#14 Restu Dan Menjenguk Masa Lalu ❤

3.1K 479 108
                                    

-Vio-

♥♥♥

Tidak semudah itu pergi bersama Agus. Pekerjaannya yang tidak rutin nine to five dan mengharuskannya berangkat sewaktu-waktu membuat rencana pulang ke Jakarta baru terlaksana beberapa bulan kemudian.

Kami naik kereta menuju Jakarta dan selama perjalanan, aku tak bisa menyembunyikan rasa gugupku. Apalagi aku tak tahu di mana kami akan menginap. Agus tidak bilang.

"Semua akan baik-baik saja," kata Agus menenangkanku dan...Mami.

Ya, Mami juga tampak gelisah. Ada kesakitan dan kepedihan mendalam tampak di wajahnya.

"Mami..." Aku meremas lembut tangan Mami untuk menyalurkan kekuatan walaupun aku sendiri juga perlu.

"Mami kangen Papi sama Aimee," kata Mami dengan wajah berkaca-kaca.

Aku mengangguk dan memeluknya. Kurasakan Agus mengusap punggungku, memberiku kekuatan untuk menguatkan Mami.

"Nanti kita ketemu Papi dan Aimee," kataku lagi. Lalu aku menoleh ke arah Agus. "Kita menginap di mana?"

"Nanti ada yang jemput. Sudah, kamu istirahat ya?" Setelah bicara begitu Agus memejamkan matanya seperti tidak ingin kuganggu dengan pertanyaan.

Perlahan perasaanku tidak enak. Jangan-jangan...di rumahnya? Ehm, rumah orang tuanya! Kalau iya...wah, mati aku!

Aku seketika diserang rasa panik. Perasaanku campur aduk tak karuan. Bagaimana ini? Aku harus apa dan bagaimana, Ya Allah? Apa pendapat orang tuanya? Kalau mereka tahu tentangku yang sebenarnya, apa mereka mau menerimaku? Lagipula kondisi Mami juga...apa tidak jadi beban?

Kurasakan keringat dingin mengalir dan saat kulirik Agus, terdengar dengkur halusnya. Entah itu tidur betulan atau kamuflase.

💕💕💕

Kami sampai di stasiun pagi. Dengan sigap Agus membawa barang-barang berat kami, sehingga aku cukup membawa tas ransel miniku.

Aku mendorong kursi roda Mami sembari mengikuti Agus keluar dari stasiun menuju di mana orang yang menjemput kami berada.

Seorang pemuda mirip Agus melambaikan tangan. "Bang!" Dan ia memeluk Agus begitu keduanya berhadapan. "Kak Vio ya?"

"Eh?" Tanpa sengaja kedua mataku melebar dan saat kulirik Agus, wajahnya...memerah. Heh?

"Kenalkan, aku Septa, adiknya Bang Agus. Dia sering cerita tentang Kakak," katanya nyengir lalu salim ke Mami. "Tante, assalamu'alaikum."

Mami tersenyum lebar. "Wa'alaikumussalam."

"Yuk, langsung pulang," ajak Agus.

Aku menoel-noel pinggangnya. "Gus!"

Agus menoleh sambil tersenyum. "Tangannya, Neng. Jangan bikin khilaf."

Spontan kutarik tanganku dengan wajah memerah. Menyebalkan! Aku pun memilih mendorong kursi roda sambil mengikuti Septa.

Kami masuk ke mobil SUV sejuta umat warna hitam. Tak butuh waktu lama, dengan mulus Septa melajukan mobil meninggalkan stasiun.

"Katanya habis masuk bengkel?" tanya Agus.

"Iya. Tapi nggak masalah kok. Duitnya juga cukup," jawab Septa.

Agus yang duduk di depan menoleh ke arah kami di jok belakang. "Septa kuliah semester  lima sambil jadi sopir antar jemput sekolah anak-anak tetangga. Hasilnya lumayan buat nambah uang kuliahnya."

"Keren," pujiku tulus. Aku tahu Agus tak bermaksud menyindirku. Dia hanya sedang bangga sebagai seorang abang. Lalu aku teringat sesuatu. "Gus, kita...aku dan Mami menginap di rumah orang tuamu?" tanyaku ragu.

Agustus CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang