Terusir

124 7 0
                                    


Aku berdiri di depan ruang rawat Mas Tama. Cukup lama aku hanya memperhatikannya dari pintu kaca itu. Namun, tak ada kekuatan untuk melangkah masuk. Aku belum siap untuk berhadapan kembali dengannya. Kemarahan masih begitu kuat menguasaiku. Aku datang hanya untuk mengetahui kondisinya.

Keadaan Mas Tama tak jauh berubah. Ia masih bertahan dengan bantuan alat yang menopang hidupnya. Pandangannya masih sayu menatap ke langit-langit kamar. Entah apa yang ada dalam pikirannya kini. Sesekali kulihat bibirnya bergerak, tetapi dari luar sini aku tak bisa mendengar apa yang diucapkannya.

“Andira.”

Sebuah suara mengalihkan perhatianku dari Mas Tama. Kubalikkan badan dan mendapati Mas Ibram telah berdiri beberapa meter di belakangku.

“Mas ...,” ucapku pelan membalas sapaannya. Jujur saja aku sedikit kikuk karena ketahuan mengintip Mas Tama dari luar sini. Aku sama sekali tak menyangka bahwa Mas Ibram akan datang ke rumah sakit, karena mengingat reaksinya tempo hari.

Mas Ibram berjalan mendekat meski masih terkesan menjaga jarak. Namun, hal itu tak akan lagi menggangguku. Aku telah membulatkan tekad untuk bangkit meskipun dunia mengasingkanku.

“Gimana keadaan kamu sekarang?” tanyanya berbasa-basi.

Aku hanya menjawabnya dengan mengangkat bahu. Apa yang bisa kukatakan? Bahwa hidupku kini nyaris hancur karena kejahatan adiknya?

“Anak-anak baik-baik aja, ‘kan?” tanyanya lagi.

Kali ini kujawab pertanyaannya dengan anggukan singkat. “Ya, mereka baik-baik aja,” tambahku kemudian.

“Dokter menghubungi Mas karena katanya kamu nggak pernah lagi datang. Tama juga selalu nanyain kamu. Syukurlah kamu akhirnya ke sini lagi. Mas khawatir sama kalian ....”

“Kalau khawatir kenapa Mas nggak pernah datang? Atau keluarga yang lain?” tanyaku tajam.

“Andira, kamu paham situasinya ....”

“Situasi yang diciptakan oleh adik Mas sendiri, ‘kan? Saya nggak pernah ingin mengalami semua ini, Mas. Nggak pernah terlintas bahkan di pikiran saya bahwa suami yang selalu saya cintai bisa melakukan semua ini pada istri dan anaknya. Tapi kenapa kalian seolah menambah berat beban hukuman ini?” tanyaku padanya. Kuluapkan segala emosi yang selama ini tertahan. Meskipun air mata harus kembali jatuh, tetapi setidaknya aku tak lagi harus memendam semuanya sendirian.

“Andira ....”

“Sulit bagi saya menerima bahwa saya harus dihukum untuk kesalahan orang lain. Seandainya kalian tahu bagaimana rasanya, kalian nggak akan sanggup melakukan ini pada saya dan anak-anak.”

Kulangkahkan kaki berbalik meninggalkan Mas Ibram yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Rasanya melegakan bisa melepaskan semua yang selama ini hanya terpendam di hati. Mereka harus menyadari bahwa aku hanyalah korban dari kecurangan Mas Tama. Tak ada alasan bagi mereka memperlakukanku seperti ini. Tak ada. Mereka tak berhak melakukan semua itu.

****

Taksi yang kami pesan berhenti tepat di depan rumah. Mbak Anita turun lebih dahulu, dan aku menyusulnya dengan menggendong Shena yang tertidur. Hari ini adalah hari pertama dari rangkaian pengobatanku dan Shena. Putri kecilku itu nampaknya sangat lelah. Namun, aku tahu ia memiliki semangat yang sama besarnya sepertiku.

Tepat setelah taksi itu bergerak menjauh, sebuah bola menggelinding mendekatiku. Bola kaki yang biasa dimainkan oleh anak tetangga. Aku hendak membantu menendangnya kembali, tetapi sang empunya bola telah lebih dulu berlari mendekat.

Namun, masih separuh jarak yang ia tempuh menuju ke arahku, seseorang menarik tangan bocah kecil itu dan menahannya untuk lebih mendekat. Dari gelagatnya kurasa ia adalah ibu dari bocah itu.

“Jangan ke sana!” bentaknya pada sang anak. Lalu kemudian ia menatap tajam ke arahku. “Mereka punya penyakit menular,” lanjutnya.

Aku tersentak mendengar ucapan dari ibu tersebut. Mereka pasti sudah mendengar kabar tentang keadaanku. Bisa kulihat tatapan jijik yang dilayangkan untukku.

“Mbak, mending Mbak pindah aja, deh. Keberadaan Mbak di sini bikin kami semua ketakutan. Hidup kami jadi nggak tenang,” ucapnya tajam, seolah tak memikirkan perasaanku.

Namun, belum sempat aku menjawabnya, tetangga yang lain telah datang dan ikut menimpali.

“Iya, pergi aja deh dari sini ....”

“Jangan di sini lagi. Kami nggak mau anak-anak kami tertular ....”

“Iya ... pergi aja!”

Kompak mereka menekan, dan mengusirku pergi. Jantungku berdegup sangat kencang, sedangkan tubuhku gemetar tak karuan.  Sikap mereka ini benar-benar tak pernah kubayangkan sebelumnya.

“Tenang, Bu. Tenang! Semuanya bisa dibicarakan baik-baik,” ucap Mbak Anita berusaha mengendalikan keadaan.

“Gimana kami bisa tenang kalau di lingkungan kami ada penyakit!”

“Mbak ini siapa? Temannya, ya? Apa Mbak ini juga sama?”

“Saya Anita, saya konselor yang bertugas membantu proses pengobatan Mbak Andira ....”

“Udahlah, pergi aja dari sini!”

Kalimat mereka membuat pertahananku kembali goyah. Air mata kembali luruh. Mereka mengusirku, dan menganggap aku sebagai penyakit. Mereka mengusirku dari rumahku sendiri.

Tangisku semakin pecah, saat salah satu dari mereka menyebutku kotor. Ya Tuhan,  adilkah ini? Bahkan wanita-wanita penggoda di luar sana tak diperlakukan sekejam ini. Kenapa lantas aku harus menerima perlakuan ini.

“Ibu-ibu, mari kita bicarakan segalanya dengan tenang. Kondisi Mbak Andira nggak semengerikan yang ibu pikirkan ....”

“Mbak, kami ini nggak bodoh. Kami tau kok kalau penyakit Mbak Andira itu menular. Amit-amit! Pokoknya Mbak Andira harus pergi dari sini. Kalau nggak kami jadi merasa nggak tenang!”

Mbak Anita terus berusaha meredam amukan dari ibu-ibu tersebut. Namun, apalah daya Mbak Anita yang hanya seorang diri melawan mereka yang berkumpul. Untunglah, tak lama setelahnya Bapak Kades datang. Barangkali ada yang melaporkan kerusuhan ini pada beliau.

“Ada apa ini?” tanya Bapak Kades setelah berada di antara Mbak Anita dan para ibu-ibu itu.

“Kami nggak mau Mbak Andira tinggal di sini lagi. Dia punya penyakit menular ....”

“Iya, kami nggak tenang kalau Mbak Andira masih tinggal di sini ....”

“Tenang semuanya. Tenang.  Mari kita bahas semua dengan kepala dingin, jangan kedepankan emosi!” ucap Bapak Kades berusaha mendamaikan situasi.

Shena telah terbangun dari tidurnya, dan menangis. Mungkin ia mengerti bahwa kini kami tak diharapkan lagi di sini.

“Dira, kamu masuk aja, ya. Bawa Shena ke dalam. Biar saya yang mengurus ini,” ucap Mbak Anita padaku.

Masih dengan hati yang hancur aku melangkah masuk dan mengunci pintu. Setelah penolakan dari keluarga Mas Tama dan keluargaku sendiri, kini aku harus menghadapi penolakan dari masyarakat. Sehina itukah aku?

Rasa pedih membuatku kembali menangis. Sayup-sayup masih kudengar suara Mbak Anita di luar sana yang berusaha menjelaskan semua pada mereka. Kupeluk Shena erat dan menciumnya berkali-kali, hanya untuk mendapatkan kembali kekuatanku. Namun, air mata tak hendak berhenti mengalir.

Ya Tuhan, sampai kapan hukuman ini akan berlangsung. Baru saja aku mendapatkan kekuatan untuk kembali bangkit, kini aku harus menerima perlakuan seperti ini kembali. Sampai kapan?

Aku menjerit di dalam hati. Mereka tak mengerti keadaanku. Mereka tak paham. Andai bisa kuteriakkan bahwa aku hanyalah korban di sini.

Deringan ponsel tiba-tiba mengejutkanku. Kurogoh ke dalam tas dan  segera mengeluarkan benda pipih itu. Barangkali Sintya yang menelepon. Aku membutuhkannya sekarang.

Kutekan tombol berwarna hijau tanpa sempat melihat nama pemanggil yang tertera di layar.

“Halo, Sin,” ucapku sesenggukan setelah mendekatkan ponsel di telinga.

“Andira ....”

“Ibu ....”

****

AndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang