#18 Berdamai Dan Melangkah Maju

2.5K 453 35
                                    

-Vio-

💗💗💗

Sudah satu bulan sejak kejadian aku pingsan dipelukan Mbak Frannie. Satu bulan pula terakhir kalinya aku bertemu dengan Agus. Selain dia sibuk juga karena aku meminta waktu untuk menenangkan diri. Tapi justru aku bertemu Mbak Frannie dan Rashad dua kali.

Rashad seperti sengaja menyempatkan diri menemuiku padahal kelihatan dia lelah. Dalam kesempatan itu juga dia berkali-kali meminta maaf padaku karena sudah membuatku tidak nyaman dan syok bahkan sampai pingsan.

Betul, aku pingsan bukan karena lamaran Agus melainkan kenyataan baru yang harus kuterima termasuk bahwa Rashad, salah satu teman lama yang paling tak ingin kutemui ternyata sedekat ini denganku selama ini.

Kenapa Rashad salah satu yang tak ingin kutemui, sebagai orang yang dulunya sombong sekali, Rashad termasuk salah satu yang kusegani karena tentu selain otaknya encer juga latar belakang keluarganya yang kuanggap setara denganku. Makanya, aku merasa malu sekali kalau bertemu dengannya dalam keadaan jatuh tersungkur.

Aku tahu Rashad itu baik meski tak pernah sekelas dan dia terkenal kalem di sekolah, tapi aku tak menyangka dia sebaik ini. Sampai sekarang. Patutlah Rania menyukainya. Sudah jadi rahasia umum di kalangan kami perempuan populer kelas atas sekolah bahwa Rania menyukai Rashad tapi berkedok sebagai sahabat hanya karena tak ingin dijauhi Rashad. Dan entah karena terlalu baik, tidak peka atau bodoh, Rashad percaya saja dengan Rania.

Sekarang aku sudah tenang dan menerima semuanya. Termasuk pernyataan Agus. Aku ingat betapa cemasnya dia hari itu sampai nyaris terlambat kembali ke batalyon untuk apel bujang. Tetapi mengingat itu semua, rasanya wajahku memanas dan perutku tergelitik.

Aku tidak mengerti kenapa dia masih bertahan menyukaiku? Apa bagusnya aku? Aku bahkan tak pernah menganggapnya ada. Dulu. Dan sekarang takut menganggapnya ada. Selain itu aku sedikit kesal dengan lelaki berseragam loreng. Ditinggal saat sedang jatuh. Memang oknum seharusnya yang ia benci.

"Agus masih sibuk?" tanya Mami ketika kami bersiap akan tidur.

"Eh, iya, Mi."

"Kalian bertengkar?" selidik Mami.

"Eh ... nggak kok, Mi."

"Lah tumben kamu nggak cerita-cerita dia lagi apa? Biasanya kan suka absenin kamu."

"Mami ih!" Anehnya hal itu membuatku tersipu.

Kening Mami berkerut. "Lah, tersipu? Kalian pacaran? Tapi perasaan Mami perhatikan kamu sebulan ini malah galau deh. Sini cerita Mami kenapa?"

Aku terdiam dan sedikit merasa bersalah. Sebulan terakhir ini ia tidak pernah bicara dari hati ke hati dengan Maminya. Hanya obrolan ringan biasa. Bahkan saat Agus mengantarku pulang hari itu pun aku sudah mewanti-wantinya agar tidak menceritakan apa pun kepada Mami kecuali bahwa aku pingsan karena capek.

Hari ini Mami bertanya, aku yakin pertanyaan yang bercokol di hatinya selama ini berusaha ditahannya. Betapa Mami terkejut mendengar setiap penuturanku tentang yang terjadi di hari itu.

"Sayang ... kenapa?" Mami meraihku ke dalam pelukannya. "Katamu sudah mengikhlaskan?"

Aku mengangguk. "Tapi belum sepenuhnya lupa."

"Kamu tahu, di Jakarta, Agus kembali meminta restu Mami dihadapan orang tuanya."

"Hah? Kapan? Kok bisa?" seruku terkejut hingga aku duduk tegak.

Mami tersenyum lembut. "Waktu kamu diajak beli sate padang sama adeknya Agus."

"Kok gitu? Agus ... Agus ... sudah melamarku langsung ke Mami?" Jantungku berdebar keras tak karuan. Rasanya nano-nano apalagi saat Mami bilang sebetulnya Rashad dan istrinya sudah pernah menemuinya beberapa kali. Aku seperti orang bodoh.

Agustus CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang