Kelulusan #2

9.6K 410 0
                                    

Andri dari ujung matanya mencoba mencuri pandang terhadap apa yang sedang Shania lakukan. Semenjak ketiga adiknya turun di sekolah masing-masing, gadis itu terdiam seribu bahasa. Dirinya pun enggan membuka percakapan lain.

"Kamu gapapa? Kok diem daritadi?" Pada akhirnya Andri nekat untuk melontarkan pertanyaan tersebut.

"Gapapa kok," balas Shania sembari melemparkan pandangannya keluar jendela. Melihati gedung-gedung tinggi di Bandung yang membuatnya merutuki memori yang terus berpendar di ingatan.

"Kalo lo capek biar gue aja yang nyetir, gantian," tawar Shania dan menoleh tersenyum simpul. Dalam sedetik mata Andri sempat mendapati bekas-bekas air mata yang mengering di pipi kanan gadis itu.

"Enggak, kan ini udah jadi tugasku lah." Seperti biasa, Andri bersikeras. Shania terkekeh pelan.

"Kalo mau ngomong, ngomong aja. Jangan ditahan." Shania menarik selembar tisu dari samping. Ia tahu gelagat Andri yang seperti menahan-nahan diri.

Sembari fokus untuk berbelok di tikungan, Andri mengetuk-ketukkan jari pada stir mobil. Berpikir ulang apakah pertanyaannya mungkin akan menyakiti Shania.

"Kita... sekarang mau ke resepsi pernikahan orang spesial, ya?"

"Haha special apaan sih." Shania menonjok lengan Andri pelan. "Udah gak kali. Dia bahagianya sama orang lain gak sama gue—"

"Kayanya baru kali ini nangisin orang segitunya,"

"Ini belum apa-apa kali, dibanding gue nangisin l—" Shania buru-buru menutup mulutnya. Hampir saja dirinya keceplosan. Untung saja, ditambah Andri sepertinya terlalu fokus untuk memarkirkan mobilnya kini.

"Terpuruk iya, tapi meratapi sebegitunya... gak ada di kamus hidup gue." Shania menjulurkan lidahnya dan membuka pintu untuk keluar.

Andri menggeleng pelan, mengambil topi kebanggaannya dari dashboard dan ikut keluar menemani Shania seperti janjinya kemarin. Terdengar suara langkah sepatu heels mendekat. Selepas Andri memasang topi di kepala, ia dibuat terpaku pada penampilan Shania siang itu.

Berdiri di hadapannya mengenakan gaun berwarna merah mawar dengan motif unik, dibalut rok batik senada dengan cita rasa khas butik milik sahabat Shania. Rambutnya pun tergulung diikat ke belakang dengan beberapa helai menjuntai ke samping. Gadis itu berdiri dengan tangan kiri memegangi dompet favoritnya—yang baru-baru ini Andri ketahui dari Shania bahwa itu adalah oleh-oleh dari tantenya, sedang berdiri menatap dirinya tersenyum.

"Gue pegang tangan lo ya?" ijin Shania masih dengan senyum yang menambah rasa manis di wajahnya.

Andri tergagap, ia tidak paham apa yang harus ia lakukan seperti yang Shania bicarakan.

"Udah gini aja gapapa." Shania merangkulkan lengan kanannya pada lengan kiri Andri. Mereka saling pandang sampai tak terasa wajah mereka dekat. Andri melihati wajah cantik Shania yang dibalut dengan make up sedemikian rupa, begitu pula Shania yang menatapi wajah tampan Andri dengan bola mata coklat mengenakan seragam dinas coklatnya lengkap dengan jas lengan panjangnya. Baru kali ini selama mereka bersama Shania melihat Andri mengenakannya.

"Siap?" tanya Andri memastikan. Andri paham dan tahu bahwa hal yang menanti di dalam Sasana Gedung nanti tidaklah mudah bagi Shania sendiri. Gadis itu menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

"Lo ngremehin gue?" Shania mencoba tersenyum meskipun kerapuhan dapat Andri baca dari sorot matanya.

***

"Buka dong bukaaa!" seru Apri saking penasarannya.

"Bentar bentar," Indah dengan cekatan membuka sebuah surat dengan segel yang tak begitu lekat. Ia perlahan mengamati ekspresi tiga sahabatnya yang dilanda rasa senang itu.

Jatuh Hati, Abdi Negara (Buku 1-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang