#13 Mempercayakan Hatimu

3.9K 480 24
                                    

-Agus-

💗💗💗

Akhirnya aku mengerti setelah mendengar kisah sepilu itu dari mulut Vio. Mengerti mengapa ia begitu inferior. Selain penyesalan atas sikap sombongnya dulu juga karena masalah keluarga yang sepelik itu. Vio berdiri sendirian menopang dirinya dan Maminya. Terbuang dari keluarga besar.

Dengan keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa Papinya tidak bersalah seharusnya keluarga besarnya memberikan uluran tangan bukannya memunggungi keduanya. Vio dan Maminya sudah habis-habisan menjual aset demi mengganti segala kerugian semua orang dan membayar pesangon para karyawan.

Yang paling kusesalkan adalah yang menimpa Aimee. Kenapa semua orang begitu mudahnya melakukan perundungan atau pembullyan atas sesuatu yang belum tentu benar. Sekarang Aimee telah tiada dengan status bahwa Papinya tidak bersalah. Kenapa dunia pendidikan bisa secarut marut ini?

Di satu sisi dengan mudahnya siswa melaporkan guru ke polisi padahal kesalahan terdapat pada siswa itu sendiri dan di sisi lain, masih ada sekolah yang berat sebelah dan menutup mata atas kesalahan siswa demi mempertahankan gengsi dan nama sekolah. Kalau kita tidak saling peduli, bagaimana jadinya masa depan nanti?

Dan semakin ke sini, perasaanku semakin yakin atas Vio tapi mungkin sebaiknya menunggu segalanya lebih tenang agar kami tidak mengira ini keputusan berdasarkan emosi saat ini.

Aku membuka botol air mineral dan menyerahkan kepada Vio agar mencuci wajahnya dengan itu. Saat dia pingsan, aku cukup panik, walaupun jalur yang kami tempati tidak terlalu padat tapi ada saja orang lalu lalang.

"Vi, saya betul-betul serius ingin menjagamu dan menjaga hatimu. Maaf ya sudah bikin kamu sedih bagini," kuusap kepalanya lembut. "Yuk, kita makan rawon di Lawang."

"Salat dulu, Gus."

Aku mengangguk. Belum waktunya salat tapi nanti sekitar Lawang baru zuhur. Kubereskan perbekalan kami dan kuulurkan tangan padanya yang ternyata langsung disambutnya. Dan itu masih belum cukup, dia melingkarkan tangannya ke lenganku dan jalan sedikit merapat ke badanku sembari menyembunyikan wajahnya.

"Agus, aku malu," rengeknya.

Lah bisa manja juga dia. Aku tersenyum lalu mengambil kaca mata hitamku yang sedari tadi bertengger di leher baju dan kuserahkan kepadanya.

"Kamu cantik kok," kataku.

"Gombal!" Vio pun mengenakannya tapi jalannya masih merapat padaku seperti tidak nyaman.

Aku? Hem...yah...

Kami berjalan menuju mobil kuparkir dalam diam tapi aku merasakan bahwa hati kami mulai bertaut.

"Jauh tempatnya?" tanya Vio setelah kami sudah aman di dalam mobil.

"Enggak kok." Aku pun mulai menjalankan mobil meninggalkan area Kebun Raya Purwodadi. "Nanti kalau saya bisa cuti, kita pulang ke Jakarta ya? Kita jenguk Aimee."

Vio menoleh dengan wajah sendu. "Terima kasih."

Dan sisa perjalanan menuju warung rawon empal sapi depan pasar Lawang yang sebentar ini hanya ditemani radio saja. Ternyata saat sampai di warung, zuhur belum berkumandang.

Aku malu kepada Vio yang mengingatkanku untuk salat lebih dulu.

"Rawon di sini enak lho. Empal sapinya juga empuk. Nanti kita bungkus untuk Tante Dahayu ya?" kataku.

Vio mengangguk sambil mengikutiku ke warung. Kali ini hanya mengekor dan duduk di sebelahku.

Aku pun memesan dua rawon untuk dimakan di tempat dan teh panas.

Agustus CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang