Bintang di Hati. 2

145 14 8
                                    

Gue dan bang Dobby memutuskan untuk menginap di rumah Jeongwoo karena gak ada orang katanya. Minta ditemenin. Dasar cupu.

Mamanya Jeongwoo ikut Papanya ke daerah Manado untuk dinas beberapa hari disana, membuat gue dan bang Dobby jadi baby sitter nya dia disini. Mending gue nyuci dirumah. Tapi engga deh. Gue gak sejahat itu.

Harusnya sih Junghwan juga ada. Tapi dia udah dijemput Papanya tadi sore. Junghwan tiap pulang sekolah main ke sini, sekedar meramaikan katanya. Padahal tanpa Junghwan dateng juga udah ada Jeongwoo sama bang Dobby yang mulutnya berisik kaya sirine damkar.

Gue, bang Dobby dan Jeongwoo libur seminggu karena kakak kelas 12 sedang sibuk Ujian Nasional. Kerjaan kita bertiga setiap hari di rumah Jeongwoo ya makan, tidur, main PS, ngomongin orang, eh yang terakhir gue dengerin doang ya. Ngapain ngomongin orang. Kerajinan amat.

Jam menunjukan pukul 7 malam, hari Selasa. Kita bertiga sedang bermain uno card dengan gue yang sisa 3 kartu. Wild card +4 ada dua buah dan wild card biasa satu kartu. Kenapa hoki selalu datang ke Haruto ya allah. Bingung, kok jadi orang menang mulu. Capek.

Gue mengeluarkan dua kartu wild card +4 gue,

"Uno."

"FAK! GITU LO YA HARU SAMA GUE!"

"Ya maap Woo. Gak sengaja."

"Ah anjir. Mo warna apaan luh!"

"Warna biru."

"Great. Banyak nih kebetulan."

Permainan berlanjut lagi dan ketika giliran gue, bang Dobby menaruh kartu merah bernomor 4. Sejenak gue diam,

"Dah lah. Gue tau lo gak ada warna merah kan Haru."

"Ha ha. Ambil. Cangkul. Ambil."

"Mon maap. Uno game," kata gue dengan santainya mengeluarkan wild card terakhir gue.

"ANJIR!"

"GAK TERIMA GUE YAK! 3 KALI MAEN 3 KALI JUGA LO MENANG ANYING! MAEN LAGI!"

Gue hanya cekikikan ngeliat mereka terbakar emosi. Ya gue juga emosi. Gue kan mau nyoba kalah. Malah menang mulu.

"Udahan lah maennya. Laper gue."

"Iya, Woo. Gue juga laper. Yuk Haru kedepan."

"HEH! GUE BELOM MENANG YAK!"

"Yaudah nanti lanjut lagi, Jeongwoo. Kita makan dulu."

"Awas lo kalo menang lagi nanti ya!"

Gue cengengesan aja ngebales perkataan dengkinya Jeongwoo.

"Kita mau makan apa genks?"

"Gue mau pecel lele depan komplek dong, bang Dobby!"

"Yaudah. Gue samain."

"Yaelah nyama-nyamain gue mulu lo!"

"Yaudah bang. Gue pecel bebek deh. Biar gak SAMA."

"Yiidih bing. Gii picil bibik dih. Biir gik SIMI."

Agh GUE BENCI PARK JEONGWOO. Gue mencekik pelan -bahkan gak berasa kali- leher Jeongwoo dari belakang. Perasaan gue juga sebel sama bang Aiur. Kenapa adeknya lebih nyebelin dari abangnya?!

"WOI IYA UDAH AHAHAHAHA. Iya udah jangan berantem di jalan gini ah malu lo bedua dah gede."

Sampailah kita bertiga di seberang pecel yang tadi Jeongwoo maksud. Waktu hendak menyeberang gue melihat dia. Dia yang tempo hari jadi korban bully, sedang duduk disebuah ayunan di taman komplek Jeongwoo. Ngapain jam segini malem-malem sendirian main di taman? Benak gue dipenuhi seribu pertanyaan hanya dengan melihatnya. Dia terlalu misterius.

The Treasure.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang