Taman Atap Rumah #7

6.8K 367 0
                                    

Shania menuruni tangga sembari celingukan mencari sosoknya, namun sejak tadi sore batang hidung laki-laki itu tidak nampak juga.

"Shania, cari siapa?" celetuk Pak Rudy yang ternyata sedang duduk di ruang keluarga sembari membaca sebuah buku dengan sampul oranye. Matanya juga menangkap sosok Ferdi sedang bermain bersama Ricky dan Ribka. Tumben dua tuyul kembar itu belum tidur.

Tak lama hingga sebuah pintu terbuka terdengar dari kamar di depan ruang keluarga yang semenjak kedatangan Andri, kamar itu berubah menjadi kamarnya. Akhirnya yang Shania cari muncul juga.

Terlihat sebuah handuk kecil melingkar di leher Andri. Rambutnya juga basah oleh air.

"Ehm—anu," Shania mendadak lupa dengan namanya meskipun Andri telah menghuni rumah itu sejak beberapa hari lalu.

"Ya?" balas Andri mendongak. Ia tahu bahwa dirinya dipanggil oleh Shania.

"Boleh minta tolong?" tanya Shania sok anggun.

"Boleh." Andri membuka kembali pintu kamarnya dan dengan cepat membuang handuk yang melingkar di lehernya ke sembarang arah.

"Gue... laper, minta tolong beliin nasi goreng depan kompleks. Pedesnya cabe satu aja. Jangan terlalu asin. Bilang aja pesenan gue, mamang nya pasti tahu bakal gue bayar pas ketemu besok," titah Shania yang langsung diiyakan oleh Andri. Laki-laki itu segera bergegas tanpa perlu bertanya lagi.

Shania menoleh pada ayahnya yang sedang menggelengkan kepala. Well, setidaknya Shania meminta dengan sopan tadi, bukan?

Dengan langkah cepat, Shania berlari kecil dan menghampiri Pak Rudy yang terduduk di sofa. Ia memperhatikan wajah paruh baya dengan kumis tebal itu yang sedang fokus membaca tulisan sebuah buku.

"Kenapa gak nyuruh yang lain saja tadi Bi Ningsih atau Bi Tin?" tanya Pak Rudy tanpa menoleh pada anak gadisnya tersebut, "Sekarang kamu mau minta apa lagi?"

"Mau minta duit tuh, pah. Foya-foya," ucap Ferdi yang langsung dibalas tatapan tajam oleh Shania. Ia memiliki waktu lima belas menit sebelum laki-laki bernama Andri itu kembali.

"Diem lo," tegas Shania mendelik tajam. "Pah, Shania mau ngomong."

"Ngomong apa? Mau bayar uang semesteran?"

"Bukaaann ih. Papah kenapa sih bawa-bawa si Andri itu kesini? Ngapaiinnnn?"

"Enak kan, ada tambah satu anggota lagi di keluarga. Ada yang jagain kalian kalau-kalau papa keluar kota besok."

"Hah, papa jadi keluar kota? Yah, gak gitu dong."

"Namanya juga tugas negara."

"Kalo sekedar jagain mah, Pak Sobri sama Bi Ningsih sama Bi Tin juga bisa," balas Shania menyebutkan supir keluarganya dan dua asisten rumah tangganya.

"Mereka kan sudah usia—"

"Baru juga tiga puluh empat puluh, pah," potong Shania. Pak Rudy tahu kini, semenjak kejadian putusnya hubungan dengan Hasyim itu Shania lebih sering mood swing, dan sering bete tanpa alasan. Memang ya, cinta membutakan segalanya.

"Tapi kan Mas Andri bisa melakukan lebih dari mereka, kak. Gue juga seneng kok, ada temen nge-game bareng," sahut Ferdi yang masih mengajari Ricky dan Ribka permainan bongkar pasang di atas meja kaca. Memang, laki-laki itu masih SMA, namun harus Shania akui bahwa pemikirannya seperti orang dewasa. Pun adiknya itu pintar selalu mendapat ranking lima besar. Tidak seperti dirinya dulu yang badung.

"Emang lo udah nge-game bareng sama dia?"

"Belom lah, tapi pasti bakalan gue ajak hehe."

Shania menarik nafas, menahan rasa sebal untuk tidak melempar vas bunga ke arah adiknya yang rese tersebut.

Jatuh Hati, Abdi Negara (Buku 1-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang