Ikhlas

132 7 0
                                    


“Aku nggak bisa ke sana, Sin. Nggak bisa ...,” ucapku sembari menangkup wajah dengan dua tangan. Hatiku terasa kacau saat ini. Mas Tama sedang kritis, dan Mas Ibram memintaku untuk datang ke rumah sakit.

Separuh hatiku ingin menemuinya, lelaki yang sepuluh tahun ini menemani hidupku. Namun, sebagian lain masih menaruh kebencian atas pengkhianatannya.

“Kenapa nggak bisa, Say?” tanya Sintya. Ia kini telah merapatkan duduknya, dan merangkulku.

“Aku belum bisa ikhlas ... belum bisa berdamai dengan hatiku, Sin,” ucapku parau. Berat air mata yang kutahan sedari tadi, tetapi akhirnya jatuh juga.

“Say, ikhlaskan semua. Bebaskan dirimu dari kebencian, agar kamu bisa menjalani hidupmu dengan tenang. Dendam dan kemarahan hanya akan mengurangi tempat untuk rasa bahagia di hati, Dira,” ujar Sintya kembali.

Aku mencerna kalimatnya lamat-lamat. Bisakah aku mengikhlaskan segalanya dan berdamai dengan keadaan? Sementara dampak yang ia timbulkan akan kutanggung seumur hidup. Benarkah dengan mengikhlaskan semua akan terasa lebih baik? Aku benar-benar merasa bimbang.

“Aku temenin kamu ke rumah sakit, ya,” ucap Sintya lagi.

Kutarik napas dalam, dan menghembuskannya kembali dengan perlahan. Sintya terus menatapku dengan pandangan meyakinkan. Raut wajahnya seolah membujukku untuk pergi.

Aku pun kalah, lelah berpikir. Lelah berdebat dengan hatiku sendiri. Kuanggukkan kepala dan perlahan berdiri. Baiklah, aku akan menemui Mas Tama. Aku ingin terbebas dari benci yang menyesakkan ini.

Kami pun berangkat menuju rumah sakit dengan menggunakan taksi. Tak  ada kata yang terucap di sepanjang perjalanan. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, dan Sintya, entah apa yang ia pikirkan. Sedangkan Shena dan kedua kakaknya sibuk berbagi cerita.

Memasuki pelataran rumah sakit, aku mulai berusaha mengatur kata yang harus kuucapkan pada Mas Tama nanti. Haruskah kuhibur ia, atau memberikan semangat untuk kembali bangkit. Bisakah aku?

Mas Ibram segera mendekat sesaat setelah ia melihat kedatanganku. Aku hanya menatapnya dengan pandangan bertanya, tak tahu harus mengucapkan apa. Sedangkan Mas Ibram hanya mengangkat bahunya dan menggeleng lemah.

“Tipis harapannya buat bertahan. Tapi sedari tadi dia seolah menunggu sesuatu. Mungkin kamu ...,” ucap Mas Ibram kemudian.

Aku menatap ke ruangan di mana kini Mas Tama dirawat. Kutarik napas dalam, dan kembali meyakinkan hati untuk melupakan segala kebencian. Terlebih setelah mendengar keterangan dari Mas Ibram. Mau tak mau, rasa khawatir mulai menyusup ke dalam hatiku.

Pelan kulangkahkan kaki mendekat, sedangkan Sintya membawa anak-anak duduk di bangku tunggu. Kuputar pegangan pintu perlahan, dan berusaha kembali menguatkan hati. Bau obat-obatan yang menguar menyambutku dari dalam sana.

Pandanganku pun langsung tertuju pada Mas Tama. Seketika air mataku kembali menggenang. Kondisinya benar-benar menyedihkan. Tak ada lagi cahaya dalam mata itu. Hanya bibirnya yang seolah hendak berucap sesuatu, tetapi tak ada kata yang mampu ia keluarkan. Sedangkan jemari tangannya tak henti ia gerakkan.

Aku mendekati ranjang rawatnya setelah mengusap air mata yang hampir jatuh. Jujur saja, melihat kondisi Mas Tama saat ini membuat hatiku luluh. Semua kemarahan itu seketika menguap, hilang. Bagaimanapun ia adalah satu-satunya lelaki yang pernah kucintai.

Mas Tama sepertinya telah menyadari kehadiranku. Kepalanya sedikit menoleh, dan jemari tangannya kembali digerakkan seolah memanggilku.

Kusentuh jemarinya dengan lembut, lalu kugenggam erat. Mencoba membagi sedikit kekuatan untuknya.  Hatiku pilu melihat penderitaan di wajah itu.

“A ... ak ... ak ....”

Ia berusaha menggerakkan bibirnya, tetapi hanya gumaman tak jelas yang mampu ia ucapkan. Kugelengkan kepala, dan membawa tangannya ke dada.

“Psstt ... aku udah maafin, Mas. Aku udah maafin,” ucapku lembut, dan air mata itu kembali tak mampu kutahan melihat betapa tersiksanya ia saat ini. Ya ... aku telah memaafkannya. Semua kemarahanku kini berganti dengan rasa iba.

Setitik air mata juga mengalir di sudut mata Mas Tama.  Aku bisa melihat kesakitan yang sangat di dalam mata itu.

Di dalam bayanganku, kembali hadir semua kenangan indah kami dulu. Saat pertama ia menyatakan cinta. Saat ia mendatangi Ibu, lalu kami pun memutuskan untuk menikah. Semua kenangan manis itu kembali hadir kini. Masa-masa yang tak akan pernah mampu kami kembalikan.

Tangan ini, yang dulu selalu menggenggam tanganku mesra. Mata yang dulu menatapku penuh cinta. Bibir yang selalu membisikkan kalimat sayang. Kini ia hanya terbaring lemah dengan segala kesakitannya.

“A ... ak ... ak ....”

Mas Tama kembali mengeluarkan erangan yang tak jelas. Rasanya aku tak sanggup lagi melihat penderitaan yang ia alami. Kukecup tangannya cukup lama, sebelum akhirnya aku berdiri dan mengecup lembut keningnya.

“Aku ikhlas, Mas. Aku ikhlas ...,” ucapku terisak. Lalu membisikkan syahadat di telinganya.

“Asyhadu al laa ilaha illallah. Wa asyhadu anna muhammadar rasulullah ....”

Mas Tama tampak berusaha kembali menggerakkan bibirnya mengikutiku. Namun, lagi-lagi hanya erangan tak jelas yang terdengar. Lalu setelahnya jemari tangan lelaki yang kucintai itu berhenti bergerak sama sekali.

Tak bisa kutahan air mata yang jatuh. Kupeluk tubuhnya erat. Tak bisa kupungkiri, cinta yang kupunya terlalu besar untuk bisa melepaskannya begitu saja. Bahkan dengan semua rasa sakit yang ia tinggalkan, ia tetaplah seseorang yang pernah membuat hidupku penuh warna.

Kulepaskan isakku di dadanya saat terdengar beberapa langkah kaki mendekat, dan merasakan seseorang menyentuh bahuku. Sintya. Rupanya ia telah berada di sampingku. Ia juga menangis dan terisak. Bahkan tubuhnya bergetar saat memelukku.

Kami terisak bersama menyaksikan perawat yang kini memastikan bahwa Mas Tama telah pergi. Lalu tubuhnya pun ditutupi dengan selembar kain panjang. Aku tak kuasa menahan tubuhku sendiri. Lantas terjatuh, sebelum segalanya menjadi gelap.
*****

Segala proses penyelenggaraan jenazah telah selesai dilaksanakan. Mas Tama  dikuburkan di pemakaman umum tak jauh dari kediaman orang tuanya. Ia telah lepas dari segala rasa sakitnya.

Aku pun berusaha melepaskan diri dari segala dendam dan benci yang mengusik. Satu hal yang selalu kucoba pahami, bahwa semua ini adalah takdir dari Allah. Dan seperti yang Sintya bilang, aku orang yang terpilih untuk menjalankan ujian ini. Allah yakin aku mampu menjalaninya.

Kini aku berusaha untuk kembali menata hidupku. Aku harus terus hidup untuk ketiga putriku. Aku harus kuat, dan tak boleh goyah lagi.

Sintya seperti biasa selalu ada untukku. Ia juga yang membantuku menjelaskan pada anak-anak tentang apa yang terjadi pada ayah mereka. Namun, entah kenapa aku seolah melihat duka yang mendalam di mata sahabatku itu. Apakah seseorang bisa larut karena kehilangan yang dirasakan oleh sahabatnya?

Ia juga tersedu pada saat pemakaman Mas Tama. Ada apa dengan Sintya? Apakah ada sesuatu yang tak kuketahui tentangnya?

Kuperhatikan ia yang kini sedang bercerita dengan anak-anak. Meskipun ia tertawa, tapi aku tetap bisa melihat duka dalam setiap geraknya. Sahabatku itu jelas tak seceria biasanya.

Ada apa dengannya?

****

AndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang