Terpikat. 1

139 7 5
                                    

Tumben banget pagi ini Junghwan sampe kelas 1 menit sebelum bel masuk berbunyi. Nyaris banget.

"Kesiangan ya Wan?"

"Iya Seob. Untung gak macet."

"Ya lo mah macet juga santai. Kan bareng Bapak lo."

Junghwan hanya memberi Jongseob senyuman, berharap Jongseob paham maksud Junghwan.

Junghwan terbiasa dari kecil membahasakan diri sebagai Junghwan. Bukan saya, aku, atau gue begitu juga memanggil lawan bicara. Bukan anda, kamu, atau lo. Gak tau kenapa, kayanya gak enak aja.

"Wan, ada latihan dance sore nanti," Siyun yang duduk di depan menghadapkan badannya ke arah Junghwan.

Junghwan bingung. Kayaknya hari ini gak ada jadwal latihan, kenapa tiba-tiba?

"Bang Aiur yang latih," Siyun melanjutkan kata-katanya.

Loh kok Junghwan gak dikasih tau? Bukannya terakhir di whatsapp group Bang Aiur bilang masih minggu depan dia pulang?

"Udah gak usah kebanyakan bingung. Dateng ya."

"Iya Yun. Junghwan dateng."

Semester 1 sudah hampir selesai, tapi masa penjajakan sebagai siswa baru masih belum terbiasa. Susah banget adaptasi jadi siswa SMA ya? Mungkin Junghwan masih bisa dengan diri Junghwan yang begini waktu SMP. Tapi kedengeran aneh banget waktu Junghwan menduduki bangku SMA.

Di SMP, banyak yang memaklumi atau mungkin juga banyak yang memakai namanya untuk membahasakan diri mereka. Di SMA, terlalu banyak yang menggunakan lo-gue sebagai bahasa sehari-hari. Memang, Junghwan sudah terbiasa mendengar semuanya dari abang-abangnya Junghwan. Abang Treasure maksudnya. Junghwan mana punya abang yang kandung. Tapi kenapa bahasa lo-gue ini masih sangat sulit untuk Junghwan terapin di hidup Junghwan, ya?

Di tengah sibuknya Junghwan mencatat untuk pelajaran Geografi, tangan Junghwan tiba-tiba saja berkeringat membuat pulpen yang Junghwan pakai terpental. Untung saja jatuhnya disamping meja jadi gak jauh-jauh banget.

Belum sempat Junghwan menunduk, ada sebuah tangan yang mengambil pulpen itu, berdiri dan memberinya lagi ke meja.

"Ada apa Awan?"

"Saya izin ke toilet ya, Bu?"

"Boleh. Silahkan."

Sebelum pergi keluar kelas, dia melihat ke arah Junghwan lagi sambil tersenyum. Jadi mikir, apa menjatuhkan pulpen juga termasuk hal memalukan? Ah istirahat nanti Junghwan harus bilang makasih sama Awan.

---

Bel istirahat sudah berbunyi 5 menit yang lalu, dan Junghwan sudah dikantin, tengah menyantap bekal nasi goreng buatan Ibu di meja kantin bareng Bang Dobby, Bang Jeongwoo, Bang Haru, dan ya pasukan baru kayanya, Kak Bintang dan Kak Kiran. Meja kantin sekolah ini emang lumayan luas buat makan rame-rame jadi cukup buat nampung kita yang kalo makan seperti makan besar RT. Banyak banget gitu pasukannya.

"Eum. Wan, nanti jangan langsung pulang ya. Bang Aiur mau dateng," kata Bang Dobby seusai minum es tehnya.

"HAH? ABANG GUE MAU KE SEKOLAH? NGAPAIN?"

"Ya kan alumni Woo. Lo gitu banget sih sama Abang lo sendiri?"

"Bukan maksudnya tuh, abang gue mau ke sekolah? Berarti dia sekarang di rumah dong? Anjiiiir ngapain sih dia pulang?"

"Banyak-banyak istighfar lo Woo. Sedeng deh jadi anak hahahaha."

"Tau ya Kir. Parah emang lo Woo."

"Iya. Emang. Bela aja dah sono. Emang disini yang tinggal pria punya selera cuma gue sama Junghwan. Sisanya anak-anak bulol kalo kata Bang Junkyu."

"Bulol apaan Bang?" Junghwan bertanya pada Bang Jeongwoo. Apaan sih bulol?

The Treasure.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang