LDR #4

6.8K 315 5
                                    

Ceklek! Sedetik setelah Shania membuka pintu depan rumahnya, telah terpampang wajah tampan itu dengan senyuman sehangat matahari. Shania ikut tersenyum memperhatikan penampilan Hasyim dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Ganteng banget, pak? Mau kemane?"

"Mau bahagiain orang yang disayang," goda Hasyim yang membuat Ferdi bergidik ngeri.

"Kalian ini udah mau mahasiswa gombalannya duh duh." Hasyim tertawa mendengarnya.

"Sekarang?" tanya Hasyim dan dijawab dengan anggukan oleh Shania.

"Fer, ikut gak?" tawar Hasyim yang dibalas senggolan sikut oleh Shania, karena ia tahu kalau adiknya diberi pertanyaan seperti itu pasti jawabannya adalah 'ya'.

"Gak ah, mau di rumah aja. Mau ngejar passion."

Tumben nolak, batin Shania.

"Idih anak SMA baru masuk udah sok-sok tau passion. Apaan emang passion lo?" nyinyir Shania.

"Rebahan." Ferdi mengacungkan jempolnya. Sebelum Shania menimpuk adiknya itu dengan sepatu yang ia pakai, Hasyim dengan cekatan menarik Shania dari sana. Memang kelakuan kakak-adik tidak ada yang benar semua.

"Udah belajar buat ujian nasional besok?" tanya Hasyim berbasa-basi.

"Kagak lah, orang kamu ngajak aku nge-mall gini." Shania menarik lengan kanan Hasyim dan merangkulkan tangan padanya.

"Cakep, kamu mah pinter. Gak usah belajar nilai bagus," ucap Hasyim sembari melirik tempat mana yang harus mereka kunjungi seharian ini.

"Enak aja. Sepinter-pinternya orang, kalo gak belajar pas ngerjain lupa juga pada akhirnya dong."

Sepanjang perjalanan menyusuri lorong-lorong mall, Shania bergelayut manja pada lengan Hasyim. Laki-laki itu terlihat amat sangat tampan dengan balutan jaket denim dan celana hitam dan sepatu senada.

"Emang kamu pernah pas ngerjain lupa?" Shania mengangguk.

"Main itu mau gak?" tunjuk Hasyim pada sebuah pusat game station di mall. Shania sempat melirik pada Hasyim dan menunjukkan raut berpikir. Tidak biasanya Shania bermain seperti ini, hanya sekali dua kali itu pun menemani Ricky dan Ribka saja. Tapi apa salahnya mencoba bukan?

"Boleh."

Tanpa basa-basi lagi, Hasyim menarik lengan itu. Shania dibuat takjub dengan layar di depannya yang menyala secara otomatis tatkala mereka memasukinya. Ia memperhatikan Hasyim yang sedang mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya.

"Loh, kamu udah isi saldonya?"

"Udah, dapat gratisan dari voucher belanja emak." Mereka tertawa.

Tak butuh waktu lama, Hasyim ikut duduk di samping Shania, memegang alat kendali yang sama seperti yang sedang dirinya pegang kini. Layar di depannya menampilkan sebuah arena pertempuran pesawat terbang.

"Aku gak tau mainnya gimana," ucap Shania pada detik awal pertempuran dimulai.

"Tembak aja semua yang di depan. Pencet yang merah sama yang biru. Terus stir nya diputer kalo mau belok. Gampang lah," jelas Hasyim masih fokus pada permainan.

"Eh eh awas tuh awas kanan kanan eh kiri."

Daarrr! Karakter pemain yang Shania pegang dikalahkan. Hanya tersisa karakter milik Hasyim. Shania memajukan bibirnya merasa badmood.

"Yah, kok mati sih?"

"Kamu bilang tadi kanan, kan musuhnya di kiri."

"Y-ya maap, otak ku blank kanan sama kiri gabisa bedain tadi." Hasyim menoleh menampilkan wajah memelas. Bukannya rasa sebal namun gemas yang Shania dapatkan. Ia terkekeh.

Jatuh Hati, Abdi Negara (Buku 1-3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang