini? Tidakkah mereka sadar aku juga korban di sini? Aku tak pernah menginginkan semua ini terjadi.

Luruh air mataku jatuh. Tubuh ini lunglai, dan aku terduduk di lantai yang dingin. Isakku semakin keras menerima kenyataan bahwa keluarga pun tak mau menerimaku.

Ibu pun ikut menangis, tetapi Mas Ilham menahan Ibu untuk mendekatiku.

“Kasihan adikmu Ilham,” ratap Ibu memohon.

“Biarin aja, Bu. Dia yang memutuskan menikahi laki-laki itu. Ini akibat dari keputusannya sendiri. Kita bisa apa? Penyakitnya itu menular, Bu! Ibu nggak mau ‘kan seluruh keluarga ketularan?” jawab Mas Ilham tegas. Air mataku dan Ibu tak bisa meluluhkan hatinya.

“Mending kamu pergi dari sini, Dira. Sebelum ada tetangga yang lihat kamu.”

Mas Ilham membanting pintu di hadapanku. Suara tangisan Ibu masih terdengar di dalam sana. Namun, Mas Ilham akan tetap dengan keputusannya. Mereka mencampakkanku.

****

Sudah berhari-hari aku mengurung diri di kamar. Hidupku sudah tak ada gunanya lagi. Semua orang menjauhi dan membenciku. Bahkan keluarga pun enggan berada dekat denganku. Mereka terlalu takut akan tertular virus ini. Tak ada gunanya lagi aku hidup.

Tangisan Shena di luar sana semakin menjadi. Sejak pagi ia tak hentinya menangis. Beberapa hari ini kubiarkan ia dan kakaknya sendirian. Apa yang bisa kulakukan? Mereka harus bisa hidup tanpa aku. Kematian akan segera menjemputku.

“Ma ....” Suara Alfia kembali memanggilku. Aku tahu, ia kini juga menangis. Namun, mereka harus belajar hidup tanpa aku.

“Buka pintunya, Ma ....” pintanya memelas. Tangisan ketiga anakku kini bercampur menjadi satu.

“Ma ....”

Sakit. Hatiku sakit mendengar tangisan mereka. Namun, aku bisa apa? Aku akan segera mati. Mereka harus bisa menerima itu.

Air mataku kembali jatuh. Kesedihan, dan kemarahan bercampur menjadi satu. Kenapa semua ini terjadi pada kami?

Dulu, keluarga kami utuh, bahagia, dan selalu terasa sempurna. Namun, dalam sekejap saja semua keadaan itu berbalik. Jangankan untuk tertawa, untuk tersenyum pun aku tak lagi memiliki alasan yang cukup.

Ya Tuhan, kenapa harus aku? Kenapa harus anak-anakku?

Dalam benakku kembali terbayang wajah cantik ketiga putriku. Alfia, Ulfa, mereka pasti ketakutan di luar sana. Namun, aku tak bisa membiarkan mereka ikut menanggung derita ini.

Kembali terngiang di telingaku kata-kata Mas Ibram dan Mas Ilham. Mungkin mereka benar. Aku bisa menularkan penyakit ini jika terus berada dekat dengan mereka. Aku ini kotor, dan menjijikkan. Aku tak pantas lagi untuk dunia ini.

Alfia dan Ulfa, mereka tak boleh berada di dekatku lagi. Aku tak mau mereka tertular. Tak ingin mereka menerima cibiran sepertiku. Cukup aku dan Shena. Ya... cukup aku dan Shena.

Bergegas kuhampiri pintu, dan perlahan membukanya. Pemandangan di luar sana membuat jantungku kembali berdenyut sakit. Semuanya berantakan. Alfia dan Ulfa, mereka terlihat sangat tidak terawat. Mata mereka bengkak karena menangis, rambut mereka tak lagi terikat rapi seperti biasa. Aku tak bisa melihat mereka seperti ini. Mereka harus mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Kuambil Shena dari pangkuan kakaknya, dan menyodorkan beberapa lembar uang pada Alfia.

“Pergi dari sini, Nak. Pergi ke rumah nenek! Bawa uang ini! Mama nggak mau kalian menderita di sini. Pergilah!” perintahku pada mereka berdua.

“Mama ... Mama kenapa?” tanya Ulfa terisak.

“Kalau kami salah, kami minta maaf, Ma. Kami janji nggak akan nakal lagi. Mama jangan begini,” ucap Alfia dengan dua tangan di dadanya.

Air mataku semakin deras mengalir. Namun, kuyakinkan hati bahwa semua ini demi kebaikan mereka berdua.

“Pergi dari sini! Pergi dari rumah ini. Mama sayang kalian, Mama nggak mau menularkan penyakit ini pada kalian. Pergi!” perintahku lagi sembari membanting kembali pintu kamar dan menguncinya.

Kudekap Shena dalam pelukanku. Kami bertangisan bersama-sama. Alfia dan Ulfa masih terus mengetuk pintu dan memanggil namaku.

“Ma ... buka, Ma,” pinta mereka terus menerus, membuat hatiku semakin teriris.

“Pergilah, Nak. Pergi dari rumah ini! Kalian nggak boleh sakit,” jawabku lemah. Aku tak pantas lagi menjadi ibu mereka.

****

AndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang