chap 1

147 21 2
                                    

...

CHAPTER SATU

Biasanya, Myeongsoo akan membawakanku makan dan bercanda denganku. Dibanding banyaknya mantan kekasihku, lelaki dengan senyum hangat itu yan bertahan denganku lebih lama. Tapi, segalanya runtuh sejak dua bulan yang lalu. Aku sibuk dengan urusan akademisku sedangkan Myeongsoo pergi bersama Pamannya ke Busan. Dari hari ke hari, dia mengirimiku kabar dan foto. Aku merasa bahagia jika dia dapat bergerak bebas seperti itu.

Sampai, dia sepi. Bagaimana aku menjelaskannya? Dia jadi tidak mengirimiku apapun. Dia sulit dihubungi. Ketika aku berhasil menghubungi Pamannya, lelaki itu berusara parau: "Jangan khawatir. Kami baik-baik saja. Beberapa hari terakhir, kami pergi ke pantai dan memancing di sana. Myeongsoo itu jago sekali. Nanti kami kabari ya, Myeongsoo sudah tidur. Aku akan menyiapkan ikan bakar untuknya."

Aku merasa lega, sedikit. Dari hari ke hari, di tengah gempuran tugas dan jam kuliah yang kian padat, aku menunggu. Aku berusaha menghubungi Pamannya di waktu lenggang tapi lelaki itu tidak mau repot menjawab. Kepalaku penuh dengan berbagai pemikiran. Ah mungkin mereka liburan dengna seru. Ah mungkin mereka pergi memancing lagi.

Di hari kepulangan, aku menunggu Myeongsoo di depan rumahku. Dia sudah berjanji saat kembali, dia akan langsung menemuiku lalu memberikan hadiah. Kebetulan, besok adalah hari anniversary kami yang ke tujuh bulan. Aku senang bukan kepalang hingga Pamannya menghubungiku.

"Bisa kau datang? Myeongsoo rindu denganmu."

Aku melihatnya, dengan napas tercekat bagaimana kakinya sudah diperban serta luka di sisi wajahnya. Myeongsoo masih tersenyum. Aku belum berani bertanya lebih lanjut karena ia bernapas kepayahan. Paman memandangiku tapi tidak berniat menjelaskan.

"Dia hanya jatuh di rumah. Kau tahu, terlalu bersemangat."

Myeongsoo hanya tinggal dengan kakak laki-lakinya yang sekarang menetap dengan istrinya di Seoul. Seusai pernikahan kakaknya, dia dan Pamannya memang dekat. Sejak kemunculan Pamannya itu, Myeongsoo pun ingin ke Busan. Aku sempat menyesal mengizinkannya. Kesehatannya berangsur-angsur pulih, tapi aku tahu, ada yang dipendamnya.

Dia sering kedapatan melamun bahkan menangis. Orang mengatakan bahwa Myeongsoo sudah hilang akal karena kutukan Dewi Laut. Sejujurnya, aku tidak percaya hal-hal semacam itu. Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu.

Meskipun, aku tidak sampai hati bertanya dengan langsung. Aku takut, dia akan menangis keras, atau pun menyiksa dirinya. Seperti yang sudah ia lakukan. Aku terluka jika melihatnya melakuakn hal seperti itu. Aku hancur.

...

Kami tidak punya jadwal jenguk yang pasti. Aku dan Paman Myeongsoo hanya mendapatkan kabar ketika kami ke sana, itu pun, di beberapa kesempatan, kami tidak dapat berjumpa dengan Myeongsoo. Aku kesal luar biasa. Aku tidak ingin terus berpisah dari kekasihku itu. Paman Myeongsoo pun jadi semakin merasa bersalah sampai dia ingin berlutut di depanku. Tentu saja, aku menahannya.

"Aku akan mencari makanan dahulu," ujarku dengan cepat. Sebenarnya, aku ingin menghindari suasana canggung saat aku dengan lelaki tersebut. Dia pun mengangguk. Aku buru-buru menjauhi area depan kemudian berjalan menuju minimarket terdekat. Tadi, kami berangkat dengan bus, aku ingin segera pulang jika akhirnya sampai sore, kami masih belum diziinkan masuk. Aku hanya ... takut. Aku takut bahwa apapun yang aku lakukan, aku tunggu justru sia-sia.

Myeongsoo pasti baik-baik saja kan di sana?

Hujan turun tanpa terduga. Aku cepat berteduh di halte karena angin mengamuk di sekitarku. Aku menyesal tidak mengenakan jaket sehingga berakhir mengigil. Hujan menyerbuku sampai rasanya seperti tidak berteduh. Perlahan, aku melihat satu baynagn yang menembus hujan. Jalanan nampak lenggang tapi kabut benar-benar menutupi wilayah tersebut. Jadi jarak pandangku pun terbatas, di arah depan sana, aku melihat bayangan itu makin mendekat.

Seketika, aku panik. Aku melihat ke sekeliling dengan takut. Apakah penjahat? Pasien yang kabur? Seorang yang tersesat dan akan menyerang siapapun? Aku setengah ragu hendak pergi dari sana, atau bertahan. Sesungguhnya, sulit melihat jalan di cuaca seperti ini. Apalagi, kemungkinan terpeleset akan sangat besar. Aku pun benci tubuhku basah kuyup setibanya nanti di ruang tunggu rumah sakit sana.

Sosok itu semakin dekat. Aku menyipitkan mataku sembari menghalau gempuran air hujan yang tetap saja menyerangku dengan brutal. Sosok itu berhenti tepat di hadapanku.

Seorang lelaki dengan senyuman kecil, dan mata yang tajam. Dia mengenakan pakaian sekolah, dan terduduk di kursi panjang yang ada. Aku menyipitkan mataku, melihat seragamnya yang nampak lusuh namun tidak begitu basah. Aneh sekali. Apakah itu anti air?

"Menunggu bus?" tanyanya dengan suara pelan.

Aku mengangguk kaku dan mengalihkan pandanganku. Dia nampak tinggi, berbahu lebar serta punya wajah yang cukup rupawan. Mungkin dua tahun di bawahku, mungkin jauh lebih muda. Entahlah, jika fisiknya nampak begitu menganggumkan, wajahnya berbanding terbalik. Seperti punya aura muda yang menyejukkan.

"Aku harap dia cepat sembuh."

Deg.

Lidahku kelu lantas aku berbalik kepadanya. "Uh?"

Seolah dapat membaca ekspresiku, lelaki itu terkekeh. Si anak berseragam yang manis. Aku tahu dari ekspresi wajahnya. Meskipun ada raut muram, dia punya binar mata yang membuat siapapun terpukau. "Siapapun yang berada di sini, pasti punya keluarga maupun siapapun yang dirawat di rumah sakit itu. Aku mendoakan saja," gumamnya.

Aku tersentak sadar. "Oh, begitu."

"Namaku Yeonjun. Choi Yeonjun."

...

Detriment | yeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang