#9. Bahagia Itu Sederhana

3.5K 482 49
                                    

-Agus-

💓💓💓

Kami menonton film komedi romantis. Aku penyuka action tapi aku nggak mau memaksakan diri karena Vio tak suka action. Minimal ada unsur komedinya dan aku tahu aktornya, jadilah.

Saat menunggu pintu teater dibuka, kami duduk di tempat yang disediakan. Lebih tepatnya Vio yang duduk dan aku berdiri di sampingnya. Tak ada kursi lagi.

Popcorn dan minuman juga sudah dibeli.

Kulihat sesekali Vio tampak melotot dan risih saat tampak ada beberapa pasangan mengumbar kemesraan mereka.

"Ternyata gitu ya?" gumam Vio.

"Kenapa?" tanyaku heran.

Vio menghela napas dalam. "Senang bisa berdua pacar tapi entah sih kok sekarang aku lihatnya aneh. Perhatian kan nggak harus diumbar begitu." jawabnya lirih.

"Kita pun pernah begitu."

Vio mengangguk.

Tak lama, pintu teater pun dibuka. Kami mengantre untuk masuk dan belum-belum, baru saja lampu dimatikan, tepat di depan kami ada adegan elus kepala dan cium kening.

"Apa itu?" gerutuku.

Bolehlah aku kemarin-kemarin dikatakan tukang baperin perempuan, playboy, apalah itu sebagai pelampiasan tak bisa mendekati Vio bahkan jauh sebelum bertemu lagi dengan Vio. Tapi aku masih tahu batasan. Demi Allah yang masih sering kutinggalkan, ini bukan bioskop ecek-ecek.

Kok hari ini sial sih? Padahal sudah bagus bisa pergi sama Vio.

Untungnya hanya sekali itu saja sehingga tak mengganggu pandangan mata. Hanya saja justru aku yang tak bisa konsentrasi. Perhatianku terpecah antara film di depan dan Vio di sampingku.

Sunnguh aku tak menyangka hari ini tiba juga aku bisa dekat dengannya. Vio yang katanya jatuh miskin, bangkrut sebangkrut-bangkrutnya tak tampak sekali.

Hari-hari biasa, ia berusaha berpenampilan biasa, sama seperti orang-orang di lingkungan barunya tapi aura orang berada tetap terasa. Dan hari ini tampak sekali. Seperti saat ke Bonbin tempo hari.

Bagaimanapun Vio dulunya orang berada. Harga bajunya seharga gaji honorer atau lebih. Sehingga saat ada kesempatan seperti ini, orang akan mengira nominal ATMnya seharga mobil keluarga. Padahal tak ada apapun yang menonjol. Sangat effortless. Tapi itulah dia.

"Lihat, bayar!" desis Vio sambil memalingkan wajahku dengan telunjuknya tanpa menatapku sama sekali.

Aku tentu saja kaget saat mengetahui bahwa ia menyadari perbuatanku. Aku hanya mampu tersenyum dikulum.

"Siap, Ibu," bisikku.

Usai nonton, kami makan siang dulu. Saat keluar bioskop, aku tak lagi menggandeng tangannya. Alasan pertama adalah dia sudah tidak melamun lagi dan alasan kedua, aku ingin membuatnya nyaman. Lagipula kalau aku menggandengnya tanpa ada ikatan pasti dan ketahuan Rashad, pasti kena marah.

Harusnya aku takut pada Tuhanku bukan Rashad. Imanku memang masih setipis itu.

"Makasih ya, Vi, sudah mau keluar sama saya hari ini?" ucapku saat kami menunggu pesanan.

Vio mengangguk. "Hem. Makasih juga sudah ngajakin aku nge-mall lagi. Ditraktir pula."

"Anything for you, Vi."

Vio menggeleng. "Don't. Orang tua terutama Ibumu lah yang harus kamu harus utamakan."

Aku tersenyum. "Saya nggak salah pilih."

Agustus CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang