Sukma dan Suci baru saja pamit dan pergi. Kedua anak muda itu selalu saja punya banyak hal untuk dilakukan. Seperti tak ada sesuatu—bahkan HIV sekalipun—yang bisa menghalangi mereka. Mungkin nanti aku bisa menirunya, melakukan sesuatu agar hidupku lebih berarti.
Peserta KDS lainnya juga mulai meninggalkan tempat ini. Kembali ke kehidupan mereka di luar sana. Hanya beberapa saja yang masih betah duduk di sini, termasuk aku.
Kupandangi lantai marmer di bawah kakiku. Menarik napas dalam dan mengembuskannya kembali. Apakah aku telah salah paham pada Sintya? Apakah mungkin sahabat sebaik Sintya mengkhianatiku? Mungkin seharusnya kudengarkan dulu penjelasannya kemarin. Namun, trauma atas pengkhianatan Mas Tama terlanjur membuatku takut, dan menjauhinya.
Tak bisa kumungkiri, aku merindukan Sintya. Sudah terlalu terbiasa dengan kehadirannya, sehingga ada rasa kehilangan yang berat di sudut hatiku dengan ketidakadaannya saat ini.
Kukeluarkan ponsel dari dalam tas, menimbang apakah harus kuhubungi Sintya dan meminta kejelasan dari semua ini. Namun, kemarin akulah yang menolak penjelasannya, bagaimana bisa sekarang aku memintanya kembali.
Sekali lagi kuhembuskan napas kasar. Aku benar-benar bingung.
“Assalammu’alaikum.”
Ucapan salam dari seseorang mengalihkanku dari kebingungan. Sedikit gugup awalnya, tetapi aku mencoba kembali terlihat biasa saja. Karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, aku sampai tak menyadari bahwa Sintya telah berdiri tak jauh dariku. Jilbab abu-abunya bergerak tertiup angin sore yang sejuk.
Sintya kemudian berjalan mendekatiku, senyum manisnya tak berubah. Ia masih seperti biasa, seolah tak ada sesuatu yang telah terjadi di antara kami.
“Gimana pertemuannya tadi, Say?” tanyanya setelah duduk di sampingku. Aku tak menjawab apa-apa. Hanya bertahan dengan kebisuanku. Bukan basa-basi yang kuinginkan saat ini. Aku hanya ingin tahu, rahasia apa yang Sintya sembunyikan dariku.
“Aku tau kamu marah, Say. Aku minta maaf udah ke makam Tama tanpa seizin kamu, yang akhirnya bikin kamu salah paham. Tapi nggak ada hubungan apa-apa antara aku dan Tama,” ujarnya kemudian.
Namun, semua itu belum menjawab pertanyaan yang mengganggu di pikiranku selama ini. Apa arti air mata Sintya saat kepergian Mas Tama? Untuk apa ia menyempatkan diri menabur bunga dan mengaji di makam suamiku?
Aku masih membuang wajah darinya. Aku butuh kejelasan, aku butuh kejujuran.
“Aku mencintai Tama.”
Satu kalimat itu berhasil membuatku kembali menatap ke arahnya. Kata-katanya seolah menghentikan detak jantungku. Kurasakan aliran darah yang lebih cepat daripada sebelumnya. Bumi seolah runtuh di hadapanku.
Ia mencintai suamiku? Lantas kesalahpahaman apa yang ia maksud sebelumnya. Jika Sintya mencintai suamiku, bukankah sudah jelas bahwa ia telah menusukku selama ini.
Kutatap tajam matanya. Rasanya aku tak percaya ia mengucapkan kalimat itu. Tidakkah ia tahu semua ini begitu menyakitiku?
“Kamu ....”
“Aku mencintai Tama, jauh sebelum kamu hadir dalam hidupnya, Dira. Kami udah berteman sejak kecil, aku nggak ingat kapan pastinya, yang jelas aku suka sama Tama. Tapi kamu tahu ‘kan Say, bukan sifatku mengumbar perasaan. Aku cuma ingin cinta ini menjadi rahasiaku aja. Kalau dia memang jodoh aku, Allah akan mengantarkannya buat aku. Tapi pada kenyataannya, kamu yang ditakdirkan menjadi jodoh Tama. Bukan aku.”
Penjelasan Sintya kini membuatku terpaku. Ia mencintai Tama sejak awal, dan menyembunyikan segalanya dariku? Napasku seolah tercekat.
“Aku nggak pernah berniat mengkhianati kamu, sedikitpun nggak pernah. Walaupun jujur, cinta ini nggak bisa aku buang begitu aja. Dia cinta pertama aku.” Sintya berhenti sejenak, lalu kembali menatapku. “Aku mencintai Tama, tapi aku juga sayang sama kamu, Dira. Kamu sahabat terbaik yang pernah aku punya. Aku nggak mungkin khianatin kamu. Nggak pernah ada apa-apa antara aku dan Tama.”
Aku merasakan perasaan yang tak biasa kini. Antara bingung, sedih, dan haru. Akukah yang sebenarnya telah merebut orang yang ia cintai?
“Waktu aku tau kamu terinfeksi virus itu dari Tama, aku juga merasa hancur, Say. Dua orang yang aku sayangi mengalami hal seperih ini. Seandainya aja aku bisa melindungi kalian ....”
Kali ini Sintya yang menarik napas dalam, dan membuangnya kasar. Bisa kulihat matanya yang berkaca-kaca. Semua ceritanya membuat aku lupa dengan kemarahanku sendiri.
“Mungkin nggak ada yang bisa aku lakukan buat Tama. Tapi aku bisa bantu kamu, wanita yang dia cintai.” Sintya kembali menatapku, dan kali ini ia tersenyum. “Aku udah berjanji akan selalu nemenin kamu, Say. Beginilah cara aku mencintai.”
Aku mengalihkan pandangan dari Sintya. Sulit rasanya menerima semua ini begitu saja. Ia mencintai suamiku, tapi merelakannya untukku? Bahkan ia berusaha untuk selalu menemani dan membantuku. Harus kuakui, telah begitu banyak pengorbanan Sintya untuk membuatku kembali bangkit dari keterpurukan.
“Kenapa kamu nggak mencari laki-laki lain aja? Kenapa bertahan mencintai ... suamiku?”
“Ingin, aku ingin. Tapi cinta itu masalah hati, dan aku nggak bisa memaksa hati aku buat berpaling,” jawabnya datar. Entah apa yang ada dalam pikirannya kini.
Untuk ke sekian kalinya kubuang napas kasar. Kepalaku terasa penuh. Semua ini sulit untuk kucerna.
“Kamu bodoh, Sin,”ucapku kesal. Entah kesal karena kecurigaanku, atau kesal karena ada wanita lain yang mencintai suamiku, bahkan lebih besar dari diriku sendiri.
“Yang penting sekarang kamu tau, aku nggak pernah mengkhianati kamu, Say. Aku selalu berusaha mencintai dalam diam.”
Cukup lama kami hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sintya, cinta seperti apa yang ia miliki ini. Ia berkorban terlalu banyak.
“Kalian berdua sangat berarti buat aku,” ucapnya kemudian seolah tahu isi hatiku, dan lagi-lagi ia tersenyum.
Ah ... aku tak tahu harus marah atau sedih. Yang jelas, Sintya bukan selingkuhan Mas Tama, apalagi istri keduanya. Ia adalah sahabatku yang ... bodoh. Kenapa ia tak jujur saja padaku, justru memilih menahan semuanya sendiri. Yah ... meskipun aku sendiri tak yakin apa yang akan aku lakukan jika Sintya jujur padaku sejak awal. Aku juga mencintai Tama, ‘kan?
“Kamu udah makan belum, Say?” tanyanya kemudian. Aku hanya menggeleng singkat. Gejolak hatiku masih belum sepenuhnya stabil.
“Cari makan, yuk! Aku traktir,” ajaknya sembari berdiri. Pelan, aku pun ikut berdiri, dan mengikuti langkahnya.
Sintya, ia adalah wanita paling tulus yang pernah aku temui. Jika suatu saat nanti ada yang bisa kukorbankan untuknya, aku akan melakukannya.
****
“Sin, aku pengen kerja, deh. Nggak enak juga nerima transferan dari Mas Ibram terus-terusan,” ucapku pada Sintya saat kami dalam perjalanan pulang.
“Kerja apa?” tanya Sintya dengan dahi berkerut. Apakah terlalu aneh bagi gadis itu mendengar bahwa aku ingin bekerja?
“Apa aja. Kamu tau Sukma, ‘kan? Cewek yang di KDS bareng aku. Dia aja bisa tetap berbisnis online walau keadaannya begitu. Masa aku nggak bisa,” jawabku sambil memikirkan pekerjaan apa yang bisa aku lakukan. Aku memang tidak punya pengalaman bekerja selama ini.
“Say, kamu mau nggak kalau cerita hidup kamu dituliskan?” tanya Sintya kemudian.
“Ditulis?” Aku balik bertanya, giliranku kini menatapnya dengan dahi berkerut.
“Iya. Aku punya kenalan penulis, dia bisa nulisin tentang kisah perjuangan kamu. Lumayan, ‘kan? Selain bisa jadi pelajaran buat orang lain, kamu juga bisa dapat royalti nantinya,” jawab Sintya bersemangat.
“Tapi apa yang bisa ditulis tentang hidup aku?” tanyaku kembali.
“Tentang perjuangan kamulah, Say. ‘Kan bisa jadi kisah inspiratif,” terang Sintya kembali.
Aku kembali diam untuk beberapa saat. Memikirkan tawaran Sintya barusan, apakah aku siap untuk menceritakan semua kisah hidupku?****
KAMU SEDANG MEMBACA
Andira
RomanceAndira, seorang istri yang tertular HIV dari suaminya. Dihina, dicaci, dan diasingkan keluarga besarnya. Bagaimana ia akan bertahan melewati ujian berat dalam hidupnya?