Rezvan Alvaro

198 10 3
                                    


Aku kembali memikirkan tawaran Sintya untuk menuliskan kisah hidupku. Entahlah, tapi menurut Sintya, kisahku ini akan bermanfaat bagi orang lain.

“Kamu yakin, Sin?” tanyaku untuk ke sekian kalinya.

“Yakinlah, Say. Perjalanan hidup kamu itu penuh hikmah. Bisa menjadi inspirasi untuk  orang-orang di luar sana,” jawab Sintya mantap.

Aku kembali diam, menimbang apakah aku sanggup menceritakan semua beban berat yang telah berusaha kulupakan. Namun, ada benarnya apa yang dikatakan Sintya, kisah ini barangkali saja bermanfaat bagi orang-orang lain.

“Kalau kamu setuju, kita temui orangnya bareng. Namanya Rezvan Alvaro, sejauh yang aku tau, dia orang yang ramah, humoris, jiwanya asik. Insya Allah kamu bisa nyaman cerita sama dia,” lanjut Sintya lagi.

“Dari mana kamu kenal dia?” tanyaku mengulur waktu, masih belum yakin dengan rencana ini.

“Bapaknya dia itu teman baiknya Abah. Jadi, lumayan sering datang ke rumah sama bapaknya,” jawab Sintya lagi.

“Kamu temenin aku, ya?” pintaku pada Sintya. Aku merasa kikuk jika harus menceritakan segalanya sendirian.

“Iya, Say. Kamu tenang aja. Aku bakal terus nemenin kamu. ‘Kan aku udah janji,” jawab Sintya sambil tersenyum, kemudian memelukku dari samping. “Bismillah, ya, Say. Semoga besar manfaatnya, untuk kamu, juga untuk orang lain,” lanjutnya lagi.

Aku membalas senyumnya, meskipun masih ada sedikit ragu menyelimuti hati.

Bismillah. Semoga saja ....

****

Berbeda jauh dari yang aku perkirakan sebelumnya, Rezvan Alvaro ternyata masih terbilang muda untuk seorang penulis yang telah melahirkan cukup banyak karya. Ia bahkan lebih muda satu tahun dariku. Namun, benar yang Sintya katakan sebelumnya, Rezvan adalah orang yang ramah, dan kepribadiannya menarik.

Wajahnya cukup tampan dengan cambang yang tercukur rapi, dan alis mata yang lebat. Rambut ikalnya disisir dengan belahan ke kiri. Penampilannya cukup kasual, dengan sweter rajut berwarna krem, dan celana jeans berwarna biru pudar.  Bagaimana mungkin lelaki sepertinya bahkan tak membuat Sintya tertarik? Astaga ... gadis itu.

“Saya senang sekali Mbak Andira mau membagikan kisahnya, dan mempercayakan saya untuk menuliskannya. Saya tertarik sejak awal, dari pertama Sintya menghubungi saya di telfon. Benar-benar luar biasa. Saya sampai ngefans sama Mbak Andira, lho,” ujarnya diselingi canda. Lumayanlah untuk membuat suasana tegang ini sedikit cair.

Aku tersenyum menanggapinya. Namun, hanya Sintya yang sedari tadi mewakili aku berbicara.

“Terima kasih juga, kamu udah mau bantuin Andira, ya. Kami percayakan penuh semuanya sama kamu, tapi jangan sampai bikin Andira sama anak-anak nggak nyaman!” ujar Sintya kembali.

“Tenang aja. Mbak Andira bisa cerita senyamannya aja. Saya mah ikut aja,” jawab Rezvan lagi masih dengan senyum antusiasnya.

Aku kembali  ikut tersenyum. Sepertinya semua akan berjalan cukup lancar. Pertemuan hari itu kamu akhiri dengan mengatur jadwal untuk memulai rekam cerita. Rezvan akan merekam  setiap ceritaku, sebelum akhirnya nanti ia tuangkan dalam tulisannya.

Ada perasaan gugup dan gelisah yang tak bisa kujelaskan. Bisakah aku menceritakan segalanya tanpa merasakan kembali luka itu?

****

“Mbak nggak perlu pikirin rekamannya, cukup fokus dengan ceritanya aja,” ucap Rezvan sesaat setelah meletakkan ponsel di atas meja.

Pertemuan kedua kami ini diatur di sebuah kafe tak jauh dari rumah Sintya. Kafe ini memiliki desain seperti sebuah taman, dengan rerumputan hijau lembut sebagai lantainya. Untuk tempat duduknya sendiri, didesain seperti bangku panjang tanpa sandaran yang terbuat dari kayu, hampir sama dengan desainnya mejanya, hanya saja dengan ukuran yang berbeda.

Antara satu meja dengan meja lainnya berjarak kurang lebih dua meter, dan dibatasi dengan tanaman boksus yang tingginya tak kurang dari satu setengah meter. Rasanya cukup untuk menjaga pembicaraan kami agar tak sampai didengar pengunjung lainnya.

Pohon kiara payung yang tumbuh tinggi di sekeliling kafe membuat udara siang itu terasa lebih sejuk. Rezvan begitu pandai memilih kafe ini sebagai tempat pertemuan kami. Suasana alam yang asri nyatanya berhasil membuatku merasa lebih santai.

Sintya tersenyum padaku, seolah memberikan isyarat untuk mulai bercerita. Kupejamkan mata untuk beberapa saat, dan menarik napas panjang. Mencoba mengembalikan lagi memoriku pada hari itu, di mana pertama kali dokter memberitahukan bahwa suamiku positif mengidap AIDS.

Ada sesak yang rasanya kembali datang, mengundang titik air mata kembali jatuh. Tak semudah itu tentunya mengenang peristiwa besar yang telah memutarbalikkan seluruh hidupku. Ada sakit yang kembali berdenyut mengenang bagaimana Mas Tama mengkhianatiku. Meskipun telah kuucapkan kata ikhlas, tapi nyatanya sakit itu tak begitu saja pergi.

Sintya menggenggam tanganku, dan memberikan kekuatan untuk melanjutkan cerita. Sementara Rezvan terus diam memandangku. Hanya sesekali ia bertanya, tentang kondisiku, Shena dan anak-anak.

Titik air mata penulis muda itu tak luput dari penglihatanku, saat sampai pada cerita bagaimana aku sempat mengusir Alfia dan Ulfa dari rumah. Bagaimana aku dan Shena pasrah menunggu kematian datang. Bersyukur sekali saat itu Allah mendatangkan Sintya padaku, yang kembali menarik tanganku untuk berdiri. Memberikan pelukan di saat aku merasa sendirian.

Sampai di sini, Sintya kembali tersenyum dan mengelus punggungku dengan lembut.

Rezvan menawarkanku untuk minum, membasahi sedikit tenggorokan yang mulai kering karena bercerita. Kusesap sedikit jus jeruk yang gelasnya mulai berembun, tapi masih dengan pikiran yang berkelana. Aku seolah larut kembali pada masa-masa kelam itu. Saat menceritakan semua, aku merasa seperti sedang menyaksikan diriku sendiri yang terpuruk.

Tak terasa, dua jam berlalu dengan ceritaku. Rezvan kembali mengantongi ponsel yang tadi ia gunakan untuk merekam. Pertemuan akan kami lanjutkan dua hari lagi di rumahku. Rezvan juga ingin melihat kondisi anak-anak secara langsung, dan mencari tahu sedikit cerita tentang mereka.

****

Sepulang dari pertemuan itu, aku menyempatkan diri mampir ke makam Mas Tama. Aku ingin bercerita dengannya, dan melepaskan sesak yang masih tersisa di hati. Kebetulan Sintya juga tak bisa mengantarkanku pulang, karena sudah ada janji dengan kedua orang tuanya. Dengan begitu, aku jadi bisa lebih leluasa bercerita pada Mas Tama.

Aku duduk di samping nisan, dan mengelus nama Mas Tama yang tertera di sana. Lantas menyiramkan air mawar yang tadi sempat kubeli di pintu masuk pemakaman. Namun, pikiranku masih terus melayang pada semua kenangan itu.

“Aku berusaha untuk kuat, Mas, tapi semua ini masih terlalu berat untuk aku jalani sendiri. Bagaimana aku bisa bertahan sendirian, Mas?” lirihku sembari menangkup wajah dengan dua tangan. Kembali aku terisak. Terkadang menangis memang bisa mengurangi beban di hati, bukan?

Saat kembali membuka mata, tiba-tiba saja seseorang menawarkan sapu tangan ke hadapanku. Kuangkat wajah demi melihat sosoknya dengan lebih jelas.

“Rezvan ....” Aku terpana untuk beberapa saat, benar-benar tak menyangka penulis muda itu akan berada di sini. “Kenapa kamu ... bisa ada di sini?” tanyaku sedikit terbata. Namun, tak urung kuambil sapu tangan itu darinya, dan mengusap wajahku yang basah.

“Aku tadi ngikutin, Mbak. Maaf ya, aku Cuma pengen tahu apa yang Mbak Andira lakukan saat sendirian,” ucapnya ramah.

Jujur saja, aku merasa sedikit kikuk kedapatan menangis di makam.

“Jadi, Mbak sering ke sini?” tanyanya kemudian sembari mengiringi langkahku keluar dari area pemakaman.

“Yah, kadang-kadang kalau aku lagi ngerasa  sendirian,” jawabku.

“Mbak nggak ngerasa  dendam gitu sama suami?” tanyanya kembali. Aku menatap sekilas langit yang sore ini masih cukup cerah. Bias mentari terasa hangat di kulitku.

“Rasa marah dan kecewa itu pasti ada. Tapi apa gunanya menyimpan dendam? Nggak akan mengubah keadaan. Bagaimanapun dia tetap suamiku. Lagipula, Sintya bilang aku ini orang yang terpilih,” jawabku sembari tersenyum. Rasa sesak di hatiku sudah jauh berkurang. Benar, menangis kadang bisa mengurangi beban hati.

“Orang terpilih?” Rezvan menatapku dengan dahi berkerut.

Aku hanya tersenyum kembali, lantas melambaikan tangan padanya.

“Aku duluan, ya. Assalammu’alaikum,” ucapku sembari berlalu pergi.

****

AndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang