Outro: "Aku menyukainya"

24 5 0
                                    

Aku berlari ke dalam rumah dan berteriak tak sabar pada Mama dan Papa. Mengatakan pada mereka ada mayat tergantung kaku di atas pohon Ginko. Tanpa menunda mereka langsung menuju tempat yang kumaksud.

Orang tuaku terkejut. Papa segera menelepon polisi dan Mama merangkulku dengan tangan gemetar.

Tempat ini semakin ramai lantaran warga sekitar yang juga penasaran. Namun di keramaian ini, aku tak menangkap sosok Jaeyun.

Dia menghilang.

Begitu pula saat pemakaman Yoon Heeseung dilakukan, Jaeyun tidak hadir di sini. Hanya ada ibu tirinya yang ternyata adalah bibi kantin kampus kami.

Aku menyaksikan proses pemakaman Heeseung dengan menangis sesenggukan. Payung putih yang biasa ia bawa juga ikut dimakamkan di sampingnya.

Kecuali kalung batu hijau yang ternyata milik Heeseung yang kini terpasang di leherku. Aku akan menyimpannya.

Aku baru tahu apa yang terjadi dengan Heeseung. Dia tinggal bersama ibu tiri dan adik tirinya, Ahn Jaeyun. Ayah kandungnya yang menikah dengan ibu Jaeyun telah lama meninggal.

Jaeyun tidak memperlakukannya dengan baik. Dia sangat membenci Heeseung karena ibunya jadi lebih menyayangi Heeseung yang buta.

Ya, Yoon Heeseung buta.

Padahal jelas sekali aku bisa menyelami netra indahnya yang bulat bersinar itu, yang juga balik menatapku walau mata itu selalu sendu.

Wujud Yoon Heeseung tidak nyata. Pemuda itu butuh bantuan untuk menemukan jasadnya, namun pada saat yang bersamaan ia juga kesepian. Maka dari itu Heeseung menampakkan dirinya padaku di bangku itu dan mengajakku berteman.

Aku mengerti.

Dia sudah berada dalam tanah tapi aku semakin menangis walau kami sudah berada di rumah. Papa dan Mama sempat penasaran bagaimana aku dan Heeseung bisa mengenal.

Tentu saja mereka curiga karena aku pernah menyebut namanya saat tidur. Mama juga pernah mendengar penjelasan kalau aku bicara pada Heeseung.

"Aku kenal adik tirinya dan dia mengenalkanku pada Heeseung," jelasku pada Mama dan Papa.

Aku tahu masih banyak yang ingin mereka tanyakan padaku, termasuk insiden hilangnya diriku seharian itu. Tapi sepertinya mereka ingin menjaga perasaanku agar tidak teringat kembali dengan wajah membiru Heeseung.

Walaupun tetap saja kenangan kami berdua akan kembali merengsek masuk ke ingatan kala aku melihat kalung ini.

Kendati satu tahun sudah terlewati dan sekarang baru saja menginjak awal musim gugur lagi, kenangan kami berdua terus menempel di sudut otakku.

Bahkan sampai saat ini, aku tengah memandangi dalam diam pemuda tampan yang berada di dalam ruangan persegi dengan pembatas kaca yang diberi lubang-lubang kecil itu.

Jaeyun tersenyum padaku. Rambutnya jadi lebih panjang dari yang terakhir kali aku lihat. Kumis tipisnya mengelilingi sekitaran bibir tebalnya.

Satu tahun lalu, setelah sehari pemakaman Heeseung, Jaeyun menyerahkan dirinya ke polisi dan mengakui kesalahannya.

"Hai," sapaku padanya dan ia tersenyum.

Aku ingin menangis. Karena melihat wajahnya aku jadi teringat Heeseung. "Bagaimana kabarmu, Jae?"

"Aku...baik," jawabnya pelan.

Suaranya masih sama. Pelan dan lembut.

Ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di kepalaku. "Kenapa kau melakukannya?"

Jaeyun menunduk beberapa detik dan kembali menatapku. Menarik napas sebentar lantas berujar, "Kau tidak akan mengerti. Tapi satu hal yang pasti, manusia akan berubah semakin berambisi jika dihadapkan dengan ketidakadilan."

"Lalu kau berambisi untuk membunuhnya?"

Jaeyun menggeleng pelan. "Aku memang sangat membenci Heeseung, tapi aku juga menyayanginya. Aku berdosa karena telah melenyapkan nyawanya. Namun terlepas dari itu semua, aku lega karena Heeseung akhirnya tidak menderita karena keterbatasannya. Tuhan tidak adil karena membuat pemuda cerdas seperti dia menjadi buta dan membiarkan diriku yang bodoh ini sehat lantas menanggung semua beban."

Aku menatapnya tidak percaya. "Lalu kau pikir dengan membunuhnya bebanmu akan terangkat? Kau benar-benar jahat."

Hentikan.

Aku muak melihat senyum manisnya.

"Aku memang jahat. Maka dari itu, daripada dia semakin tertekan karena sikapku yang jahat, lebih baik dia berbahagia di surga tanpa diriku. Dia akan bertemu ayah dan ibunya," ujarnya seraya tersenyum.

Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Jaeyun. Dia sungguh tidak waras. Pikirnya menghilangkan nyawa seseorang akan membuat hidupnya tenang di akhirat?

Bagaimana Heeseung bisa bahagia kalau adik tirinya ini menanggung rasa bersalah seumur hidupnya?

Aku menghapus air mataku yang mendadak mengalir. Jaeyun masih bertahan dengan senyum manis itu.

"Aku pulang," ucapku sebelum beranjak untuk meninggalkan tempat ini.

Tapi sebelum itu, Jaeyun sempat mengatakan satu kalimat yang tidak pernah aku pikirkan.

"Kalungmu indah. Aku menyukainya."

Setelahnya aku pergi dari sana. Aku ingin membenci Jaeyun karena membunuh temanku. Tapi aku tidak bisa melakukannya karena aku mengerti posisinya.

Jaeyun tidak jahat. Dia hanya pemuda yang terabaikan oleh dunia. Dia hanya pemuda yang menginginkan keadilan untuk dirinya sendiri, dan juga Heeseung.






~End~

🤍🤍

The Man Under Ginko Tree✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang