Ibu

141 7 0
                                    


“Say, udah waktunya kamu dan Shena minum obat, lho. Kamu nggak boleh telat minum obat, ya, Say,” ucap Sintya mengalihkan perhatianku dari tawa anak-anak. Sempat kulihat ia mengusap bagian hidungnya dengan sapu tangan. Matanya masih nampak memerah, seperti bekas menangis.

Aku menatapnya cukup lama, pertanyaan itu kembali mengusikku. Apa yang tidak kutahu tentang Sintya? Apa yang ia rahasiakan dariku?

Kuambil obat yang ia sodorkan padaku, dan meminumnya dengan hati yang masih dipenuhi pertanyaan. Apa ada sesuatu antara Sintya dan ....

Ah ... bagaimana itu mungkin. Sintya adalah sahabat terbaikku. Ia tak mungkin melakukan sesuatu yang akan menyakitiku.

“Kamu harus sembuh, ya, Say,” ucap Sintya sembari memelukku erat. “Aku janji bakal terus jagain kamu. Kamu harus sehat,” lanjutnya kemudian. Lantas kembali menangis di bahuku.

“Sin, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanyaku padanya. Sikap Sintya ini benar-benar jauh dari ia yang biasa. Menangis bukanlah kebiasaannya.

“Iya. Aku baik-baik aja kok, Say,” jawabnya sembari melepaskan pelukannya dariku. Ia kembali berusaha tersenyum, dan menyapu pipinya yang basah.

“Sin, ini bukan kamu. Ada apa?” tanyaku lagi, berusaha mendesaknya.

Sintya hanya menggelengkan kepalanya dan terus berusaha tersenyum.

“Nggak ada apa-apa, aku cuma ... cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa,” jawabnya meyakinkanku.

Aku masih belum merasa puas dengan jawaban Sintya. Hati kecilku mengatakan ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Namun, belum sempat aku kembali mengajukan pertanyaan, sebuah suara terdengar mengucap salam di pintu, mengalihkan lagi seluruh perhatianku.

“Ibu ...,” ucapku hampir tak percaya. Ibu berdiri di sana, menatapku dengan mata sendunya. Bergegas aku berlari mengejar Ibu yang kini juga berjalan ke arahku.

Kami berpelukan dalam tangis yang tak terbendung. Aku benar-benar merindukan Ibu, merindukan peluk hangatnya.

“Ibu ...,” ucapku kembali, tak hendak melepaskan pelukan. Tubuhku bergetar karena isakan. Ibu pun juga sama. Memelukku erat, dan menyebut namaku berkali-kali.

“Dira kangen Ibu,” ucapku lagi.

“Iya, Sayang, ibu juga kangen kamu, Nak,” jawab Ibu tersedu.

Anak-anak yang menyadari kedatangan sang nenek segera berlari mendekat, dan bersorak kegirangan. Aku pun mengalah, mengurai pelukan dan membiarkan anak-anak melepas rindu dengan neneknya.

Ibu memeluk Shena erat dan menciuminya berkali-kali. Air mataku semakin tak tertahan melihat Ibu yang juga menangis terisak.

“Malang sekali nasib cucuku, ya Allah,” ucap Ibu masih memeluk erat Shena.

Sintya mendekat ke arahku, dan mengusap bahuku seolah memberi kekuatan kembali. Rasa haru atas pertemuan kembali dengan Ibu membuatku lupa dengan semua sikap tak biasa Sintya. Aku pun menangis dan tersedu di bahunya.

“Nenek kangen sekali sama kalian. Cucu nenek baik semua, ‘kan?” tanya Ibu pada anak-anak.

“Nenek kok baru datang? Kita takut, Nek. Mama sakit,” ucap Alfia lemah.

“Iya, maafin nenek baru bisa datang, ya, Sayang,” jawab Ibu sembari menciumi tangan Alfia. Kemudian Ibu kembali mengalihkan tatapannya padaku.

“Kamu baik-baik aja, ‘kan, Nak?” tanya Ibu sambil berjalan mendekat ke arahku.

Aku mengangguk, dan kembali memeluk Ibu. “Ibu di sini aja, ya,” ucapku kemudian.

Ibu pun membelai rambutku sembari berusaha tersenyum. “Iya, Nak. Ibu di sini sama kalian,” jawab Ibu.

Ibu lantas mengalihkan perhatiannya pada Sintya, dan mengusap pipi Sintya dengan lembut.

“Terima kasih, ya, Nak, kamu selalu nemenin Dira,” ucap Ibu kemudian.

Sintya tersenyum, dan menggenggam tangan Ibu ke dadanya. “Iya, Bu. Ibu tenang aja, saya akan selalu bantuin Dira, kok,” ucapnya lembut.

Seketika aku kembali teringat pada Mas Tama. Ah ... aku ingin menceritakan semua dukaku pada Ibu sekarang.

“Bu, Mas Tama ....” Kalimatku terpotong oleh isakan. Ternyata tak semudah itu menceritakan semua. Hatiku masih sendu setiap kali teringat Mas Tama.

“Iya, Nak. Ibu udah tau, karna itu ibu datang ke sini sekarang. Kamu harus tabah, ya, Nak. Ikhlaskan semua. Anggap ini ujian dari Allah, buang semua benci agar suamimu tenang di sana,” ucap Ibu kembali memelukku.

Pelukan Ibu benar-benar terasa hangat dan membuat hatiku merasa damai. Semua beban yang mengimpit di dadaku terasa lepas. Terima kasih ya Rabb, telah mendatangkan Ibu untukku.

****

Ponselku terus berdering sedari tadi. Pesan dan panggilan masuk dari Mas Ilham yang menanyakan keberadaan Ibu.

“Jadi Mas Ilham nggak tau kalau mau Ibu ke sini?” tanyaku pada Ibu. Hatiku terasa hancur membayangkan bagaimana kakakku itu masih begitu keras mengasingkanku.

“Iya. Kalau Ibu bilang mau ke sini dia nggak bakal ngijinin. Ibu mau di sini, nemenin kamu,” jawab Ibu.

Aku tahu hati Ibu pun pasti hancur dengan keadaan ini. Rasa bersalah mau tak mau kembali merayapi hatiku. Seandainya aku tidak tertular virus itu, Ibu tidak akan berada pada situasi sulit seperti ini.

“Maafin Dira, Bu,” ucapku sembari mencium tangan Ibu. “Maaf, karna Dira udah bikin Ibu sedih,” lanjutku lagi.

Ibu kembali membelai lembut kepalaku. “Bukan salahmu, Nak. Ini memang sudah menjadi takdir kita,” jawab Ibu. Lantas kami kembali terkunci dalam diam.

Kupandangi layar ponsel yang masih berkedap-kedip. Mas Ilham, tidak adakah sedikit pun rasa kasih di hatinya untukku? Begitu tak relakah ia jika Ibu bersamaku?

****

“Andira! Buka pintunya! Buka!”

Teriakan di luar sana mengejutkan kami yang baru saja selesai melaksanakan shalat Maghrib bersama. Aku dan Ibu mengenali suara itu. Mas Ilham. Ia datang juga ke sini, mungkin karena aku tak menjawab panggilannya.

“Bu ....”

Aku melirik ke arah Ibu yang juga nampak ketakutan, sama sepertiku. Takut jika Mas Ilham akan membuat keributan di sini. Takut jika ia memaksa untuk membawa Ibu kembali, sedangkan kami baru saja kembali bersama.

“Dira! Buka pintunya!!” teriak Mas Ilham kembali.

Aku dan Ibu terburu-buru melipat mukena dan beranjak ke luar kamar.

“Kalian di sini aja, ya,” ucapku pada si kembar. Aku tak ingin mereka melihat keributan ini lagi. Shena juga baru saja tertidur. Lebih baik mereka bersama Shena di kamar.

Tergesa aku dan Ibu melangkah menuju pintu. Jantungku berdebar tak menentu. Bagaimana aku harus menghadapi Mas Ilham nanti. Dari suaranya aku tahu Mas Ilham sangat marah.

Kutarik napas dalam, dan mencoba menguatkan hati.

“Bismillah ....”

Kubuka pintu perlahan, sedangkan Ibu terus berdiri di belakangku. Baru saja kami bersitatap, Mas Ilham segera menarik tangan Ibu, dan memaksanya ke luar. Aku pun tak tinggal diam, berusaha menahan Ibu tetap bersamaku. Kurangkul Ibu seerat yang kubisa.

“Mas, jangan kasar sama Ibu,” ucapku.

“Diam kamu! Beraninya kamu ajak Ibu ke sini!” bentak Mas Ilham padaku.

“Apa salahnya, Mas. Aku juga anak Ibu, ‘kan?”

“Kamu sudah gila, ya! Kamu mau menularkan penyakitmu pada Ibu? Kamu mau membuat semua keluarga kita mati tertular penyakitmu itu. Dasar anak tak tahu diuntung!” maki Mas Ilham padaku.

Sakit. Kurasakan sesuatu dalam hatiku tersayat mendengar kata-kata Mas Ilham. Ia benar-benar tak menaruh kasih lagi padaku.

****

AndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang