Permohonan Maaf pada Sang Perwira #9

5.6K 320 2
                                    

Mobil Toyota Fortuner hitam itu memasuki garasi parkir rumah. Berhasil keluar dari mobil, Shania berjalan gontai membuka pintu depan hingga muncul sosok laki-laki paruh baya berdiri menyimpulkan tangan di depan dada dengan tatapan garangnya di ruang tamu.

"Shania, duduk!" titah Pak Rudy, kalimat bicaranya memang biasa saja, tetapi nadanya menusuk. Khas seorang perwira militer.

"Boleh gak, pah, besok aja ya? Shania capek banget, ngantuk—"

"Gak, duduk." Singkat, padat, dan jelas. Sial, kalau sudah begini Shania harus menuruti. Ia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul setengah tiga pagi, ditambah dirinya harus ikut kelas nanti jam delapan pagi. Arghhh.

Dengan lemah lunglai, Shania ikut duduk berdampingan dengan ayahnya. Tak lama Andri muncul dengan ekspresi terkejutnya. Pak Rudy terlihat garang kala itu. Pun baru Andri lihati beliau yang seperti itu.

"Pak, saya izin untuk ke belakang." Pak Rudy mengangguk mengiyakan, namun enggan melepas pandangan dari anak gadisnya di samping.

Bola mata Shania bergerak mengikuti langkah Andri yang semakin menghilang disana. Hari apa ini astaga, Shania seolah dibombardir oleh hal-hal yang tidak ia inginkan.

"Dari mana kamu? Tau jam gak?" Pak Rudy memulai pembicaraan dengan nada ketus. Ia duduk dengan keadaan kedua tangan lurus mengepal diatas lutut.

"I-iya pah, maaf. Shania ada acara—"

"Jawab pertanyaannya!" Shania ketakutan, bentakan kecil itu membuat Shania ingin menangis saja.

"Dari kampus, jam setengah tiga."

"Setengah tiga apa?"

"Pagi."

Pak Rudy menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Mau bagaimana lagi, dari keempat anaknya, hanyalah Shania yang terlampau badung. Ferdi yang kelakuannya seperti itu saja jarang atau bahkan tidak pernah melakukan kecerobohan seperti ini. Selalu disiplin.

"Kenapa pulang telat?"

"Ada acara kampus, buat penilaian ujian. Hape Shania mati, dan acaranya padet banget jadi... gak sempet kasih kabar," ucap Shania menunduk lemah. Kalimat bicaranya terdengar seperti hanya menggumam.

"Kamu tau gak kalo Andri bingung nyari kamu. Dia ngubek-ubek rumah temen kamu, hampir sampe luar kota. Temen yang satu bilang ada di café ini, temen yang satu bilang yang ke kos ini, temen yang satu ada yang bilang di kampus, tapi pas di kampus gak ada. Dimana kamu tadi? Gak kasihan sama Andri? Dari pagi, pamitnya mau pulang jam delapan jam sembilan ke kos nya Melati. Ditungguin dicariin gak ada kabar. Kalo ada apa-apa sama kamu gimana? Walaupun Andri anak asuh papa, dia punya tanggung jawab besar. Kalo kamu gak bisa hargain dia seperti sesama keluarga, setidaknya hargai dia seperti manusia."

Kata demi kata hingga menjadi kalimat menyakitkan itu membuat Shania tidak bisa lagi menahan tangisnya. Memang dirinya bersalah, tetapi ucapan yang menjadi evaluasi untuk dirinya itu terasa pedih. Apalagi setelah sekian lama ayahnya tidak berbicara dengan nada seperti itu. Ditambah dengan keadaan Pak Rudy yang baru pulang dan belum mengganti seragam dinas upacaranya, oh ini masalah besar.

"Papa gak mau kejadian seperti ini terulang lagi. Untung saja ketemu sama Andri tadi. Kalo gak, mau pulang sama siapa kamu? Gak bisa bayangin perasaan papa pas kamu pulang tapi tinggal nama, hmm?"

Shania mengangguk lemah dan menutupi mulut dengan telapak tangannya. Berusaha menahan tangis disana.

"Maaf, pa," balas Shania dengan nada ucapan yang bergetar.

"Ya sudah. Yang terpenting besok kamu minta maaf sama Andri. Mandi, makan, istirahat tidur. Di keluarga ini menjunjung tinggi kedisiplinan."

Tanpa menunggu ucapan lain, Shania melangkahkan kaki pergi dengan cepat. Menaiki tangga dengan pandangan mengabur karena air mata hangat berada di pelupuk. Ah Shania, jangan lemah. Tapi bagaimana pun ini tetap salahnya.

Jatuh Hati, Abdi Negara (Buku 1-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang