chap 4

63 14 3
                                    

CHAPTER EMPAT

Peristiwa itu masih kental; hujan yang kontras dengan napas yang terhenti di ujung hidungku. Aku tidak tahu bagaimana menjaga keseimbangan, nyaris limbung ketika Yeonjun justru mengarahkan tangannya kemudian mencengkeram tanganku di genggaman payung. Aku benar-benar berteriak, namun itu terhalau hujan yang kian deras. Aku samar-samar mendengar supir taksi memanggil-manggil namun aku benar-benar kaku. Seperti patung.

"Kau seharusnya tahu bukan? Aku tidak seperti yang kau pikirkan."

Aku tercekat. "Ap—apa."

"Aku tidak sepertimu."

"Apa maksudmu?!" Aku meraung, nyaris kehilangan suaraku sendiri. Hujan ini tidak mau berdamai.

"Aku sudah mati."

Guntur itu menggelegar di suatu tempat. Entah di dunia ini atau kepalaku, bunyinya menyentakkan dan membuatku sekujur tubuhku terperajat dalam horror.

"—dan selama kekasihmu itu di sini, aku akan tetap di sini. Busan terasa ... tidak rasional untukku, apa yang aku cari di sana? Tidak ada lagi." Yeonjun terisak samar. "Aku sendirian. Terbuang."

Aku mengulurkan tanganku ragu, kemudian merengkuh sisi wajahnya yang rusak. Tangis itu meleleh begitu saja, berbaur dengan hujan yang berada di tengah-tengah kami. Yeonjun berusaha memalingkan diri namun aku menahannya. "Apa yang ... terjadi denganmu sebelumnya ...."

Yeonjun menggeleng dengan wajah masam.

Aku ikut menangis bersamanya, masih menyentuh sisi wajahnya seakan dia akan lenyap secepat kedipan mata. Aku tidak tahu apa yang bergumul di dalam hati; hancur, rusak, kacau, marah, dan kegetiran. Aku pun bersedih.

*

*

"Nona, kau sudah sadar?"

Memengangi kepala, aku bangkit dari posisi terlentang dan menyipitkan mata. "Apa yang terjadi?" tanyaku serak. Supir taksi bernapas lega dan menyodorkan minum. Aku menerimanya masih dengan tangan gemetaran dan tubuh mengigil. Pakaianku basah kuyub, membuat tidak nyaman dan aku tidak tahu bagaimana aku berada di satu tempat ini.

Sang supir itu meringis. "Nona, Anda pingsan tadi. Saya sangat panik ketika Anda keluar dari taksi kemudian tidak sadarkan diri begitu saja. Saya bahkan takut dengan petir, tapi keadaan Anda memprihatinkan."

"Benarkah?"

Aku memengangi kepalaku yang pening dan terduduk untuk mengatur napasku. Bibir bawahku sedingin es dengan gigi bergemeletuk.

"Anda ingin melanjutkan perjalanan atau bagaimana?"

"Tentu saja. Tidak mungkin kembali, sudah sejauh ini," jawabku.

Supir itu membantuku untuk bangkit kemudian berjalan menembus gerimis kecil. Tempat yang kami singgahi tadi terlihat seperti posko kecil yang terbengkalai. Aku sudah bergidik ngeri di tengah tubuh yang makin kedinginan.

"Anda yakin baik-baik saja?"

Aku mengangguk. Aku tetap akan menemui Myeongsoo. Separuh pikiranku keruh di tengah hujan yang tidak mau bersahabat sama sekali, dan setengah pikiran lagi coba menemukan jawaban pasti; Yeonjun, apa yang terjadi dengannya? Tadi itu mimpi kan?

Supir melirikku dari spion tengah, dia masih cemas. "Nona, jika ada yang menganggu Anda, Anda bisa ceritakan. Tidak perlu merasa tertekan sendirian, Anda terlihat murung."

"Bukan apa-apa."

*

*

Aku tersenyum simpul seusai membayar taksi tersebut. Sang supir mengangguk dan pamit dengan sopan dariku. Ketika aku menyeret koperku, aku tidak berhenti merasa kalut akan Yeonjun. Sebenarnya, mengapa pula aku repot-repot? Toh mungkin aku hanya berhalusinasi karena faktor kelelahan, di lain sisi, aku tidak mengenal Yeonjun "sedekat" itu hingga aku perlu merasa kalut semacam ini.

Setibanya di koridor, aku melihat Paman lantas mendekatinya. "Pam ..."

"Apa yang kau lakukan?" Ia langsung memakai nada defensif yang aneh. Aku terkesiap, kemudian berusaha mengumpulkan kata-kataku. "Tidak perlu kemari. Myeongsoo masih dalam pemulihan, aku sudah bilang aku akan menghubungimu jika kau perlu datang."

"Tapi-"

"Pulanglah sana. Kau tidak perlu cemas."

Aku masih termangu di tempat. "Paman, aku hanya ingin menengokinya dan ... apakah sesuatu terjadi?" tanyaku, pelan. Paman menggeleng keras dan memalingkan wajahnya. Ada raut getir bercampur dengan ekspresi tidak terbaca. "Katakan kepadaku."

"Pulang!"

"Paman."

Lelaki tua itu sudah merebut koperku kemudian membawanya melintasi koridor, menuju bagian luar rumah sakit. Aku meneriakinya, tidak peduli ada beberapa orang memperhatikan. Paman mendorong koperku. "Sana, pergi saja! Aku akan hubungi kalau memang perlu. Tidak perlu datang-datang dahulu."

Aku tidak dapat menahan amarahku yang mendadak muncul. "Apa masalahmu, Paman?! Aku tidak memohon atau merajuk, aku hanya datang! Apakah itu salah ... Myengsoo itu kekasihku ..."

"Sudah, sana." Ia berbalik. Aku mengekorinya, menahan lenganya tapi dia menepisnya kasar. "Jangan berlagak peduli." Pakaian yang basah kuyub, mood yang buruk, dan sekarang aku disambut seperti ini?

"Paman!"

Aku tahu sesuatu pasti terjadi ketika aku tidak di sini.

Aku terus mengejarnya gigih. "Apa yang terjadi di Busan?" Kalimat Yeonjun mendadak mencuat dalam benak. "Apa yang kalian lakukan di Busan? Hah?" Rasanya suaraku hampir terjepit. "Kau seperti menyembunyikan sesuatu dariku."

[]

Detriment | yeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang