*
CHAPTER TIGA
Dia benar-benar tidak di sana. Entah bagaimana mungkin, aku merasa kosong.
Aku mengeratkan mantel dan menepi ke halte tersebut untuk beberapa menit. Aku sedikit berharap Yeonjun akan hadir seperti tempo hari. Entah dalam guyuran hujan, maupun panas menyengat, wajahnya ingin aku lihat. Itu saja.
Ponselku bergetar, ini dari Ibu.
"Apakah kau masih di sana? Sebegitu parahkah Myeongsoo?"
"Entahlah, Bu. Besok hingga Jum'at nanti aku akan sibuk di kampus, ada beberapa tugas dan proyek yang aku kerjakan. Kemungkinan aku tidak bisa datang bersama Paman Myeongsoo. Apakah kau baik?"
"Aku turut sedih mendengar berita ini. Kami baik, aku harap aku dapat menjenguknya secepat mungkin," gumam Ibu. Aku mengangguk samar, sadar bahwa dia mungkin tidak lihat.
"Bu, jaga kesehatanmu."
"Kau juga. Jangan telat makan dan tidur yang cukup. Kami di sini tidak mau kau sampai sakit. Jaga dirimu pula ya." Ibu menggumamkan banyak wejangan khasnya kemudian menutup telepon. Aku termangu untuk beberapa saat. Setelah aku kuliah, waktu di tengah kami jadi terenggut begitu saja. Kadang aku pulang, kadang aku lebih memilih di kamarku saja tenggelam dalam penat yang tidak kunjung berhenti. Hanya Myeongsoo yang menemaniku, datang teratur, kemudian menghiburku.
"Wajahmu itu seperti ikan buntal kalau cemberut!"
Aku pasti akan langsung mencubit pipinya gemas. Aku rindu.
*
*
Paman menahan pintu taksi beberapa saat, sedangkan aku sudah terduduk dan mendongakkan wajahku. "Aku akan menghubungimu jika ada perkembangan dari Myeongsoo. Jangan terlalu khawatir, kau pun tidak boleh stress. Kau bisa percaya kepadaku."
"Tentu."
Paman menutup pintu taksi tersebut dan aku menurunkan kaca untuk melambai singkat kepadanya. Sejujurnya, beberapa waktu di dekat Paman Myeongsoo aku masih merasa asing. Jika diibaratkan, dia itu seperti pohon tua yang tidak berpenghuni. Paman begitu misterius, tidak jelas siapa istrinya maupun di mana anaknya. Dia pun punya wajah datar dan sorot mata dalam yang membuatmu seakan baru saja terperosok ke jurang. Oke, itu agak berlebihan. Tetapi, di mataku, Paman Myeongsoo itu di luar jangkauan. Maksudnya, bukan berarti aku ingin dekat-dekat seperti rekan akrab, hanya saja, dia adalah paman dari kekasihku. Kuperhatikan Myeongsoo pun sudah dekat bahkan menganggapnya seperti ayahnya sendiri. Mengapa aku tetap merasa jauh?
Segalanya diperparah dengan sikapnya yang irit bicara. Dia jarang mengatakan hal basa-basi yang menjemukkan, dia juga tidak mau mengulur waktu untuk hal-hal tidak penting. Myeongsoo seperti berada di urutan teratas yang perlu dia curahkan banyak perhatian.
Anak Paman. Aku memang dianggapnya sebagai anak.
Tetap saja.
Aku menghela napas dan membiarkan taksi tersebut membelah jalanan, membawaku pulang ke kampus dan kamar asramaku. Aku tidak ingat keadaannya sejak pertama kali Myeongsoo masuk rumah sakit. Sepertinya, aku memang tidak ingin mengingatnya, karena jika mengingat ...
Aku hanya bayangkan wajah Yeonjun.
Dia sudah kembali ke Busan? Secepat itu? Aku sadar diri, betul, bahwa aku tidak perlu berharap banyak kepadanya. Apa pula yang aku harapkan? Terkadang dia jadi begitu dingin dan tidak tertembus. Seperti kabut gelap, sejauh apapun kau berusaha menajamkan pandangan, dia tidak bisa dipandang. Sejauh apapun aku berharap, dia seperti di ujung batas.
*
*
Akhir Minggu, aku bisa setidaknya mengambil jeda untuk bernapas. Rentetan jadwal yang terus menggempur membuatku agak lupa akan Myeongsoo, beruntung, Paman menepati janjinya untuk memberikan laporan. Tidak banyak sih, dia kan memang begitu. Tapi, setidaknya, dia bilang Myeongsoo sudah boleh dijenguk dan dia makan dengan baik. Yah, itu kabar bagusnya kan?
Ada ratusan pertanyaan yang memenuhi tiap sekat kepalaku. Tiap kotak-kotak pikiran yang tadinya berusaha aku abaikan. Aku ingin tahu, mengapa dia mendadak seperti itu? Apa yang terjadi di Busan? Apakah sesuatu menimpanya? Dibanding meninterogasi Paman—dari tatapan dan mimiknya saja dia sudah tidak mau—aku lebih ingin kekasihku yang bicara.
Jadi, aku sudah menghentikan taksi dan berniat untuk menghabiskan dua hari lagi di sana. Aku tahu, aku perlu mengatur hatiku agar aku tidak terkesan mendesak Myeongsoo untuk langsung bercerita. Bagaimana pun, dia masih dalam tahap penyembuhannya. Aku tidak mau membuatnya kembali di kondisi terpuruk.
"Sudah semua, Nona."
"Terima kasih." Aku bergegas masuk setelah supir tersebut memasukkan satu koper kecilku ke dalam bagasi. Koper itu tidak hanya berisi pakaian tapi juga makanan-makanan kemasan termasuk roti, biskuit, mie, apapun yang aku rasa dapat berguna di sana. Meski aku bisa berbelanja, aku pikir lebih praktis untuk menyedikan juga apalagi Paman pasti kelelahan pula menunggu Myeongsoo dari hari ke hari. Tidak lupa, aku pun membelikan beliau kaus dan jaket baru, takut-takut ia membutuhkan lebih.
Perjalanan tersebut berlangsung tenang. Aku mulai memasang earphone kemudian menyalakan musik. Aku memandang ke luar jendela dengan awan mendung menjadi pemandangan. Selalu saja hujan. Aku seharusnya tidak heran, hujan seperti mengikuti bagaikan anak ayam tersesat dan menganggapku induknya.
Kami berbelok, memasuki wilayah yang minim penduduk tersebut. Aku kurang paham mengapa Myeongsoo akhirnya ditempatkan di sini. Aku juga tidak punya hak untuk memintanya dipindahkan, tapi tetap saja, aku bergidik tiap memandang hutan dan beberapa bangunan kosong yang ditinggalkan dengan kondisi kumuh tidak terawat.
Hujan mulai mengguyur, ribut. Aku kembali fokus mendengarkan laguku sedangkan supir fokus kepada jalanan di hadapan kami. Kabut berkerumun bagai pasukan serdadu yang dititahkan untuk berjaga. Aku menguap pelan, hendak memejamkan mata, ketika ekor mataku justru menangkap seberkas bayangan di tengah hujan.
Sosok itu bergerak, berjalan di sisi jalan yang sepi dan dihujani banyak air dari langit. Aku tercekat, hendak meminta taksi untuk berhenti.
"Ada apa, Nona?"
"Temanku."
"Uh?" Taksi pun berhenti, sigap. Supir itu menoleh ke arah yang aku tunjuk. Aku sudah merogoh belakang jok di mana aku menyimpan payung hitam. "Nona, kau mau kemana? Berbahaya untuk keluar .. apalagi .."
Suara hujan mulai menyapu pendengaran. Aku sudah melepaskan earphone, menaruhnya bersama ponsel di jok terdekat, kemudian berjalan menembus hujan. Aku melihat Yeonjun sudah berhenti kemudian menoleh. Gerakannya lamban namun aku tidak mundur maupun berhenti mendekatinya.
"Yeon..."
Separuh wajah itu rusak. Kau bisa bayangkan rusak seperti banyak lubang yang penuh nanah, kau juga bisa bayangkan darah yang tersebar di mana-mana dengan berantakan. Kau juga bisa bayangkan satu luka busuk yang sudah menghitam.
Hancur.
Aku menjerit keras, Yeonjun hanya menatapku. Aku berusaha untuk mundur, dengan kaki yang masih gemetaran. "Sia ... siapa kau?"
Yeonjun menarik senyuman miring.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Detriment | yeonjun
Fanfiction[Fantasy - Horror] Lee Myeongsoo berubah aneh sekembalinya dari Busan. Ketika Jieun berusaha membantu memulihkan Myeongsoo, ia justru dipertemukan dengan sosok bernama Choi Yeonjun. Segalanya justru terlihat jelas; Yeonjun mengetahui rahasia Myeongs...