#17 Sebuah Pengakuan

2.6K 437 59
                                    

-Agus-

💗💗💗

Kesibukan sepulang dari cuti tak ada waktu bagiku untuk urusan pribadi. Dan setelah longgar, Rashad yang sedang menginap di rumah Komandan langsung memanggilku dan tanpa basa-basi menyuruhku push up dan berdiri terbalik menempel dinding ruang tamu hingga Letkol Arman yang baru datang kaget.

Alamat dapat pencerahannya dobel! Sepertinya Rashad memang sengaja melakukannya di rumah Letkol. Eh, tapi masih mending daripada dihukum di rumah pribadinya. Hukumannya bisa ditanggung, malunya yang tak tertahankan.

Mungkin setelah dirasa cukup entah setelah berapa lama, Rashad menyuruhku berhenti. Di ruang tamu dia tak sendirian. Ada Komandan juga yang menatapku dengan pandangan tak terbaca.

"Setelah dibalik, otakmu sudah seger? Sudah nggak geser lagi lan?" tanya Rashad datar.

"Siap, tidak." Enggak geser pala lu peyang? Tambah geser yang ada.

"Menghormati wanita itu salah satu sumpah kita. Jangan membuat malu saya," komentar Letkol Arman.

"Siap, salah!" sahutku. Mati sudah!

"Sudah tanya hatimu? Tanya yang mengecat cabe?" tanya Rashad kemudian.

Ya Allah, lindungi hamba-Mu, dua orang di depan ini ekspresinya tak terbaca.

"Siap, sudah," jawabku.

Saat Rashad hendak membuka mulut, Ibu Arman memberitahu bahwa Letkol mendapat telepon. Betapa leganya hatiku. Setidaknya yang harus aku hadapi cuma Rashad seorang. Ya walaupun dia dalam mode ingin menerkamku sih.

Rashad menghela napas dalam. "Sudah lo nggak usah tegang gitu. Walaupun sslinya pengen gue garuk."

"Siap, terima kasih." Alhamdulillah, lega rasanya.

"Gus, please deh, lurusin niatmu dulu. Yakin sudah lurus?"

Aku mengangguk mantap.

"Gus, laki-laki itu calon pemimpin dunia akhirat. Kamu nikahin seseorang itu urusannya nggak berhenti urusan duniawi. Semua hal, kamu yang bakalan menanggungnya. Kalau imamnya saja nggak becus, gimana makmumnya? Mau berandai-andai seperti Fir'aun dan Asiah? Ahli neraka dan surga?"

Ya salam, dosa gue emang sebanyak ini ya ketemu muka malaikat Mikail, tapi rasa malaikat Izrail?

"Perbaiki salatmu, in syaa Allah hidupmu juga akan diperbaiki Allah. Jangan terlalu dekat sama anak gadis orang. Kalau terlanjur nyaman sama kamu gimana?"

Iya ya? Vio beda. Vio bukan mereka-mereka yang selama ini  mendekatiku demi status kesenangan. Aatagfirullah ... ampuni hamba, Ya Allah.

Kuusap wajahku dengan kasar. Dan kesadaran itu rasanya semakin nyata kalau aku melepasnya, aku akan rugi.

"Ambil wudu terus kamu salat dulu gih. Baru kita lanjut ngobrol. Legakan hatimu dulu," saran Rashad.

Lalu aku diantar ke dalam untuk melaksanakan sarannya. Tak tampak Komandan. Yang ada hanya Ai yang tengah ngobrol dengan Mamanya menggunakan bahasa bayi.

Usai salat dua rakaat di mana untuk pertama kalinya aku sampai menangis dengan sendirinya, aku kembali ke ruang tamu. Di sana ada Frannie juga yang tengah memangku Ai.

"Diminum dulu, Om, tehnya. Biar lega."  Dengan ramah, istri Dantonku ini menyilahkan bahkan Ai dengan gigi kelincinya ikut menirukan.

"Siap, terima kasih," ucapku.

Aku pun meraih cangkir dan meminum teh hangat yang sudah disiapkan. Entah karena hatiku yang lega atau tehnya enak membuat dadaku merasa nyaman.

"Rencana Om Agus apa?" tanya Frannie.

Agustus CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang