chap 8

70 17 2
                                    

CHAPTER DELAPAN

Aku gagal tidur. Meskipun sudah minum susu, memesan makanan untuk mengganjal perut maupun berusaha mengumpulkan niat terniat dari yang aku punya, aku tetap tidak dapat tidur. Rasanya ruangan inimakin sesak dengan aku yang terus waspada. Membayangkan satu kamar di tempat ini penuh dengan teriakan kesakitan seorang gadis tidak berdaya, wajah-wajah monster yang terus menyentuhnya maupun hal-hal mengerikan lain, aku merasa tidak butuh tidur di malam ini.

Apalagi, aku merasa paranoid jika membiarkan diriku "tidur." Padahal, hotel ini sempat menjadi tempat kejadian mengerikan tersebut. Entah orang sinting mana yang sampai hati melakukan hal seperti itu kepada seorang gadis! Dan dia masih bersekolah! Aku mengetatkan gigiku, tanpa terasa sudah menggeram rendah.

Kedatanganku kemari bukan untuk menerima banyak berita mengejutkan—aku hanya ingin tahu soal Yeonjun. Serta, bagaimana dia bisa sampai mati. Kadang, aku membayangkan berbagai skenario terburuk, kadang aku membayangkan mungkin dia sempat sakit. Apapun itu, penyebab kematiannya sudah menjadi gumpalan sesak untukku.

Yeonjun, kau kesakitan kan?

*

*

Padang bunga Pansy memenuhi pandanganku. Aku bergerak dengan napas tercekat sedangkan aku tidak melihat ujung dari padang penuh bunga warna kuning dan ungu tersebut. Sejenak, aku membiarkan angin sore membelai sisi wajahku sedangkan aku mulai memutar tubuh. Tempat apa ini? Apakah ini daerah dekat rumahku? Aku tidak pernah tahu. Sesaat aku pun menunduk untuk mendapati bunga-bunga Pansy berayun-ayun pelan dengan kelopaknya yang lebar dan mirip tengkorak. Sejenak, aku berjongkok untuk memandanginya. Ini harusnya jadi bunga yang melambangkan kenangan—mengapa hanya terlihat kesedihan?

Sesaat aku bangkit, hendak mencari jalan keluar, aku justru dikejutkan dengan seseorang di ujung sana. Dia membelakangiku dan duduk di kursi kayu penuh tanaman rambat lain. Mungkinkah pohon anggur? Tanaman rambat liar? Aku mengeryit. Hatiku mengatakan bahwa aku tidak perlu mendekat dan bergegas saja pergi. Tapi pikiranku menuntun tiap langkah.

"Si—siapa di sana?"

Punggung itu duduk dengan tidak wajar, bungkuk ke depan dan nampak lunglai. Apakah dia sedang menikmati senja?

Aku melangkah, membelah bunga-bunga Pansy yang layaknya penonton di dekat kaki, kemudian mendekatinya. "Hallo?" Napasku tertahan sesaat aku mencium bau menyengat, sesaat aku menunduk, makin terlihat genangan berwarna pekat. Aku tertegun mendapati satu wajah tersebut. Matanya terpejam rapat sedangkan cairan kental terus mengotori bagian depan pakaiannya, mengalir ke lengan dan ujung jemarinya hingga membuat genangan yang membuatku kaku di tempat.

Yeonjun?

Aku terbangun dengan napas berat. Sejenak, aku meneguk ludahku dalam dan mengusap keringat yang bercucuran sebesar biji jagung di kening kemudian mengumpulkan tenaga untuk meraih minum. Mimpi apa itu? Aku gemetaran, mendapati Yeonjun .. tidak hanya keadaannya mengenaskan, tapi dia benar-benar bagaikan mayat—begitu nyata. Sebelumnya, aku tidak pernah ingat punya mimpi seburuk ini. Sekarang, aku hanya dapat terduduk sembari menitikkan sedikit air mata. Busan sudah ada di depan mata, segalanya di sini, mengapa aku jadi takut? Apa hubungannya dengan Myengsoo? Mengapa Yeonjun mengikutiku? Berkeliaran di rumah sakit? Apakah ... apakah dia ingin menunjukkan sesuatu?

Payah. Aku selalu payah untuk menebak-nebak, terlebih di saat hatiku terus menolak fakta bahwa kekasihku mungkin penyebab utama kematian Yeonjun. Itu menusukku, membayangkan Myengsoo serupa malaikat justru membahayakan nyawa orang lain. Tapi, kematian itu terasa sedekat nadi; apa hubungannya dengan si perempuan tersebut?

*

*

Wartawan lokal tersebut bernama Hye Soo.

Dia mungkin hampir sebaya dengan bibi—adik terakhir ibuku. Dia hangat, dan dia memandangku tanpa berkedip bagaikan aku tengah mengada-ngada karena mendatanginya. "Kau begitu tertarik?" tanyanya hati-hati. Dia sudah menyesap kopinya, beraroma pekat. "Kau tahu, ini bukan kasus yang mudah. Aku dan rekanku masih mencari bukti demi bukti, sedangkan beberapa tersangka masih dalam penyelidikan polisi."

"Aku perlu mengetahui nama daftar korbannya. Maksudku, apakah ada korban lain? Iya kan?"

Hye Soo berdecak. "Belum tahu. Pasti, hotel tidak mau tahu dan ingin semua yang terkait tetap menutup mulut sampai polisi menjelaskan lebih lanjut. Kalau boleh tahu, mengapa kau jauh-jauh sampai kemari? Rasa tertarik tidak akan mungkin membawamu sampai menemuiku kan? Apalagi, mengatur waktu seperti ini ..."

"Ah, ini menyangkut seseorang yang penting untukku," jawabku dengan sendu. "Kekasihku sedang dalam perawatan di rumah sakit jiwa sekarang. Keadaannya tidak baik, dan mungkin saja, aku dapat mengetahui apa yang terjadi di sini saat dia tengah berada di sini. Aku sudah berusaha mendesak pihak terdekatnya untuk cerita, tapi tidak ada harapan." Aku berucap pahit mengingat perkataan paman Myengsoo yang setajam bilah pisau. Dia tidak akan berubah pikiran. Si tua itu sangat teguh.

"Begitu kah?"

Aku mengangguk. "Dan ada satu teman lain ... yang tengah aku cari."

Agak aneh menyebut Yeonjun teman, karena nyatanya, kami tidak terasa sedekat itu. Aneh juga karena aku pun masih abu-abu mengenalnya. Bahkan untuk bertemu Yeonjun lagi, rasanya mustahil. Jadi dia lenyap? Sudah tidak akan muncul? Dibawa ke akhirat? Mungkin aku pun kelelahan hingga tidak dapat berpikir jernih. Hanya saja, aku masih ingat tatapan dalam milik Yeonjun, kesakitan di ekspresinya, maupun bibirnya yang menekuk penuh misteri. Dia tidak jahat, dan jelas, dia tidak berniat jahat kepadaku. Dia tampak tidak tahu arah. Dia kesepian. Marah.

Mungkinkan perempuan itu ada hubungannya dengan Yeonjun juga? Mungkin saudara? Mungkin .. kekasih?

[]

Detriment | yeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang