Setelah pulang dari rumah sakit, seperti biasanya ana menjalani hari hari nya dengan ceria. Mungkin mulai sekarang ia harus terlihat ceria dan tegar agar penyakit nya tidak di ketahui siapa pun dan bisa menyusahkan mereka. Ana tidak suka menyusahkan orang lain hanya karena dirinya nya hanya butiran debu.
Ana berjalan dengan santai di Koridor sambil di temani dengan lagu yang pas dengan perasaan ana saat ini. Saat berbelok ana menubruk sesuatu. Yang membuat jidatnya ngilu. Saat mendongak betapa terkejut nya ana dan reflek mundur.
Albar melihat ana dengan tajam.
"Apa lo liat liat! Mau mata lo gue colok?!" Itu bukan Albar melainkan fadjar yang bicara demikian.
Ana meneguk salivanya susah payah dengan senyum canggung ana mengucapkan maaf lalu pergi meninggalkan mereka. Ana tidak mau berurusan dengan mereka. Ana ingin hidup tenang.
Saat ana tengah sampai dan melihat Safira dan Salma tengah mengobrol ria. Ana tersenyum cerah lalu menyapa mereka.
"Hai"
Safira dan Salma menoleh lalu mereka memeluk ana layaknya seperti sahabat. Hah? Sahabat? Kalo ana sama Salma emang sahabat, kalo Safira?
Mereka melepaskan pelukan nya.
"Oh ya, ana. Sekarang Safira jadi sahabat kita, ana!" Ucap Salma antusias. Tunggu? Kemana sikap tomboy nya Salma? Ah sudahlah bagus juga kalo Salma tidak tomboy lagi.
Ana tersenyum bahagia, ana tidak menyangka bisa bersahabat dengan gadis yang di segani. Tetapi ana tidak memandang dari segi ke famousannya Safira tetapi lebih ke ketulusan Safira.
Mereka berpelukan sebagai peresmian persahabatan mereka.
"Mulai sekarang kita sahabat." Ucap salma.
"Kita sahabat." Safira tersenyum.
"Sahabat." Ana mengeratkan pelukannya.
Mereka tengah menikmati pelukan persahabatan itu namun acara itu terhenti.
"Heh! Fir? Ngapain peluk peluk sama orang gak jelas kek si ana!" Ketus Albar.
Mereka saling melepas pelukan. Safira menatap Albar tidak suka begitupun dengan salma, namun ana tidak. Ana hanya bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa apa.
"Ana?!" Panggil Albar.
Ana mendongak, "ya?" Jawab ana.
Albar menatap ana penuh benci lalu menarik tangan ana secara paksa membuat ana sedikit meringis, karena luka kemarin belum kering. Saat ditengah koridor yang sangat ramai, Albar melepaskan cekalan pada tangan ana. Lalu mendorong ana hingga terjatuh.
Ana yang di perlakuan demikian tidak banyak berontak, ana lebih memilih diam. Albar dengan santai nya menunjuk nunjuk serta mendorong jidat ana dengan telunjuknya membuat ana hampir terjungkal.
"Heh! Cewe sialan! Murahan! Ini balesan gue karena kemarin lo udah berani nolak gue!" Albar mencengkram dagu ana kuat. Ana menutup mata saat Albar membentak nya. Dihempaskan nya dagu ana hingga sedikit lagi saja kepala ana akan putus.
Albar mendecih karena usahanya mempermalukan ana tidak berbuat hasil. Albar menjambak rambut ana kuat membuat ana membuka mata dan mata itu, mata penuh luka penuh derita penuh penyesalan penuh kekerasan itu dapat Albar tangkap saat mata mereka saling bertemu.
"Ana?" Panggil Albar lembut.
Ana tersenyum, sungguh ana sangat cantik dan manis.
"Udah?" Tanya ana.
Albar melepas cengkraman pada ana lalu menatap ana.
Ana menatap Albar. Dan sekali lagi ana tersenyum lalu bangkit.
"Terima kasih." Ucap ana lalu meninggal koridor yang tengah ramai menonton adegan Albar dan ana.
"Shit!" Umpat albar lalu meninggal kan koridor dengan gerutuan tak jelas.
***
Hembusan angin menerpa wajah manis ana membuat beberapa helai rambut ana tertebak angin. Ana menyipitkan mata memandang bangunan bertingkat di tengah kota yang sangat ramai ini. Yah saat ini ana berada di rooftop sekolah. Ana memegang kepalanya dan sesekali menjambak rambutnya. Ana menghembus kan napas nya dan menghirup udara lebih banyak. Ana mendongakkan kepala nya ke atas dan melihat ke langit. Seakan langit mendukung dengan perasaan ana saat ini, langit yang tadi nya cerah menjadi mendung.
Ana memejamkan matanya mengingat masa kecil nya.
Flashback on
Seorang gadis kecil berambut lurus sepinggang tengah memainkan boneka kesayangan nya.
"Tasyaaaa" Rengek seorang laki-laki berumur 6 tahun.
Gadis kecil itu yang bernama tasya menghentikan main nya lalu menatap anak laki laki di depan nya dengan cemberut.
"Kamu kenapa vanoo,ganggu tasya main boneka ihhh." Omel tasya kecil.
"Simpen dulu bonekanya tasya, vano mau tasya denger ini baik baik." Cowo itu menarik tasya untuk lebih mendekat.
Dengan wajah judes tasya menatap cowo itu dengan kesal.
"Vano mau kamu jaga ini, tasya!" Cowo itu memberikan sebuah kotak.
Tasya terheran lalu membuka kotak tersebut, "ini buku diary?" Cowo itu mengangguk.
"Tasya boleh curahin isi hati tasya ke dalam buku diary itu, anggap saja itu adalah vano. Vano yang selalu menemani tasya baik dalam suka maupun duka."
"Tapi van, Vano kan selalu ada buat tasya. Ngapain tasya harus nulis di sini."
Vano kecil menggenggam tangan tasya.
"Karena Vano nya tasya gak bisa deket lagi. Soalnya Vano bakal ninggalin kampung ini."
Tasya mendongak dan cemberut.
"Tasya gak mau Vano ninggalin tasya!" Tolak tasya.
"Maaf tasya, tapi Vano harus pergi. Suatu saat Vano besar bakal cari tasya. Kita sama sama lagi." Vano memeluk tasya dan di balas oleh tasya.
Pipi tasya sudah mengembung dan hidung nya memerah menandakan tasya sebentar lagi akan menangis.
"Promise?" Tasya memberikan jari kelingking.
Vano tersenyum, "promise!" Vano menautkan jari kelingking nya.
Flashback off
Ana menghembus kan napasnya lalu membuka buku diary yang selalu menemaninya sejak kecil. Ana selalu menulis setiap hari di dalam buku diary itu. Semua tulisan dan kata kata nya sangat rapih.
Ana memeluk buku diary itu sembari merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Sesekali ana membuka mata lalu menutup kembali.
Pelukan dari belakang membuat ana nyaman dan merasa aman. Ana membalas pelukan salma dan Safira.
"Gue sama fira nyari in lo tau gak sih na, kita khawatir!" Ucap salma.
Safira mengangguk dalam pelukan ana.
"Iya, apalgi tadi kan lo di tarik sama Albar dan di perlakuan kasar gitu." Ucap Safira.
Ana tersenyum dan menggelang, "Gapapa" Jawab ana.
Safira menatap ke arah buku diary yang di pegang ana.
"Ana? Itu buku apa? Ko lucu, pinjem boleh? aku pengen liat." Ana memegang lalu menyembunyikan buku itu di belakang nya dan menggelang cepat.
Salma yang mengetahui jika buku diary ana tidak boleh ada yang baca kecuali hanya ana seorang langsung menarik Safira.
"Fir, lo jangan gitu napa! Itu privasi ana!" Bisik salma.
Safira menutup mulut lalu mengangguk dan meminta maaf.
"Ana, maafin fira yah."ucap Safira membuat ana tersenyum cerah.
.
.
.
TBC❤Huhuhu im comeback
Gimana lanjut gak sih?
Wkwkw maapin feel nya gk dapet.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELAT GIBRALTAR
أدب المراهقينPRIVAT SECARA ACAK. FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠ Sifat pendiamnya yang menjadi bahan bullyan laki-laki dengan kekonyolan. Perjuangannya untuk membuat sahabat kecilnya kembali, tanpa berbicara. Misinya semenjak menginjakkan kaki di sebuah sekolah terelit...