"Shan, aku takut nih," celetuk Hasyim memutus keheningan.
"Takut kenapa?" seru Shania tidak ingin suaranya kalah dari hembusan angin.
"Kalo aku nganterin balik kamu sampe malem gini, aku ditembak mati papah kamu gak?"
Shania spontan tertawa. Entah apa maksud Hasyim bertanya seperti itu, tapi dari nadanya, laki-laki itu serius. Toh selama dua tahun mereka bersama, Hasyim tidak pernah terlambat lebih dari jam enam sore untuk mengantar Shania pulang. Ditambah kini sudah pukul delapan malam. Sangat sangat terlambat. Di sisi lain juga Hasyim paham bahwa ayah Shania itu sangat disiplin.
"Gak kok, papah gak punya senapan di rumah. Gak tau deh kalo ternyata nyembunyiin di atap." Bukannya berusaha menenangkan, tetapi Shania menakut-nakutinya.
"Haduh, jangan deh."
"Loh kenapa? Takut?"
"Aku kan pengen dampingin kamu di resepsi pernikahan."
"Hah? Pernikahan siapa?"
"Kita lah. Siapa lagi."
"Males, gombal. Fakboy tau gak."
Deru motor Hasyim terdengar keras tatkala memasuki perumahan Shania. Walaupun masih pukul setengah sembilan malam, tetapi perumahan tersebut serasa sepi seolah tidak ada penghuni. Shania hapal beberapa tetangganya telah terlelap karena lelahnya hari.
Hasyim meminggirkan motor dan berhenti pada sebuah rumah yang tidak kalah besar dari rumah-rumah disana dengan pagar putih di depannya.
"Hacim masuk, yuk?" ucap Shania turun dari motor.
"Kali ini gak deh, udah malem takut ganggu. Titip salam ya buat papah sama adik kamu," balas Hasyim mematikan mesin motor dan melepas helmnya. Shania mengangguk. Di dalam hati Shania memuji, Hasyim adalah laki-laki sopan dan pengertian yang ia kenal.
"Sip deh." Shania tersenyum. Namun Shania tahu, dan selalu tahu, ketika seseorang merasa seperti ingin mengatakan sesuatu namun ragu. Ia menatapi raut wajah Hasyim yang tidak menentu.
"Kenapa? Ngomong aja gapapa. Aku gak bakal gigit kok."
"Aku serius."
"Serius tentang apa?"
"Yang tadi."
"Haaa???" Shania mentautkan kedua alisnya berpikir. Hasyim memang sedang tidak main-main, sorot matanya melihati Shania tajam.
Sedetik, dua detik, Shania tidak memahami apa yang Hasyim maksudkan, hingga akhirnya Shania dibuat terdiam membalas sorot mata Hasyim disana.
"A-aku gak tau mau ngomong apa."
"Shan, kita... udah dua tahun bareng. Kemana-mana bareng, tiap hari ketemu papah dan adik-adik kamu, dimana ada aku pasti ada kamu sampe temen-temenku bilang gitu—"
"Oh... mereka bosen? Gitu maksudnya?" Hasyim tertawa. Ia meraih kedua tangan Shania dan mengelusnya lembut. Ia melihati tangan itu, menggenggamnya erat karena ia tahu LDR bukanlah hal yang mudah. Hasyim mencoba merasakan momen yang ada.
"Enggak, maksudnya kan kamu gak aneh, gak macem-macem kaya Puput pacarnya Fajar."
"Terus?"
Hasyim menarik nafas dan berdiri, membuat Shania harus sedikit mendongak karena tinggi tubuhnya beberapa senti lebih dari Shania.
"Klise sih, tapi aku mau ngomong kalo... aku... sayang. Aku mohon, bagaimana pun beratnya dunia nanti, seberapa sulitnya mempertahankan kita nanti, seberapa beratnya kita harus saling sabar karena jarak nantinya, aku ingin kamu berjanji jangan lepasin aku, ya?" ucap Hasyim sembari memainkan rambut Shania yang berjatuhan di atas dahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Abdi Negara (Buku 1-3)
RomanceShania Alena Natasia--telah menjalani hubungan yang indah sebelum akhirnya bertemu Andri, sang abdi negara yang menjadi anak asuh ayahnya yang notabene seorang Jenderal sekaligus mengemban tugas menjadi ajudan baginya. Shania yang mencoba melupakan...